Sunday 5 July 2020

Melihat Solidaritas ilahi Dalam ketelanjangan Yesus Refleksi Jumat Agung atas Covid 19


Ketika mereka menyalibkan Yesus,
mereka membagi-bagikan pakaian-Nya di antara mereka
dengan membuang undi (Matius 27: 35).

Pada abad ke-19, konsep solidaritas menjadi sangat radikal, di bawah pengaruh Marx. Pemikiran ini ingin mengungkapkan solidaritas tanpa kelas, sebagai bentuk perlawanan terhadap kapitalisme. Dalam sejarah kekristenan mula-mula, ini bukan sesuatu yang baru. Gereja mula-mula telah mempraktekkan solidaritas bersama yang tidak mengenal tuan dan hamba, bahkan milik pribadi menjadi milik bersama (Kisah Para Rasul 2:44-45). Jauh sebelumnya, Platon (abad ke-5 Sm) merumuskan bahwa seorang pemimpin tidak boleh memiliki milik pribadi, dia harus memiliki segalanya bersama. Johanes paulus II menjelaskan solidaritas sebagai tekad kuat dan terus menerus untuk melibatkan diri dalam kebaikan bersama (bonum commune).
Awal abad 1 Masehi, Yesus mempraktekkan solidaritas yang tidak biasa. Solidaritas itu berpuncak dalam kisah sengsara, kisah ketelanjangan Yesus di salib. Ketelanjangan Yesus secara simbolik, memperlihatkan ketelanjangan manusia di Taman Eden. Ketelanjangan manusia di Eden di narasikan kembali oleh Yesus dalam kisah sengsara. Ketelanjangan yang mengundang tangisan putri-putri Yerusalem, simbol ketidakberdayaan dihadapan Allah, seperti kata Yesus “Hai putri-putri Yerusalem, janganlah kamu menangisi Aku, melainkan tangisilah dirimu sendiri dan anak-anakmu!” (Lukas 23:28).
Tangisilah dirimu dan anak-anakmu! Kita seharusnya yang malu dengan ketelanjangan diri kita. Kita seharusnya yang menangisi diri, karena peristiwa kejatuhan dalam dosa di taman eden, membuat manusia pertama menjadi telanjang. Ketelanjangan tidak hanya mengungkapkan tentang tidak adanya pakaian, bukan juga tentang keterbukaan seluruh aurat. Tetapi ketelanjangan mengungkapkan tentang ketidakberdayaan kita menutupi aurat kita sendiri tanpa solidaritas Ilahi. Ketelanjangan di taman eden di ekspresikan kembali dalam ketelanjangan Yesus di salib. Ketelanjangan tersebut, telah menunjukkan solidaritas ilahi atas hidup kita yang telanjang. Solidaritas ketelanjangan Yesus dilakonkan oleh para prajurit, dengan membagi bagi pakaian-Nya dengan cara undi.
Yesus telanjang, dan kita telah membagi-bagi pakaiannya, untuk menutupi tubuh hina penuh dosa. Prof. Armada Riyanto menyebut, “ketelanjangan tubuh Tuhan adalah pemberian diri dan cinta-Nya secara tuntas kepada karya penebusan umat manusia. Kemurnian cinta Kristus kepada manusia telah ditampilkan dalam “tiada tersisa-nya” apapun yang melekat pada tubuh-Nya.” Ini adalah puncak dari solidaritas Ilahi kepada manusia. Yesus membiarkan dirinya ditelanjangi, dan pakaiannya dibagi-bagikan kepada kita dengan cara undi. Tetapi ketelanjangan Yesus di salib, bisa memaksa kepala pasukan menyatakan pengakuannya, “sungguh, orang ini adalah orang benar!” (Lukas 23:47).           
Ketelanjangan Yesus itu adalah solidaritas personalistik, bukan solidaritas organis dan mekanistik (bdk.Max Scheler, tiga jenis solidaritas). Solidaritas personalistik karena didasarkan pada penghargaan tertinggi pada pribadi/persona manusia sebagai nilai tertinggi. Solidaritas Yesus bukan hanya pada keluarga atau kerabat (solidaritas organis), dan bukan juga pada kelompok tertentu (solidaritas mekanistik). Solidaritas Yesus pada nilai kemanusiaan, justru terlihat secara sempurnah dalam ketelanjangannya. Mengapa? Ketelanjangan itu mengubah hidup manusia, dari manusia yang telanjang menjadi manusia yang telah memakai pakaian. Dari manusia yang rusak secara kodrati, (pandangan Luther) menjadi manusia yang telah dipulihkan, karena auratnya telah ditutup oleh Yesus dengan pakaiannya sendiri.
Covid 19 dan Solidaritas Yesus      
            Solidaritas Yesus dengan demikian sesunggunya menjadi pesan bagi kita, betapa pentingnya membangun solidaritas bersama (solidaritas global, kata Harari). Solidaritas personalistik, menjadi keniscayaan, dalam menanggulangi covid 19. Harari dalam sebuah artikel, the world after coronavirus, menyebut bahwa solidaritas global adalah hal penting untuk bersama membasmi covid 19. Palestina dan Israel bisa bersama melawan covid 19, Cina terlibat membantu beberapa negara seperti Italia, Indonesia, bahkan Amerika yang selama ini berada dalam perang dagang. Bagaimana dengan kita? Solidaritas itu bukanlah hal sulit, karena kita mempunyai ideologi Pancasila, yang jika diperas jadi satu kata Soekarno adalah, “gotong royong”.   
            Negara hari ini membutuhkan solidaritas bersama dalam melawan covid 19. Kita mestinya bergotongroyong, bukan membiarkan pemerintah bekerja sendiri. Ini adalah pandemi, yang mungkin tidak satu pulau pun di Indonesia bisa menghindarinya. Gotong royong itu tidak berat, jika kita mempunyai solidaritas yang sama terhadap kemanusiaan. Soekarno menyebut, saya seorang nasionalis, tetapi nasionalisme saya adalah kemanusiaan (nasionalism is humanity). Tinggalkan perbedaan, egosentrisme mesti dijauhkan. Solidaritas personalistik lebih memudahkan bangsa ini bergotongroyong melawan covid 19. Ingat, kita adalah anak-anak merah putih yang berada dalam rumah yang sama.  
Ikuti protokol pemerintah, stay at home, social distancing. Hargai hidup yang lain dengan tidak menumpuk kebutuhan dapur. Karena menghargai hidup yang lain, sama dengan menghargai hidup kita sendiri. Tanggungjawab terhadap orang lain adalah prinsip moral dasar, kata Levinas. Itu bukan pilihan, tetapi sebuah keniscayaan untuk dikerjakan bersama. Mari bangun solidaritas bersama/solidaritas global. Karena covid 19 bisa menyerang mereka yang beragama pun yang tidak. Menyerang mereka yang menyebut dirinya paling beriman, pun yang tidak punya iman. Dunia butuh solidaritas personalistik, solidaritas ilahi yang tentu dimiliki oleh setiap mereka yang beragama.      
             
                Ivan Sampe Buntu, M.Hum
Pendeta Gereja Toraja
Dosen Filsafat di IAKN Toraja

Catatan; Diterbitkan oleh florepos 10 April 2020 dalam rangka memperinganti jumat agung, dengan mengubah judul “Tuhan dan solidaritas yang tidak biasa”

No comments:

Post a Comment

Teodise (Pembenaran Tuhan): Dialog dengan Leibniz di Masa Pandemi Covid-1

Pertanyaan tentang realitas kejahatan di dunia bukanlah pertanyaan yang baru muncul di dunia post modern. Pertanyaan ini pertama kali ditany...