Menggali Konsep Filsafat
Pendidikan Platon Dalam Buku:
Mendidik Pemimpin dan Negarawan
Dialektika Filsafat Pendidikan Platon dari Yunani Antik Hingga
Indonesia
Penerbit : Lamalera
(Yogyakarta) 2014
Penulis : A. Setyo Wibowo dan Haryanto
Cahyadi
Tebal Buku : xvi+392 halaman
Paideia
Platon
Introduction
Mendidik Pemimpin dan Negarawan–Dialektika Filsafat
Pendidikan Platon dari Yunani Antik Hingga Indonesia. Demikian judul
dari buku ini, yang menguraikan secara panjang lebar bagaimana pendidikan dari
zaman Yunani antik dan bagaimana Platon menguji kembali model paideia (pendidikan, pembudayaan) zamannya dan mengajukan model baru
pendidikan.
Platon
merumuskan kembali paideai zamannya
yang dapat kita lihat dalam konsep alegori Matahari, Alegori garis terbagi dan
alegori gua dengan tidak melupakan konsep merawat jiwa khas Platon. Dalam kedua
alegori ini terlihat Platon membongkar model ideal (paradeigma) paideia zamannya khusunya konsep Homeros dan kaum
Sofis. Platon menunjukkan kelemahan dari paideia
Homeros dan sofistik tetapi sekaligus membuat rumusan baru tentang paideia. Apakah Platon membuang semua
konsep paideia Homeros-Sofistik? ini menjadi salah satu pertanyaan menarik dalam
buku ini.
Kritik Platon
terhadap paideia Homeros-Sofistik
dibangun dengan argumentasi yang kokoh. Kritik Platon ini juga menjadi relevan
dalam konteks sekarang. Setyo Wibowo dalam bab III dengan begitu tajam
menggunakan konsepsi Paideia Platon
baik dalam melihat carut marut pendidikan, pun dalam meihat pemimpin-pemimpin
bangsa yang dikendalikan oleh epithumia
(hasrat akan uang).
Konsep
ideal negarawan kalokagathos dari
Homerik-Sofistik sampai Platon juga dipaparkan dengan sangat menarik. Bagaimana
arete seorang negarawan pada era
Homerik-sofistik dan bagaimana Platon menguji kembali konsep tersebut dan
menawarkan konsep baru keutamaan negarawan kalokagathos.
Kata
Kunci
Paideia
(pendidikan/pembudayaan,
Mimesis (peniruan/peneladanan), Kaloskagatos (kebaikan/keelokan), Alegori Ranjang Tidur, alegori matahari,
alegori garis terbagi dan alegori gua.
Memahami Paideia Homeros
“…Pernyataan
Platon bahwa Homeros adalah sosok
pendidik bagi bangsa Yunani (hellada
Pepaideuken), terlepas dari kritiknya yang demikian tajam dan pedas itu,
rupanya mencerminkan penilaian historis yang objektif pada zamannya dalam
menimbang sosok penyair pertama arkhais…”[1]
Warisan Homeros
dalam paideia berupa epos (kidung kepahlawanan) Iliados dan
Odysseia sebagai paideia Yunani
(sarana pedagogis paling handal dalam mengekspresikan kebudayaan). Sama seperti
Ramayana dan Mahabharata bagi India atau Shu –ching (kitab sejarah) dan tao te
ching (kitab jalan keutamaan) bagi China. Homeros dalam zaman pra-arkhais (era
gelap) dan Arkhais menjadi penyair yang mahir menghibur masyarakat, meramal
teka teki ilahi, dan diakui sebagai sosok berpengalaman dan berpengetahuan luas
serta mampu memberi nasihat dalam segala macam perkara.
Homeros
senantiasa melempar percikan pesan bijak dibalik narasi eposnya, terutama yang
berkenan dengan keutamaan polis. Para negarawan dituntut untuk berhikmat atas
kerapuhannya sebagai mahluk mortal. Paideia
bagi Homeros adalah keteladanan atau meniru (mimesis) nilai yang pantas sebagai model ideal. Artinya paideia merupakan keteladanan dan
peniruan sosok personal yang dapat dilihat dalam kidung kepahlawanan yang
dikisahkan.
Homeros memahami
keutamaan (arete) manusia sebagai
mahluk yang digdaya dan unggul. Ciri manusia utama ini bersifat “estesis kalos (indah-elok) dan etis agathos (baik)”[2]
dari mana muncul konsep kaloskagathos.
Kaloskagathos tidak hanya menjadi
milik kaum elitis aristokrat tetapi hendak bicara tentang nilai kemanusiaan
ideal. Sehingga keutamaan seorang negarawan dalam konteks Arkhais masa Homeros
tidak hanya soal keberanian di medan perang dan kehebatan di forum majelis,
tempat para lelaki meraih kemasyuran. Homeros juga sama sekali tidak melihat
keutamaan seorang negarawan kaloskagathos
dalam sudut pandang eu –geneia
(bibit) dan ploutos (bebet) dan
bobot.
Keutamaan dalam paideia Homeros ini memperlihatan bahwa
sosok ideal negarawan kalokagathos
bisa dilihat dalam kemampuannya sebagai seorang penyair “Sosok negarawan ideal
diukur statusnya berdasarkan kapasitas kepenyairannya; atau sebaliknya, sosok
penyair memiliki otoritas sebagai negarawan. Yang menyatukan kedua kapasitas
ideal itu adalah perannya sebagai pendidik.”[3]
Dalam konteks Homeros ini maka dapat dikatakan bahwa figur seorang negarawan
kalokagathos itu terlihat pada diri seorang penyair, yang mampu untuk memberi
solusi terhadap persoalan-persoalan polis. Kemampuan seorang penyair dalam
konteks ini juga terlihat dari kemampuan mereka mendidik dengan menggunakan
kidung-kidung kepahlawanan sebagai mimesis
dan paradeigma. Konsep Homeros ini
tentu sangat bersifat essentialis.
Setelah era
Homerik, maka dua polis Yunani pada abad VI SM yakni; Sparta dan Athena
menerjemahkan ulang kaloskagathos
sebagai keberanian dan kedigdayaan di medan pertempuran. Keutamaan dipandang
sebagai keberanian seorang prajurit yang tanpa takut mati membela polis.
Sehingga sikap pengecut di medan tempur bukan sikap seorang kaloskagathos.
Apa itu Paideia Sofistik?
Kaum Sofis, merupakan kelompok intelektual
Yunani yang melihat keutamaan (arete) kaloskagathos dalam sudut pandang yang
baru terhadap konteksnya. Ketika keutamaan dipahami sebagai kedigdayaan dalam
bertempur pra Homeros, maka kaum Sofis melihat keutamaan sebagai olah nalar.
Dalam konteks ini seorang yang disebut berkeutamaan dilihat dari kemampuan dia
untuk memberi argumentasi. Karena itulah paideia
dalam metode sofistik dapat dibagi dalam tiga bagian yakni:
Pertama,
dengan melihat ilustrasi pemahat yang membentuk sebuah patung dari sebongkah
batu marmer yang keras. Atau ilustrasi petani yang menanam bibit unggul di
tanah yang subur. Kedua, syair dan musik
menjadi salah satu pilihan untuk menggugah seorang anak untuk berkembang dalam
irama yang harmonis. Sofistik secara radikal menafsir musik dan syair sebagai
sarana pembentukan karakter. Sarana pembentukan karakter juga dilihat dalam
pembentukan keterampilan bernalar (the
principle of shaping the inttelect), dan pengembangan keterampilan bernalar
(the cultivation of the inttelct).
Ini berfokus pada bahasa (grammar),
dan ucapan (rhetoric) dan kejernihan
pikiran menyelidiki masalah dan menarik kesimpulan (dialectic). Untuk pengembangan bernalar, kaum sofis mengembangkan
ilmu berhitung (mathemata) sebagai “fondasi
dasar paideia”[4].
Ketiga dengan menggunakan kiat pengajaran ilustrasi yang mensejajarkan antara
olah raga dengan olah nalar. Ketangkasan berpidato (oratory) dipahami serupa dengan senam otak (inttelectual gymnastic) yang sejajar dengan kelenturan seorang
atlet. Kekuatan kata (logos) identik
dengan figur pegulat yang unggul dalam bertarung di arena pertandingan, atau
“pertarungan hukum antara dua orang dalam ruang pengadilan dengan mengandalkan
kekuatan kata (logos)”[5].
Konsep
paideia kaum sofis ini menjadi konsep yang selalu bertumpu pada dua hal dasar
yakni kemampuan personal seorang murid dan kemampuan pendidik dalam mendidik.
Bahwa konsep paideia yang baik selalu
diukur dalam polis. Ukuran ini bisa dilihat dalam kemampuan seseorang dalam
memberi argumentasi (misalnya memberi pembelaan dalam ruang-ruang pengadilan).
Sehingga seorang yang disebut berkeutamaan akan selalu diukur pada kemampuan rhetoric-nya. Sehingga untuk seorang
negarawan kaloskagathos ukurannya
adalah; apakah dia mempunyai ketangkasan dalam rhetoric atau tidak. Karena olah tubuh di dalam gimnastik, telah
berubah menjadi olah nalar dalam ruang-ruang publik. Keutamaan tidak lagi
bertumpu pada keberanian dimedan tempur, tetapi telah digantikan dengan
kemampuan seseorang dalam memberi argumentasi. Konsep kaum sofis ini sangat
perennialis.
Kritik dan
konsepsi Paideia Platon
Kritik
Homerik-Sofistik
Dalam konsep Paideia Homerik-Sofistik, maka mimesis (meniru, meneladani), dan ten rhetoriken
tekhne (keterampilan berpidato), menjadi hal yang sangat penting. Tetapi
Platon, mengkritik dengan menampilkan alegori ranjang tidur. Di mana dalam
alegori ranjang tidur Platon mengambarkan tiga buah ranjang tidur yang
mempunyai jenjang hierarki tersendiri. Tiga buah ranjang tidur ini
masing-masing dibuat oleh Tukang Ilahi, tukang kayu dan pelukis/penyair.
Ranjang tidur ketiga yang dibuat oleh pelukis dianggap sebagai paling rendah
karena merupakan tiruan dari yang kedua, di mana ranjang tidur kedua pun
merupakan tiruan dari yang pertama. Platon menyebut bahwa status penyair
identik dengan pelukis yang membuat realitas ranjang tidur pada jenjang ketiga.
Karena realitas jenjang ketiga hanyalah bayang-bayang dan peniruan dari ranjang
tidur kedua yang dibuat oleh Tukang kayu. Pembuat Ranjang tidur ketiga yakni
pelukis membuat ranjang tidur dengan cara mimesis
hanya untuk kepuasan dan kesenangan. Sama halnya dengan penyair yang membuat
syair hanya untuk kesenangan dan kenikmatan para pendengar tetapi belum tentu
kita menemukan kebenaran.
Dalam konteks
Yunani kuno syair merupakan sarana paling unggul untuk mengespresikan ideal
hidup suatu polis. Karena itulah mengisahkan syair-syair menjadi penting karena
dianggap sebagai paideia bagi polis.
Platon secara keras mengkritik bahwa tidak semua syair dapat dijadikan sebagai paideia. Mimesis lewat syair-syair penting bagi anak-anak, tetapi tidak
semua syair bisa ditiru oleh anak. Platon juga melihat bahwa syair yang
disampaikan hanya sebatas kenikmatan bagi polis, tetapi tidak membuka ruang
untuk mempertanyakan kebenaran didalamnya. Semua syair yang disampaikan seolah
menjadi kebenaran yang harus dijadikan pendidikan karakter bagi polis. Sama
halnya dengan ranjang tidur ketiga yang dibuat oleh pelukis, demikianlah para
penyair hanya memberi kenikmatan bagi jiwa epithumia
dan thumos, tetapi tidak memberi
tempat bagi logistikon (akal budi) untuk
melihat kebenaran.
Platon juga
mengkritik keutamaan kaum sofis yang hanya dilihat dalam kemampuan rhetoric, khusunya kemampuan sebagai
seorang orator. Seolah-olah, mereka yang trampil dalam berpidato selalu identik
dengan nilai-nilai kebenaran, keadilan, keelokan dan kebaikan. Sokrates juga
menyebut mereka ini seperti orang yang hanya gemar merawat kesehatan, dan
menjaga kebugaran demi pesona penampilan. Di sana tidak ada kebenaran, tetapi
hanya sebuah kepura-puraan (kolakeutkike)
dan tipu muslihat (kolakeia).
Konsep Paideia
Platon
Memahami konsep Paideia Platon, maka kita akan
melihatnya dalam tiga konsep alegori: yakni alegori matahari, alegori garis
terbagi dan alegori gua. Ketiga alegori ini dipakai oleh Platon untuk
menjelaskan; pengetahuan (episteme)
dan opini (doxa), yang sensibel dan
inttelegibel atau logistikon (akal
budi) dan Thumos (rasa bangga diri,
harga diri) serta ephitumia (hasrat akan harta,seks singkatnya hasat akan uang).
Pertama, alegori
matahari, Platon menjelaskan bahwa cahaya tidak otonom pada dirinya sendiri,
tetapi dia bersumber dari yang baik dari mahluk ilahi yakni matahari. Matahari
tentu tidak sama dengan mata sebagai indera untuk melihat karena mata tidak
memancarkan cahaya seperti matahari. Tetapi mata dapat melihat sebuah gambaran
tertentu berkat bantuan cahaya matahari. Karena itulah mata inderawi tidak akan
bisa melihat yang baik, karena yang baik hanya bisa dipahami dalam kawasan
pengertian (logistikon) dan itu bisa
dimengerti dengan bantuan idea. Dengan bantuan idea jiwa logistikon akan dapat memahami segala sesuatunya sebagai
pengetahuan (episteme).
Kedua, alegori
garis terbagi yang ditandai dengan garis pemisah horisontal yang tegas yang
berada pada sebuah garis vertikal. Garis ini menjadi penanda antara yang
sensibel dan intellegibel. Di mana jiwa yang hanya mampu menjangkau sesuatu
dalam keadaan terlihat, maka jiwa tersebut akan berada dalam jenjang opini (doxa). Sedangkan jiwa yang hanya
diterangi secara samar-samar hanya akan berada pada wilayah bayang-bayang (eikasia). Jiwa yang diterangi cahaya
(matahari) secara terang benderang, akan dipahami berada dalam status keyakinan
atau kepercayaan (pistis). Dalam
jenjang pistis opini memuat
kebenaran, namun status dan kualitasnya hanya sementara, karena bersifat
sementara kebenaran yang dilihatnya pun tidak selalu tepat, pasti dan kekal.
Jiwa juga bisa sampai pada kawasan pengertian dan dengan demikian terbuka untuk
memahami pengetahuan. Kawasan pengertian ini lebih tinggi tingkatannya dari
kawasan terlihat. Kawasan pengertian ini tidak tergantung pada kawasan
terlihat. Dalam kawasan ini jiwa memahami sesuatu dengan prinsip dasar tentang
keutamaan tertinggi, pasti, tetap, kekal dan umum. Kawasan pengertian ini
terdiri dari dua garis horisontal yakni: penalaran matematik (dianoia) dan intuisi ilahi (noun/noesis). Dalam hal ini pengetahuan tidak lagi bersifat
penalaran, tetapi mewujud dalam pengertian utuh.
Ketiga, alegori
Gua. Alegori gua merupakan alegori yang dapat mengambarkan epistemologi dari
pandangan Platon tentang jenjang pengetahuan. Ketika para tahanan masih berada
dalam gua, maka mereka hanya melihat bayang-bayang di dinding gua yang
dipandang sebagai kebenaran, tetapi ketika dia mampu melepaskan diri, maka dia
akan melihat realitas sekitarnya, yakni benda-benda material yang terlihat oleh
pancaran api yang menyalah. Di mana api identik dengan matahari karena
terangnya tetapi, api juga tetap akan padam. Tetapi ketika dia telah keluar
dari gua, maka dia akan melihat realitas yang diterangi oleh cahaya matahari,
seperti pohon-pobon. Perjalanan keluar gua adalah upaya jiwa mengapai kawasan
pengertian. Sehingga ketika tawanan telah terbebaskan diluar gua, maka
pertama-tama ia akan melihat bayang-bayang, kemudian keserupaan benda-benda di
dalam permukaan air, selanjutnya benda itu sendiri. Setelahnya dia akan melihat
cahaya dan cahaya yang muncul dari matahari. Matahari adalah gambaran idea,
atau yang baik, yang memberi terang.
Dari tiga konsep
alegori di atas, Platon telah mengambarkan dengan sangat baik, bagaimana konsep
Paidea yang hanya dapat dilihat dalam
konsep jiwa yang diterangi oleh logistikon,
tetapi tidak berhenti sampai pada
jiwa logistikon, karena di sana ada idea yang menjadi sumber segala yang baik
yang di identikkan dengan matahari. Dapat dipahami mengapa Platon kemudian
mengkritik dengan keras konsep Homeros-sofistik, karena konsep ini hanya berada
pada wilayah sensibel atau wilayah bayang-bayang dan opini wilayah inderawi.
Sedangkan konsep paideia Platon tidak
berhenti pada konsep inderawi tetapi melampaui yang inderawi dengan masuk pada
level yang lebih tinggi yakni pada wilayah jiwa logistikon yang diterangi,
bahkan sampai pada tahap idea. Secara sederhana konsep paideia Platon dapat ditafsirkan sebagai tawanan yang telah
terbebas dari dalam gua dan mengalami pencerahan budi, yang mampu melihat
matahari sebagai (yang baik). Konsep Paton ini yang sangat menekankan
rasionalitas, bisa dikategorikan dalam filsafat pendidikan sebagai perenialis.
Konsep jiwa logistikon, thumos dan ephitumia tidak dapat dilepaskan dalam
konsep paideia platon. Karena jiwa
merupakan sasaran paideia platon.
Jiwa ephitumia dan thumos hanya mungkin dikendalikan oleh logistikon. Tetapi hasrat bernalar pada logistikon pun harus dikendalikan oleh pengetahuan
(phronesis) dan kebijaksanaan (sophia) agar penalaran tidak menjadi
destruktif seperti gemar bergargumentasi atau tangkas memelintir kata seperti
kaum sofis. Karena itulah pendidikan sebagai perawatan jiwa, tidak cukup hanya
sampai pada tahapan inderawi, atau akal budi tetapi harus sampai pada tahap
yang lebih tinggi yakni idea.
[1]
Hlm 86
[2]
Hlm 49
[3]
Hlm 140
[4]
Fondasi dasar bernalar sebagaimana tafsir Jaeger sebagaimana dikuti HC pada
halaman 144-145, bahwa ini merupakan sumbangsi terbesar Paideia kaum sofis bagi
kebudayaan Yunani Antik. Model formasi ini adalah menyeluruh yang kemudian dikenal dengan sistem pendidikan
ketermpilan (artes liberales). Sistem
pendidikan ini dibagi dalam dua bagain besar yakni studi formal mencakup tiga
bidang sudi yakni tata bahasa (grammar)
tata berpidato (rhetoric) dan tata
berpikir (dialectic) atau dikenal
sebagai trivium. Kedua adalah studi dasar, yang terdiri dari empat bidang studi
yakni; aritmatika, geometri, musik, dan astronomi. Studi Ini dikenal dengan
quadrivium.
[5]
Dengan adanya perdebatan hukum diruang pengadilan, maka metode lama yang
digunakan dalam pembuktian hukum dengan cara penyiksaan, sumpah dan kesaksian,
telah diganti dengan argumentasi yang bertumpu pada ketangkasan berkata-kata.
Casino Near Santa Barbara, CA - Mapyro
ReplyDeleteFind 전라남도 출장샵 Casinos 과천 출장샵 Near 공주 출장마사지 Santa Barbara, CA near San Diego with Mapyro. Casino Near Santa Barbara, CA 대구광역 출장안마 · San Diego 정읍 출장안마 Casino Resort. · San Diego Convention Center.