Editor : Armada Riyanto, dkk.
Penerbit : Kanisius, Yogyakarta, Cetakan
Pertama, Agustus 2015
Jumlah
hlm : 652
Kearifan Lokal Pancasila: Butir-butir Filsafat Keindonesiaan
("Soekarno pun merindukan lahirnya
buku ini")
“Hanja
Pantjasila-lah yang dapat tetap mengutuhkan Negara kita”, (Bung Karno).
Sebuah pertanyaan yang selalu berdengung di telinga kita adalah, dari manakah filosofi dasar pancasila itu ditemukan
oleh Soekarno? Pertanyaan ini bukan sebuah pertanyaan sederhana, yang bisa
dijawab secara sederhana. Jawaban umum yang sering kita dengar adalah, Pancasila
merupakan sebuah
pencampuran
dari berbagai ideologi, baik itu dari aliran filosofi marxisme-Leninisme
(Sosialis), liberalisme, San Min Chui, pun dari doktrin agama. Jawaban
sederhana ini ingin mengungkapkan bahwa Pancasila lahir bukan dari sebuah
pergulatan konteks, tetapi dari sebuah kompromi ideologi tertentu.
Buku
ini menghadirkan sebuah narasi baru, bagaimana kita melihat pancasila dalam
perpektif yang berbeda. Sebuah narasi filosofis yang ditampilkan oleh para
penulis dalam melihat pancasila dalam konteks kearifan lokal. Buku ini
menunjukkan kepada kita, bagaimana filosofi pancasila telah ada dalam
masyarakat nusantara sebelum ada yang bernama Indonesia. Butir-butir Filsafat Keindonesiaan
tersebut, yang lahir dari kearifan lokal dimetaforakan bagaikan, “garuda-garuda
kecil nan elok yang terbang indah menyatuh menjadi Garuda Pancasila”.
Buku
ini merupakan buku pertama di Indonesia, yang secara serius melihat Pancasila
dalam konteks kearifan lokal. Narasi pancasila yang dinarasikan dari kearifan
lokal, melukiskan jiwa bangsa Indonesia.
Seperti diungkapkan dengan sangat baik oleh Armada Riyanto, bahwa: “Menurut
bung Karno, suatu bangsa memiliki “jiwa”. Dan “jiwa” inilah yang dia gali dari
dalam diri bangsa Indonesia itu sendiri.
Kristalisasi “jiwa” ini ialah sila-sila dalam Pancasila. Jadi, Pancasila
adalah “jiwa” bangsa atau kepribadian bangsa Indonesia. Tanpa Pancasila,
Indonesia pasti menjadi bangsa yang tak punya “jiwa”.” Hlm 18. Pancasila
adalah sebuah fondasi filosofis (philosophische
grondslag) yang menjadi jiwa bangsa Indonesia.
Fondasi
filosofis ini, bukan datang dari langit, dan bukan datang dari
ideologi-ideologi tertentu. Tetapi dia adalah “fondasi pikiran yang
sedalam-dalamnya, jiwa, dan hasrat yang sedalam-dalamnya”. Hlm 14. Fondasi pikiran-pikiran inilah yang secara
menarik terurai dalam buku ini, yang lahir dari kearifan lokal. Yudi Latif
menyebut; bahkan Soekarno sekalipun merindukan lahirnya buku ini. Buku ini
telah memberi sumbangsi luar biasa dalam mengali butir-butir filsafat
keindonesiaan. Soekarno pernah menyatakan, bahwa: “Penggalian saya tentang
Pancasila, sampai jaman sebelum agama Islam. Saya gali sampai jaman Hindu dan
pra-Hindu”, ( bnd hlm 19).
Para
penulis yang berasal dari berbagai daerah, mengurai dengan sangat baik
Pancasila dari konteks kearifan lokal. Narasi-narasi filosofis tersebut
memperlihatkan kepada kita, bagaimana fondasi filosofis yang bernama Pancasila
ini, telah hidup dan dihidupi oleh masyarakatnya. Mungkin negara ini telah lama
bubar, sekiranya filosofi Pancasila ini tidak dilahirkan dari fondasi filosofis
kearifan lokal yang telah dihidupi oleh masyarakatnya. Butir-butir filsafat
keindonesiaan yang diangkat dalam buku ini, akan membawa kita pada pengembaraan
filosofis masyarakat nusantara. Kita akan menemukan harta karun, yang satu
persatu mulai dimunculkan dalam narasi-narasi filosofis. Buku kearifan lokal
Pancasila ini mengukuhkan ungkapan Soekarano, bahwa dia menggali Pancasila dari
kedalaman “jiwa” dan hasrat yang sedalam-dalamnya. Ungkapan itu bukan ungkapan
tanpa makna, tetapi benar-benar sebuah refleksi filosofis yang mendalam dari
Soekarno. Di mana salah satu modelnya telah di uraikan dengan baik dalam buku
ini.
Buku
ini melihat Pancasila, bukan sebagai sebuah doktrin yang akan dipakai untuk penataran
para pejabat, atau disampaikan di ruang-ruang kelas. Pancasila dalam perspektif
kearifan lokal, melukiskan kepada kita sebuah filosofi yang sungguh-sungguh
dihidupi oleh masyarakatnya. Karena itu kearifan lokal Pancasila yang diangkat
dari kedalaman refleksi para penulisnya, bukan doktrin yang kaku, tetapi adalah
filosofi yang hidup. Hidup, karena lahir dari rahim kearifan lokal nusantara,
dan bukan dari sebuah doktrin tertentu. Sebagai jiwa dan fondasi hidup bangsa
Indonesia, maka apa yang dikatakan Franz Magnis Suseno menjadi sangat tepat:
“Pancasila adalah syarat dan dasar persatuan bangsa Indonesia yang majemuk.”hlm
587.
Pancasila
dapat diterima oleh semua golongan, karena dia menjamin keunikan yang ada pada diri
setiap individu/kelompok. Menjamin, dan menghargai perbedaan yang begitu
beragam. Artinya nilai-nilai kemanusiaan itu telah hidup jauh sebelum Indonesia
ada. Dia hidup dalam kearifan lokal masyarakat nusantara. Alangkah menyedihkan
dan tidak rasional, ketika hari ini masih ada kelompok yang anti sosial dan tidak
menghargai perbedaan. Tindakan seperti itu justru mengundang sebuah pertanyaan.
Fondasi filosofis mana yang sedang mereka hidupi? Bukankah kearifan lokal yang
kita hidupi, yang adalah butir-butir filsafat Pancasila sangat memberi tempat
untuk kemanusiaan. Memberi ruang penghargaan bagi yang lain. Buku ini akan memberi
ruang diskusi menarik terhadap pergulatan tersebut.
Buku ini terdiri dari 35 Esai filosofis, yang menggali kearifan
lokal Indonesia yang terbagi atas. Esai kedua sampai ke delapan mengurai
mengenai isu-isu KeTuhanan. Esai kesembilan hingga keempat belas mengurai
mengenai isu-isu kemanusiaan. Esai ke lima belas hingga duapuluh satu berbicara
tentang isu-isu Persatuan. Esai kedua puluh dua hingga ke duapuluh enam
berbicara tentang isu Musyawarah dan Demokrasi, dan Esai kedua puluh tujuh
hingga ketiga puluh dua, berbicara mengenai isu Keadilan. Buku ini merupakan
persembahan untuk 70 tahun Indonesia merdeka, yang lahir dari pergulatan
mendalam Asosiasi Filosof Katolik Indonesia (AFKI).
Ivan Sampe Buntu
No comments:
Post a Comment