Aylan Kurdi |
Wajah bocah kecil berusia tiga
tahun ini, telah menceriterakan
kepada kita betapa relasi dengan yang lain telah hancur,
akibat dari kepentingan politik dan keserakahan. Jika nilai kemanusiaan tidak
lagi bisa kita dapatkan dalam relasi dengan yang lain, maka kita hanya akan
menyisakan syair-syair suci tanpa makna. Aylan telah berceritera kepada dunia
tentang pentingnya hidup dalam damai. Boca kecil ini sedang mengugat
kemanusiaan kita. Seperti sedang bertanya, ada apa dengan kemanusiaan kita?
Mengapa konflik harus terjadi? Dan, mengapa bocah-bocah kecil yang harus
menjadi korban? Semua pertanyaan Aylan membuat kita bisu.
Wajah Aylan yang kaku bukan sekedar sebuah
fenomena belaka, di mana kita semua menjadikannya sebagai tontonan. Tetapi wajah
ini telah menyingkapkan sebuah pergulatan manusia. Wajah ini seperti telah
menantang, dan mengundang kita untuk bertanggung jawab. Sayangnya kita sering kali
gagal memahami transendensi wajah yang lain. Gagal memahami betapa pentingnya
kehadiran yang lain. Dan, ini terjadi karena kecenderungan kita memahami orang
lain berdasarkan pikiran kita. Emanuel Levinas menyebut: “Visi sering
menghambat relasi kita dengan yang lain. Karena kita lebih sibuk dengan apa
yang akan kita katakan pada yang lain, sehingga membuat kita tidak terbuka terhadap
sapaan yang lain.” Keterbukaan dan perjumpaan dengan yang lain menjadi penting
dalam memahami kemanusiaan.
Kita tidak ingin ungkapan Hobbes menjadi
kenyataan, bahwa manusia adalah serigala bagi sesamanya (homo homini lupus). Pun, kita
tidak berharap manusia kehilangan akal sehat, dan
menjadi anti sosial. Konflik yang terjadi atas
nama ideologi tertentu, dengan visi tertentu,
telah memporak-porandakan societas. Kita
nampaknya membutuhkan yang disebut Levinas relasi asimetris. Relasi di mana
kemanusiaan dilihat dalam wajah yang lain. “Humanisme dalam wajah yang lain.”
Etika universal yang kita hidupi hari ini yang dibangun atas dasar equality, nampaknya tidak cukup menjawab
persoalan kemanusiaan yang terjadi. Kehadiran Aylan seperti meruntuhkan etika
universal yang telah kita hidupi.
Aylan telah menunjukkan kepada kita bahwa
kesetaraan tidaklah cukup untuk membangun kemanusiaan. Bahkan kesetaraan
seringkali menghilangkan keunikan pada diri setiap orang. Karena itulah, Levinas menyebut struktur
kemanusiaan tidak terletak dalam relasi yang setara. Di mana manusia dibawah
dalam tatanan universal yang justru mereduksi keunikan pada dirinya. Manusia
harus dilihat dalam ketidak terbatasan, bukan dalam sebuah doktrin kesetaraan. Jika
tragedi Aylan kita lihat semata-mata hanya dalam konsep etika universal equality, maka kita bisa melupakan
totalitas kemanusian dalam segala keunikannya. Mengapa? Karena equality sering menjebak kita pada sikap
heterofobia (ketakutan akan yang
lain). Heterofobia membuat semua
orang menjadi musuh, sehingga relasi dengan yang lain menjadi hilang.
Relasi asimetris menjadi menarik, untuk
melihat bagaimana kita mempunyai sebuah tanggung jawab tak terbatas pada yang
lain. Apapun yang kita lakukan atas dasar tanggung jawab, rasanya tidak akan
pernah cukup. Relasi asimetris akan lebih menghargai keunikan manusia. Di sana
tidak ada kepalsuan, tetapi yang ada adalah ketelanjangan (apa adanya). Disana
juga tidak mengenal warnah kulit, agama, suku, untuk menolong mereka yang
sedang mempertahankan hidup. Relasi asimetris dalam etika Levinasian akan
memberi tempat pada kemanusiaan. To, nasionalisme seorang pemimpin tidak akan
berkurang, hanya karena memberi suaka bagi mereka yang sedang terlunta-lunta
dilaut. Mereka yang sedang bergulat dengan ombak diatas perahu kayu yang kecil
mencari tanah harapan. Gandi menyebut, “saya seorang nasionalisme, tetapi
nasionalisme saya adalah kemanusiaan” (my
nationalism is humanity).
Tanggung jawab kemanusiaan kita ada dalam
perjumpaan dengan yang lain dan bukan dalam sebuah teori sastra-sastra suci.
Pandangan Levinas hanya bisa terlihat dalam subjek yang hidup (a living subject) dan bukan hanya
sekedar subjek yang sadar (a conscious
subject). Kesadaran akan yang lain belum bermakna apa-apa, jika kita belum
menghayatinya dalam perjumpaan dengan yang lain. Semua orang hari ini sadar
bahwa apa yang terjadi pada Aylan adalah sesuatu yang mengusik nurani. Tetapi
apakah kesadaran akan tragedi Aylan menjadi bermakna jika kita sendiri tidak memberi
ruang dalam perjumpaan dengan yang lain. Wajah Aylan bukan sekedar gambaran
kaku tentang kemanusiaan, tetapi wajah Aylan sungguh-sungguh adalah wajah kemanusiaan
kita.
Wajah itu telah memperlihatkan kepada kita,
betapa pentingnya tanggung jawab terhadap yang lain. Yang lain adalah sahabat
bagi yang lainnya (homo homini socius).
Yang lain bukanlah neraka, tetapi wajah yang lain adalah gambaran totalitas
seorang manusia dalam keunikannya. Aylan mengingatkan kita, betapa tidak cukup
jika kita tidak sungguh-sunggu hadir dalam perjumpaan dengan yang lain. Etika Levinasian mau
menyatakan bahwa “Kehidupan
adalah cinta akan kehidupan itu sendiri”.
No comments:
Post a Comment