Friday 22 April 2016

Robophilia dan Masa Depan Manusia



Robophilia dan Masa Depan Manusia
Oleh Ivan Sampe Buntu

Abstrak
Dari rasionalitas menuju relasionalitas, adalah salah satu ciri yang dilekatkan pada posmodernisme. Artinya fondasi makna selalu terkait dengan relasi dengan yang lain. Sayangnya bahwa relasionalitas ini mulai mengalami sebuah guncangan besar dari sebuah gaya hidup baru manusia, yang menghadirkan dirinya dalam virtual reality. Dan, nampaknya realitas virtual ini telah menemukan bentuk barunya dalam robophilia. Robophilia tidak lagi hanya sekedar dilihat sebagai sebuah benda pasif, tetapi telah dipandang sebagai sesuatu yang dapat dihayati.  
Manusia dengan demikian telah menciptakan sebuah peradaban baru. Peradaban yang tidak lagi membuat distingsi antara realitas virtual dan dunia yang real. Robophilia nampaknya telah menjadi jembatan baru untuk menjembatani fantasi dan realitas. Karena itu tidak mengherankan jika mereka yang mencintai dunia virtual, telah menggunakan robot sebagai sebuah alternatif baru untuk menghadirkan yang virtual menjadi kongkret. Tidak mengherankan berita dari CNN yang menyebut pemuda-pemuda Jepang yang mulai jatuh cinta pada robot dan membawanya ke mana-mana pada masa libur. Makna relasionalitas dengan demikian sepertinya akan mulai mengalami masalah dalam dunia posmodernitas.
    
Kata Kunci
Robophilia, Konstruksi makna, fenomenologi, intensionalitas, Perjumpaan, keseharian, virtual reality/dunia virtual. Post-modern dan societas.   

Mencari Makna Fenemenologi
Setiap manusia mempunyai pengalaman hidup, dan pengalaman hidup lahir dari keseharian manusia. Pengalaman keseharian menjadi bermakna ketika kita ada bersama dengan yang lain. Artinya kehadiran aku dalam societas menjadi sangat penting. Mengapa? Karena dengan hadirnya aku bersama yang lain, maka makna hidup menjadi berarti. Aku menjadi tidak bermakna tanpa kehadiran yang lain dan sebaliknya. Bisa dikatakan bahwa aku mengenal diriku karena adanya yang lain. Fenomenologi adalah filsafat yang mengurai makna perjumpaan dari keseharian manusia. 

Berfilsafat fenomenologis tidak sama dengan berfilsafat transendental metafisis, melainkan merupakan aktivitas akal budi yang mengurai dan mengeksplorasi pengalaman hidup setiap hari. Dalam fenomenologi, aneka persitiwa kehidupan tidak terpisah satu sama lain. Dalam fenomenologi, tidak ada peristiwa kecil yang tidak bermakna. Fenomenologi memungkinkan akal budi kita mengerti keanekaragaman peristiwa dalam ranah harmonitas dan rivalitasnya yang penuh makna.[1]

Peristiwa adalah suatu rangkaian yang saling terkait satu dengan yang lain, dan semua peristiwa tersebut mempunyai makna. Seorang manusia bisa saja mempunyai pengalaman yang sama. Tetapi pengalaman yang sama tidak berarti akan melahirkan makna yang sama. Pengalaman dalam dunia virtual misalnya, yang sekarang ini mulai menjadi trend baru dalam masyarakat. Pengalaman dalam dunia virtual ini tidak berarti akan melahirkan makna yang sama dari orang-orang yang berbeda. Setiap orang justru akan memberi makna berbeda berdasarkan pengalaman kesehariannya. Fenomenologi dengan demikian akan selalu melahirkan pemaknaan berbeda dari setiap orang. Tetapi pengalaman tersebut akan selalu mempunyai keterkaitan dengan pengalaman yang lainnya.  
“Dalam fenomenologi, segala peristiwa hidup bermakna. Tidak ada peristiwa puncak. Pun tidak ada peristiwa kecil yang tidak memiliki makna.”[2] Semua peristiwa keseharian dengan demikian mempunyai keterkaitan dengan hal-hal yang universal. Mereka yang hari ini menganggap robophilia adalah kecintaan biasa pada robot, dan melihat ini sebagai pemaknaan personal biasa. Tetapi di masa depan, robophilia akan sangat mempengaruhi hubungan relasionalitas manusia. Fenomenologi dalam hal ini akan mengurai makna dalam sebuah perjumpaan dengan yang lain. Di sana ada intensionalitas subjek terhadap yang lain. Intensionalitas yang tidak melihat yang lain sebagai objek untuk ditafsir berdasarkan asumsi. Tetapi kesadaran intensionalitas pada sesuatu yang membiarkan subjek mengungkapkan maknanya sendiri.                
            Salah satu hal penting yang tidak boleh dilupakan dalam fenomenologi adalah, fenomenologi sering disebut sebagai ilmu tanpa prasangka. Mengapa dia disebut ilmu tanpa prasangka? Karena fenomenologi mencoba mengurung semua asumsi-asumsi dan membiarkan objek menampakkan dirinya sendiri.

Langkah pertamanya adalah menghindari semua konstruksi, asumsi yang dipasang sebelum dan sekaligus mengarahkan pengalaman. Tak peduli apakah itu konstruksi filsafat, sains, agama dan kebudayaan semuanya harus dihindari sebisa mungkin. Semua penjelasan tak boleh dipaksakan sebelum pengalaman menjelaskan sendiri dari dalam pengalaman itu sendiri.[3]     
           
            Fenomenologi dengan demikian selalu menghindari semua asumsi yang ada, agar pengalaman itu bisa menyatakan dirinya apa adanya. Tidak ada artinya bicara tentang esensi tanpa sebuah penampakan dari pengalaman. Berbeda dengan ilmu sosial yang sering membuat asumsi sebelum bekerja. Fenomenologi justru menghindari asumsi dalam bekerja.   

Konstruksi Makna Dunia Keseharian

Objek diciptakan dari kehadiran ketika kita berjumpa dengan mereka di dalam aliran kesadaran kita. Hadir bersama-sama dalam sebuah konteks makna. Ketika  Mereka saling mengikuti satu sama lain dalam urutan-urutan yang teratur, pengalaman kita tentang objek itu dibangun.[4]
                                   
Perjumpaan dengan demikian menjadi sesuatu yang sangat penting. Perjumpaan itu adalah perjumpaan yang dilihat dalam sebuah kesadaran. Kesadaran yang dimaksud oleh Husserl dalam hal ini adalah “kesadaran”[5] akan sesuatu. Artinya perjumpaan ini menjadi bermakna ketika subjek terarah pada sesuatu (intensionalitas). Pertanyaannya adalah di mana letak makna dalam dunia pengalaman?
            Jika membaca konsep Schutz yang mengacu pada Husserl dan Weber, maka makna  juga terkait dengan pengalaman masa lalu manusia. Di mana pengalaman yang diterima pada masa sebelumnya dalam bahasa Schutz disebutnya sebagai “stock of knowledge”. Pengalaman masa lalu ini mempengaruhi makna yang terkonstruksi dalam pola pikir, gerak, sikap dan perilaku serta dapat diimplimentasikan secara nyata dalam realitas.

First of all, there are experiences of the external world and its objects, animate and inanimate. The man in the natural attitude "has," therefore, a stock of knowledge of physical things and fellow creatures, of social collectives and of artifacts, including cultural objects. He likewise "has" syntheses of inner experience.[6]
           
            Stock of knowledge dalam hal ini menjadi sesuatu yang penting dalam diri manusia, karena pengalaman masa lalu ini ternyata sangat mempengaruhi konstruksi dalam hidup manusia di sini dan sekarang. Konstruksi dunia pengalaman dengan demikian tidak hanya ditentukan oleh apa yang terjadi sekarang, tetapi juga apa yang telah terjadi di masa lalu. Schuts dalam hal ini menyebut bahwa,Pengalaman hidup yang kemudian terjadi di sini dan sekarang yang mana kualitas intrinsiknya sebagian ditentukan oleh retensi dari pengalaman hidup sebelumnya.[7] Pengalaman-pengalaman masa lalu dengan demikian mempunyai sumbangsi sangat penting dalam melihat konstruksi makna dalam dunia keseharian manusia.
            Dunia pengalaman adalah dunia sosial yang menggambarkan hidup keseharian manusia. Manusia dalam dunia sosial mengandaikan relasi dengan yang lain. Aku menjadi bermakna dengan adanya kehadiran yang lain. Artinya relasi dengan yang lain, di dalamnya selalu ada intensionalitas. Intensionalitas mau menyatakan akan kesadaran akan keterarahan kepada sesuatu. Keterarahan pada sesuatu dalam konsep Husserl adalah berbeda dengan Gurunya Brentano. Jika Brentano melihat objek sebagai sesuatu yang berwujud, maka Husserl melihat objek bisa berwujud dan bisa tidak. Objek dengan demikian tidak hanya sebuah materi tertentu yang mewujud, tetapi juga objek dalam emosi. Pikiran Husserl ini menjadi penting untuk dipahami, agar tidak terjebak pada konsep empirisme. Karena dunia sosial tidak cukup dilihat dalam pendekatan empirisme, tetapi kita harus masuk lebih jauh dalam dunia makna.
Mengapa tidak cukup memahaminya dalam konsep empiris? Karena konsep seperti ini akan menggiring kita hanya pada data-data. Sedangkan dunia sosial terkait dengan makna. Tindakan korupsi misalnya, tidak cukup jika hanya memahami seberapa besar kerugian negara yang diakibatkan, atau, seberapa banyak yang terlibat dalam tindakan korupsi. Tetapi mestinya kita jauh melihat kedalaman makna dari apa yang terjadi pada tindakan asosial tersebut. Tidak sekedar menghitung data kerugian negara, atau jumlah yang terlibat. Atau ketika pembakaran rumah ibadah yang dilakukan oleh sekelompok orang di Aceh, dengan berpegang pada tata aturan yang telah disepakati. Tentu kita tidak sekadar akan menghitung berapa rumah ibadah yang dibakar dan berapa jumlah korban. Tidak! Tetapi jauh melampaui semuanya, di mana subjek sedang terarah pada objek (intensionalitas) dan membiarkan objek berbicara. Seperti telah dijelaskan sebelumnya bahwa fenomenologi selalu terkait dengan yang lain.

Dalam pandangan Schutz … kesadaran akan dunia kehidupan sehari-hari adalah sebuah kesadaran sosial. Dunia individu merupakan dunia intersubjektif dengan makna beragam, dan perasaan sebagai bagian dari kelompok. Manusia dituntut untuk saling memahami satu sama lain, …[8]

Konsep manusia dalam pandangan Schutz tidak dilihat hanya sebagai makhluk individu, tetapi juga makhluk yang berelasi dengan yang lain dalam intensionalitasnya seperti dipahami oleh Husserl. Schutz juga melihat manusia dalam dunia sosialnya. Kesadaran akan dunia kesehariannya pun dilihat dalam kesadaran sosial. Manusia dalam hal ini bertindak dalam kesadaran sosial, sehingga aku selalu dipengaruhi oleh yang lain. Bisa dikatakan bahwa hidup keseharian manusia adalah hidup dalam tindakan sosial yang mengkonstitusi maknanya sendiri. Hidup keseharian ini, berarti manusia ada bersama dengan yang lain. Manusia mengkonstruksi dunia pengalamannya dari tindakan sosial dalam perjumpaan dengan yang lain. Tindakan sosial dalam relasi dengan yang lain dengan demikian adalah tindakan yang bermakna dalam konsep Schutz.
Tindakan sosial yang dimaksudkan adalah tindakan yang melibatkan aku dan yang lain. Artinya, kehadiran manusia dalam dunia menjadi bermakna dalam perjumpaan dalam dunia sosialnya. Karena Schutz melihat manusia sebagai makhluk sosial yang ada bersama dengan yang lain. Karena itulah Armada Riyanto menyebut bahwa:

(1). Subjektivitas bukanlah sebuah drama tontonan, di mana kita menjadi penonton, tetapi dia memiliki pesan universal (2). Subjektivitas universal (dari parsialitas ke universalitas (3). Manusia itu harus disimak dalam konteks. Konteks tidak hanya menunjuk pada ruang dan waktu, tetapi menunjuk pada sebuah pergulatan  (4). Subjektivitas punya relasi dengan yang lain, subjektivitas tidak ada dalam karantina (5). Realitas sosial selalu menjadi produk relasi intersubjetif. Di mana manusia tidak memproduksi nilainya sendiri, tetapi punya muara, punya asal usul yang berasal dari subjektivitas.[9]

Dari penjelasan ini, maka dapat dikatakan bahwa konstruksi makna hanya bisa kita lihat dalam relasi intersubjektivitas. Sepertinya kita tidak akan menemukan makna tanpa relasi dengan yang lain. Relasi mengandaikan adanya konteks pergulatan, dan konteks pergulatan ini akan melahirkan makna. Relasi ini bisa melahirkan makna, dan makna itu bisa menjadi pesan universal. Pesan universal yang dimaksudkan, misalnya ketika seorang bocah yang ditemukan mati di bibir pantai Turki yang bernama Aylan atau seorang petani (Salim Kancil) yang dibunuh oleh karena menolak tambang pasir. Semua ini merupakan gambaran dan pesan universal betapa rapunya societas hari ini. Dalam hal ini kita tidak lagi melihat korban dalam parsialitasnya, tetapi melihatnya dalam makna dan pesan universalnya.
Dalam sudut pandang ini, maka kita sesungguhnya telah mengurai makna dari sebuah pergulatan manusia. Pergulatan ini telah menunjukkan kepada kita bahwa makna menjadi berarti dalam keterkaitan dengan yang lain. Relasi intersubjektif dalam hal ini menjadi sesuatu yang sangat penting. Salah satu contoh menarik yang patut untuk ditelisik adalah relasionalitas dengan yang lain yang mulai digeser oleh robophilia.              

Robophilia Dalam Keseharian Manusia

Kebanyakan robot yang digunakan di Jepang selama ini adalah jenis robot-robot industri yang digunakan dalam proses produksi, tetapi sekarang kami pindah ke dunia kontemporer, di mana Robot tidak hanya dilihat sebagai mesin produksi. Robot telah perlahan-lahan tapi pasti masuk ke dalam kehidupan keseharian kita dengan kemajuan fungsi komunikasi mereka. Berbeda dengan Barat, Jepang selalu mempunyai bentuk-bentuk yang unik untuk dipamerkan dari kecintaan terhadap robot, robophilia. Salah satu konglomerat terbesar multi-media dunia, Sony Corporation, telah memperkenalkan berbagai jenis robot hiburan hewan zoals AIBO (robot kecerdasan buatan,…)[10]
           
Perlahan tetapi pasti manusia mulai menghadapi sebuah persoalan baru. Di mana masa depan manusia dalam relasionalitasnya akan digantikan oleh robot. Ini tentu bukan sebuah isapan jempol. Jika di masa lalu robot hanya dianggap sebagai mesin produksi yang membantu manusia menyelesaikan pekerjaannya. Tetapi di masa depan posisi manusia akan digantikan oleh robot (manusia akan lebih mencintai/mempercayai robot, karena itu dia akan menyerahkan totalitas hidupnya pada apa yang dicintainya) . Dampak dari kecintaan pada robot dalam virtual reality, akan membuat manusia tidak lagi membutuhkan perjumpaan dengan yang lain. Mengapa? Karena semua persoalan manusia akan diselesaikan oleh robot. Salah satu kecenderungan manusia hari ini, khususnya di Jepang sebagaimana dilansir oleh CNN bahwa: “Berdasarkan data menunjukkan bahwa banyak orang muda Jepang sudah menghindari seks. Pria Jepang sudah mengambil pacar virtual mereka untuk pergi berlibur dengan mereka ke pulau Atami.”[11] 
Robophilia di masa depan benar-benar akan menjadi masalah besar bagi manusia. Dari urusan dapur (pekerjaan) sampai urusan cinta (emosi) akan ditangani oleh seorang robot. Mengapa ini menjadi masalah? Karena kehadiran yang lain dalam hal ini tidak lagi dibutuhkan oleh manusia. Kalau kehadiran yang lain tidak dibutuhkan, maka sesungguhnya kita sedang meruntuhkan subjektivitas kita sendiri. Seperti diungkapkan Armada Riyanto bahwa; “Liyan adalah kehadiran yang perlu dalam diriku. Liyan menjadi kriteria-ku untuk menegaskan subjektivitasku. Perjalanan hidupku bukanlah perjalanan sendirian melainkan bersama dan dihadapan Liyan.”[12] Perjalanan hidup tanpa kehadiran yang lain, tetapi telah digantikan oleh sebuah robot bukankah ini adalah sebuah masalah besar manusia. Lalu siapa yang akan menegaskan eksistensiku tanpa yang lain. Apakah robot yang adalah sebuah benda yang kita konstruksikan berdasarkan keinginan kita dapat mengantikan posisi Liyan untuk menegaskan eksistensiku? Adalah sungguh naif dan tidak manusiawi ketika kita mencoba mengganti posisi Liyan dengan sebuah robot untuk menegaskan eksistensiku.
Relasi aku engkau menjadi hilang ketika posisi Liyan diambil alih oleh sebuah robot. Tetapi inilah gambaran dunia di masa depan. Atau lebih tepatnya gambaran manusia di masa yang akan datang. Karena itu pertanyaan, dapatkah Liyan digantikan oleh sebuah robot, menjadi sebuah pertanyaan yang cukup mendasar. Mendasar karena ini menyangkut eksistensi manusia yang hidup dalam relasionalitasnya. Ini bukan sekedar untuk menjawab ya atau tidak! Tetapi ini menyangkut eksistensi. Sebutlah ketika aku berada di sebuah tempat yang hanya ditemani oleh sebuah robot yang aku cintai. Dapatkah aku menyatakan eksistensiku sebagai subjek? Sekalipun robot itu adalah robot cerdas yang bisa diajak untuk mendengarkan pergulatan hidupku. Inilah yang akan terjadi di masa depan. Banyak orang akan kehilangan eksistensinya sebagai manusia, karena mereka tidak lagi membutuhkan kehadiran yang lain tetapi telah memilih sebuah benda pasif untuk menegaskan esksistensinya.
Virtual reality seperti telah menjadi pilihan sebagian orang di dunia post-modern. Dan, ini akan menjadi virus baru di dunia post-modern. Virus yang akan dengan mudah menjangkiti siapa saja yang tidak lagi peduli dengan relasionalitasnya. Artinya, konstruksi makna dunia keseharian akan menjadi masalah besar di masa depan. Masalah besar karena dia terkait dengan bagaimana manusia mengkonstruksikan dirinya dalam dunia kesehariannya. Seorang bisa saja mengkonstruksi makna dunia kesehariannya dalam virtual reality. Sehingga manusia yang seperti ini, praktis tidak lagi membutuhkan yang lain dalam dunia kesehariannya. Karena yang lain telah tergantikan oleh sesuatu yang lain. Gejala ini pun telah kelihatan dalam dunia virtual. Di mana seorang akan lebih menikmati berteman dengan seseorang di dunia virtual daripada di dunia nyata. Lebih senang berdiskusi di dunia maya daripada berdiskusi di dunia nyata.
Tidakkah semua hal di atas adalah sebuah gambaran betapa masa depan manusia sedang mengalami problem besar. Tidak banyak orang yang menyadari bahaya ini. Tetapi fenomen ini menjadi sesuatu yang sangat penting untuk diberi perhatian. Karena ini menyangkut eksistensi manusia dan masa depannya di masa yang akan datang. Saya tidak dapat membayangkan bagaimana rapuhnya societas ketika manusia lebih mencintai sebuah robot daripada seorang manusia. Cara berpikir ini, akan berpengaruh pada sikap manusia memperlakukan yang lain. Di mana yang lain tidak lagi dianggap sebagai yang menegaskan subjektivitasku, tetapi yang lain justru bisa dianggap sebagai “neraka”. Dengan demikian yang lain akan tergantikan oleh sebuah produk yang diciptakan oleh manusia sendiri.

Robophilia  dan Rapuhnya Societas
Amir piliang menyebut bahwa, “Masyarakat post-modern menjadi masyarakat Ilusi, yang merayakan ilusi ketimbang realitas”[13] Masyarakat ilusi ini membentuk identitasnya sendiri dan mengkonstruksi maknanya dari pengalaman keseharian mereka. Pengalaman itu tidak ditemukan dalam perjumpaan dengan yang lain, tetapi lebih ditemukan dalam dunia virtual. Identitas manusia post-modernis dalam mengkonstruksi makna pengalaman dengan demikian hanya akan ditemukan dalam imajinasi. Logika ini mau mengatakan bahwa yang real adalah yang virtual, sedangkang kongret itu hanya dilihat sebagai subaltern. Mengapa dilihat sebagai subaltern? Karena yang lain hanyalah objek untuk menyiapkan segala kebutuhanku. Aku sama sekali tidak mempunyai tanggungjawab terhadap yang lain, karena tanggungjawabku ada dalam dunia virtual. Ini adalah gejala dari manusia post-modernis yang terlihat.
Pandangan di atas bukan tanpa alasan. Di mana saya sendiri mempunyai pengalaman kongkret yang mungkin sering kita lihat atau pernah mengalaminya. Di sebuah bandara ketika saya sedang berada di ruang tunggu, saya memperhatikan setiap orang sibuk dengan dunia lain (sibuk dengan dunia virtual dengan memainkan HP nya, bahkan sesekali ada yang senyum-senyum sendiri). Bahkan seorang sahabat dalam sebuah pertemuan di suatu tempat, sahabat tersebut hanya sesekali bicara dan selebihnya dia gunakan untuk bermain dengan HP nya. Dunia post-modernis telah dirasuki oleh sebuah cara berpikir baru yang telah melumpuhkan relasionalitas manusia. Sikap dan cara berpikir seperti inilah yang kemudian berkembang, sehingga manusiapun secara perlahan mulai digeser posisinya oleh robot.
Hakikat manusia sebagai makhuk sosial, nampaknya tidak dapat dihilangkan, tetapi dapat tergantikan oleh sesuatu. Kesosialan manusia dalam relasionalitasnya dengan yang lain, telah mulai digeser oleh alat yang diciptakannya sendiri. Robophilia telah menganti posisi tersebut. Sehingga manusia dalam societas hari ini menjadi sangat rapuh. Konstruksi makna yang mestinya difondasikan dalam relasi keseharian manusia, perlahan-lahan mulai kabur dan tidak jelas. Pengalaman dalam ruang dan waktu yang menjadi stock of knowledge dari manusia, sekarang pun menjadi pertanyaan. Ruang dan waktu mana yang telah mengkonstruksi identitasnya? Apakah ruang dan waktu virtual? Atau ruang kesehariannya dalam hubungan relasionalitasnya dengan yang lain.         
Jika stock of knowledge berangkat dari ruang-ruang virtual. Pertanyaannya adalah, makna seperti apa yang telah ditemukan dalam ruang-ruang tersebut? Tidakkah pengalaman itu akan semakin merapuhkan societas? Karena pengalaman itu tidak di fondasikan pada relasionalitas manusia. Akhirnya manusiapun dapat tersingkir dari dunia kesehariannya. “karena aktivitas hidupnya tidak dimaknai sebagai “milik”-nya, manusia tidak berperan sebagai “aku” atas dirinya. Manusia tidak menjadi subjek atas hidupnya.[14] Dengan kata lain ketika manusia merasa terasing dari dunia kesehariannya, maka dia tidak akan dapat menemukan makna. Manusia hanya menjadikan dirinya sendiri objek. Pengalaman dalam dunia virtual hanyalah sebuah pengalaman imaginatif dan bukan pengalaman yang sesungguhnya. Karena itu manusia justru akan terasing dalam pengalaman seperti ini. Sebab dia akan mejadi makhluk yang dikonstruksi oleh dunia lain dan bukan oleh dunianya sendiri.
Ketika manusia telah dikonstruksi oleh dunia yang lain (dalam dunia virtual), maka dia telah kehilangan identitasnya sebagai manusia. Eksistensinya pun dipertanyakan sebagai seorang manusia. Bahkan pengalaman fisikinya pun telah diubah oleh sesuatu yang lain. Sehingga ketika manusia lebih mencintai robot daripada manusia, maka eksistensi kemanusiaannya dipertanyakan. Penggunaan teknologi secara keliru, juga telah menyumbang kerapuhan societas.  Teknologi secara an sich tentu selalu baik, tetapi teknologi yang dikendalikan oleh tangan-tangan yang tidak bertanggungjawab akan membawa masalah. “Science tidak lagi scientific melainkan sarat kepentingan.”[15]       
Jika kita mau jujur, maka sesungguhnya ini bukan lagi roh dari post-modernisme. Seperti diungkapkan Armada Riyanto bahwa: “Jika modernitas kerap diidentikan dengan kemajuan, postmodernitas adalah gelombang filsafat yang mengkritisi aneka kemajuan sebagai kurang manusiawi.”[16] Postmodernitas lebih identik dengan relasionalitas daripada rasionalitas. Tetapi perkembangan teknologi nampaknya telah mengubah pandangan tersebut. Jika dulu Platon menganggap bahwa jiwa dipenjara oleh tubuh (soma sema) maka sekarang nampaknya konsep ini telah runtuh dihadapan teknologi. Di mana dalam dunia postmodern hari ini tubuh fisik tidak lagi bisa membatasi manusia untuk dapat berjumpa dengan siapapun di seluruh dunia dalam dunia virtual. Ruang tidak lagi dapat menjadi penjara bagi manusia, karena mereka lebih menikmati perjumpaan dalam dunia virtual.
Donny Gahran  mengatakan bahwa: “Prinsip kenikmatan merajalela mengalahkan prinsip realitas, karena disinyalir di Amerika lebih 60% pemudahnya lebih suka ber-cybersex di internet daripada dengan pasangan real.”[17] Senada dengan seorang dosen senior dan peneliti dari Departemen Sunderland Inggris, Dr. Helen Driscoll mengatakan bahwa “virtual seks berkembang bersama teknologi yang memiliki kemampuan untuk benar-benar mengubah pengalaman fisik seseorang.”[18] Perjumpaan dalam dunia fisik ini telah tergantikan oleh kecintaan pada robot. Situasi perjumpaan nampaknya akan mulai dimaknai secara berbeda dalam dunia postmodernitas. Konstruksi makna tersebut terlihat dari sikap manusia yang tidak lagi memberi ruang untuk perjumpaan fisik, tetapi lebih menikmatinya dalam perjumpaan virtual. Di sana akan terlihat jelas bagaimana rapuhnya societas ketika perjumpaan tidak lagi dimaknai pada ruang-ruang fisik, tetapi pada ruang-ruang virtual. Pertanyaannya adalah makna seperti apa yang akan kita temui dalam dunia seperti itu?  
Situasi-situasi seperti di atas, yang membuat kecintaan pada yang lain menjadi luntur dan perlahan mulai hilang. Karena cinta tersebut telah bergeser pada sesuatu yang lebih virtual. Cinta pada manusia (sesama) akan digeser oleh robot. Manusia akan mulai bermain dalam wilayah imajinasinya untuk menikmati dunia virtual. Robot menjadi salah satu alat yang telah diciptakan untuk menjawab kekosongan dalam dunia virtual manusia. Artinya, jika manusia masih membutuhkan perjumpaan dalam konsep virtual reality, maka obsesi itu akan diwujudkan bersama dengan robot yang dibuatnya. Perjumpaan itu akan terlihat bersama dengan sebuah robot. Dengan kata lain, robot dalam hal ini tidak lagi dipandang sebagai objek pasif, tetapi sebuah realitas yang di hayati (dimaknai). Ini adalah sebuah pergulatan dalam dunia makna.     

Robophilia dan Konstruksi Makna
Dalam pandangan Schutz,  pengalaman keseharian manusia dalam dunia tidak dapat dilepaskan dalam keterkaitan ruang dan waktu. Pengalaman tersebut dapat mengkonstruksikan pengetahuan manusia di masa depan dan masa kini yang disebut sebagai stock of knowledge. Pengalaman hidup ini menjadi berpengaruh dalam mengkonstruksikan makna. Artinya, seorang manusia yang hidup dalam sebuah pengalaman keseharian dalam dunia virtual, dapat mempengaruhi konstruksi makna terhadap realitas di mana dia hidup. Cara melihat yang lain akan dipengaruhi oleh sebuah pengalaman baru yang berbeda dengan yang lain. Tetapi pengalaman yang sama, tidak berarti akan melahirkan makna yang sama. Aku bisa menghabiskan hidupku dalam dunia virtual. Tetapi itu bukan sebuah jaminan bahwa pengalaman yang aku alami akan sama dengan orang yang juga hidupnya dalam dunia virtual. Fenomenologi akan menjawab dengan mudah, bahwa pemaknaan terhadap sesuatu pasti akan berbeda. Di sana ada sebuah keunikan pada diri setiap orang, dan tidak akan ada yang mempunyai keunikan yang sama.  
            Dari pandangan di atas, maka setidaknya kita mempunyai sebuah gambaran bahwa konstruksi makna terjadi dari pengalaman keseharian manusia. Seorang pencinta mesin (robot) akan mengkonstruksikan maknanya berdasarkan pengalaman kesehariannya dengan mesin yang dicintainya. Kehidupan kesehariannya tersebut akan sangat berpengaruh terhadap kehidupannya di masa kini dan masa yang akan datang. Karena di sana akan ada stok pengetahuan. Pertanyaannya adalah makna seperti apa yang akan dilahirkan dari perjumpaan dengan sebuah mesin yang tidak lagi dianggap benda yang pasif? Tetapi benda pasif ini telah mewujud dalam realitas yang di maknai. Jika mesin (robot) tersebut telah dlihat bukan sekedar benda pasif, tetapi sebagai sebuah realitas kongkret, maka ini akan menjadi mitos baru dalam dunia posmodernitas.
            Mengapa saya menyebut mitos baru? Jika orang Yunani kuno melihat mitos sebagai logos, maka dunia modern telah melihat rasionalitas sebagai mitos baru yang menjadi fondasi dari segala apa yang dilakukan. Karena itu dalam dunia posmodernitas ini, nampaknya kecintaan pada mesin (robot) akan menjadi sebuah mitos baru yang dihidupi, dan manusia akan menganggapnya sebagai hal yang wajar. Manusia akan hidup berdampingan dengan robot dalam kesehariannya, dan tidak ada yang mempertanyakannya. Tidakkah ini benar-benar menjadi sebuah mitos baru. Dalam posisi seperti ini, maka manusia telah mengkonstruksikan dirinya sama dengan robot buatannya sendiri. Bahkan lebih memprihatinkan ketika robot telah mengantikan posisi manusia, bukan hanya dalam hal kerja, tetapi juga dalam hal-hal yang sifatnya emosi.       
            Fenomena menarik sekarang ini misalnya, di mana seorang anak tidak lagi menanyakan informasi kepada mereka yang kompeten. Tetapi mereka lebih senang menanyakannya pada gogle. Ini merupakan salah satu contoh bagaimana teknologi bisa mengantikan posisi manusia di masa yang akan datang. Sama halnya dengan robot cerdas, yang telah dipakai oleh manusia untuk menyampaikan pergulatan kesehariannya, bahkan lebih jauh menemani manusia menyalurkan hasratnya. Tidakkah ini telah memberi sebuah warning betapa konstruksi makna keseharian manusia telah menjadi sangat rapuh. Perjumpaan tidak lagi dimaknai dalam hubungan relasionalitas dengan manusia yang lain, tetapi berubah menjadi hubungan relasionalitas dalam dunia yang lain.
            Posisi manusia tentu belum dapat digantikan oleh apapun dalam membangun hubungan relasionalitas. Sekalipun yang mengantinya adalah sebuah robot canggih. Tetapi pada sisi lain, ada ketakutan luar biasa yang sedang dialami manusia dalam mengkonstruksi makananya. Di mana kita melihat bahwa kecanggihan teknologi yang telah mengubah peradaban dunia, bukan tidak mungkin suatu ketika menyingkirkan manusia sendiri dari panggung yang dibuatnya. Jika di masa yang lalu mesin hanya membantu manusia dalam pekerjaan-pekerjaan yang berat, tetapi sekarang ini urusan dapur sampai pada urusan cinta pun telah ditangani oleh mesin.Dengan kata lain urusan dapur sampai urusan tempat tidur (seks), telah digantikan oleh robot.           

Refleksi Filosofis
Tidak terbayangkan jika suatu waktu pro kreasi di maknai manusia dalam makna yang lain. Di mana pro kreasi tidak lagi dimaknai dalam hal beranak cucu, tetapi pro kreasi akan lebih dimaknai dalam hal pelipat gandaan robot cerdas. Apakah ini mungkin? Ini mungkin hanya sebuah imajinasi. Tetapi jika manusia telah mampu mengkonstruksikan maknanya dalam relasionalitas dengan robot, maka ini tidak lagi akan menjadi sebuah imajinasi, tetapi akan menjadi sesuatu yang real. Bukankah semua gejala itu telah nampak dalam dunia virtual. Di mana semua tampak seperti dunia yang kongkret. Seperti tidak ada lagi distingsi yang jelas antara yang virtual dan yang real. Bahkan dunia yang real mulai ditinggalkan oleh manusia menuju pada sebuah dunia imajinasi.
Masa depan manusia menjadi sangat rapuh dihadapan dunia virtual. Mereka yang menikmati hidupnya dalam dunia virtual seperti enggan untuk kembali. Sepertinya mereka telah menemukan makna baru, dibalik permainan baru mereka. Dunia tersebut telah meruntuhkan relasionalitas manusia. Relasi dengan yang lain telah dimaknai dalam sebuah makna baru, yakni relasi dengan mesin-mesin buatan mereka (robot cerdas). Ini akan menjadi sebuah gaya hidup baru di masa depan. Sehingga peradaban manusia akan sangat berubah. Manusia telah menciptakan bentuk baru dirinya dalam dunia virtual, perpaduan antara bentuk fisik dan virtual. Perpaduan itu telah didapatkannya dalam mesin barunya (robot). Sehingga dia tidak lagi menjadi imajinatif, tetapi telah di kongretkan dalam dunia nyata.
Amir Piliang menyebut bahwa, “tabir antara realitas dan fantasi semakin tipis. Banyak hal yang sebelumnya dianggap fantasi kini menjadi realitas, dan ini akan mempengaruhi wacana kebudayaan benda.”[19] Apa yang dikatakan Piliang ini telah menjadi sebuah realitas kongkret dalam hidup manusia. Di mana fantasi telah menjadi realitas yang telah menemukan bentuk barunya dalam apa yang disebut robophilia. Kecintaan (hasrat) pada robot telah mengubah makna dalam diri manusia. Dunia makna tidak lagi dilihat hanya dalam perjumpaan kongkret dengan yang lain, tetapi juga telah dimaknai dalam dunia fantasi manusia. Nampaknya sebuah peradaban baru akan segera dibentangkan dalam panggung kehidupan manusia. Makna yang dilihat dalam relasi dengan sesama, kini perlahan-lahan telah berubah dalam virtual reality.
Panggung baru ini akan segera menampilkan wajah barunya dalam relasi dengan yang lain. Di sana relasionalitas tidak lagi dipahami dalam perjumpaan dengan sesama yang lain, tetapi akan dimaknai dalam sebuah pemaknaan baru. Di mana relasi tersebut akan terkait dengan sebuah robot cerdas yang tidak lagi dilihat sebagai sebuah benda yang pasif. Apa yang dulunya diangap sebagai hal yang aneh, di masa depan akan menjadi hal yang normal. Situasi seperti ini, tentu menjadi sebuah tantangan baru bagi manusia, bagaimana mereka memaknai relasionalitasnya dalam situasi seperti ini.
Manusia selalu ada di dalam dunia (being in the world) kata Heidegger. Dia tidak berada dalam ruang-ruang kosong, tetapi dia selalu ada bersama dengan yang lain. “manusia bukanlah makhluk yang berada dalam ruang hampa nilai, melainkan selalu menemukan dirinya dalam suatu lebenswelt (lingkungan yang dihayati).”[20] Yang ingin saya katakan adalah, jika manusia selalu memaknai dirinya dalam lingkungan yang dihayati, maka pertanyaannya adalah; seperti apa penghayatan mereka dalam realitas virtual? atau apakah pandangan ada bersama dengan yang lain, akan di maknai dalam pemaknaan baru? Ini semua akan menjadi suatu pergulatan di masa depan. Di mana identitas manusia dalam memberi makna akan dunia menjadi akan sangat berubah. Panggung-panggung itu akan mulai diisi oleh orang-orang baru yang menemukan dirinya dalam dunia virtual bukan lagi dalam dunia nyata.     


































DAFTAR PUSTAKA

Adian, Donny Gahral, Percik Pemikiran Kontemporer: Sebuah Pengantar
                                    Komprehensif. Bandung: Jalasutra, 2005.
_________________, Pengantar Fenomenologi. Depok: Koekoesan, 2010
Amir Piliang, Yasraf,  Dunia Yang Dilipat: Tamasya Melampaui Batas-batas Kebudayaan.
 Bandung: Pustaka Matahri, 2011
Kuswarno, Engkus,     Metodologi Penelitian Komunikasi, Fenomenologi, Konsepsi,
Pedoman, dan Contoh Penelitiannya. Bandung: Widya Padjajaran,    
                                    2009.
Riyanto, Armada,       Berfilsafat Politik. Yogyakarta: Kanisius 2011
_________________,Menjadi-Mencintai Berfilsafat Teologis Sehari-hari. Yogyakarta: Kanisius 2013
_________________, dkk (ed). Aku dan Liyan: Kata Filsafat dan Sayap. Malang: Widya   
                                    Sasana Publication, 2011
_________________, Catatan Kuliah Fenomenologi Sosial STFT Widya Sasana. 2015
Schutz, Alfred,           The Phenomenologi of the social world, USA: Northwestern University
                                    Press, 1967.
Sakuma, Chiemi,         Research Report: Why Is Japan Called the ‘Robot Kingdom’?The
                                    Shift from Industrial Robots to Social Robots. 2007.



[1]  Armada Riyanto, Berfilsafat Politik. Yogyakarta: Kanisius 2011. Hlm 22
[2] Ibid hlm 23
[3] Donny Gahral Adian, Percik Pemikiran Kontemporer: Sebuah Pengantar Komprehensif. Bandung: Jalasutra, 2005. Hlm 140
[4] Alfred Schutz, The Phenomenologi of the social world, USA: Northwestern University Press, 1967. Hlm. 78. Terjemahan aslinya adalah: The object is constituted out of appearances as we encounter them in our stream of consciousness. Such appearances hang together in a context of meaning. As they follow one another in regular sequence, our experience of the object is built up.”
[5] Kesadaran: dalam konteks fenomenologi Edmund Husserl, kesadaran selalu melibatkan dua bagian, yaitu cogitations (disebut “aktivitas intensional” noesis) dan cogitata (disebut “objek intensional” atau noema) yang selalu berada dalam keadaan berkorelasi. Tesis Husserl adalah setiap aktivitas menyadari merupakan aktivitas menyadari sesuatu. Oleh sebab itu, pengertian “kesadaran” oleh Husserl selalu dihubungkan dengan kutub objektifnya, yakni objek yang disadari. Lihat, Donny Gahral Adian. Pengantar Fenomenologi. Depok: Koekoesan, 2010. Hlm. 145-146   
[6] Alfred Schutz. Op.cit. Hlm. 81
[7] the later lived experience occurs within a Here and Now whose intrinsic quality is partially determined by the retention of the earlier lived experiences. Ibid. Hlm. 79
[8] Engkus Kuswarno. Metodologi Penelitian Komunikasi, Fenomenologi, Konsepsi, Pedoman, dan Contoh Penelitiannya. Bandung: Widya Padjajaran, 2009. Hlm. 18
[9] Armada Riyanto. Catatan Kuliah Fenomenologi Sosial STFT Widya Sasana. 2015 
[10] Chiemi Sakuma. Research Report: Why Is Japan Called the ‘Robot Kingdom’?The Shift from Industrial Robots to Social Robots. 2007. Hlm. 2. Terjemahan aslinya adalah Most robots utilised in Japan during that time were a type of industrial robots used in production process, but now that we move into the contemporary world, robots are no longer machines of production. Robots have been slowly but surely integrating into our daily lives with the progress of their communication function. In contrast to the west, Japan has always exhibited a unique form of love towards robots, robophilia. One of the world biggest multi-media conglomerates Sony Corporation, has already introduced various kinds of animal entertainment robots such as AIBO (Artificial Intelligence robot, see Fig1).
[12] Armada Riyanto. Menjadi-Mencintai Berfilsafat Teologis Sehari-hari. Yogyakarta: Kanisius 2013. Hlm. 75
[13] Yasraf Amir Piliang. Dunia Yang Dilipat: Tamasya Melampaui Batas-batas Kebudayaan. Bandung: Pustaka Matahari, 2011. Hlm. 382
[14] Armada Riyanto, dkk (ed). Aku dan Liyan: Kata Filsafat dan Sayap. Malang: Widya Sasana Publication, 2011. Hlm. 15
[15] Armada Riyanto. Berfilsafat Politik. Op.cit. Hlm. 148
[16] Ibid. Hlm. 143
[17] Donny Gahral Adian. Op.cit. Hlm.74
[18] http://www.cnnindonesia.com/teknologi/20150803074318-199-69616/hubungan-seksual-dengan-robot-normal-di-masa-depan/ Diakses tgl 14 nopember 2015:
[19] Yasraf Amir Piliang. Op.cit. Hlm. 200
[20] Donny Gahral Adian. Op.cit. Hlm. 119

3 comments:

  1. This comment has been removed by the author.

    ReplyDelete
  2. The Lucky Club Casino site
    Lucky Club Casino is a licensed, legal and legal online casino in South Africa. The Lucky Club Casino offers a wide range of games from traditional slots to live  카지노사이트luckclub Rating: 3.3 · ‎Review by LuckyClub.org

    ReplyDelete

Teodise (Pembenaran Tuhan): Dialog dengan Leibniz di Masa Pandemi Covid-1

Pertanyaan tentang realitas kejahatan di dunia bukanlah pertanyaan yang baru muncul di dunia post modern. Pertanyaan ini pertama kali ditany...