Oleh Ivan Sampe Buntu
Abstrak
Dari rasionalitas menuju relasionalitas, adalah salah
satu ciri yang dilekatkan pada posmodernisme. Artinya fondasi makna selalu
terkait dengan relasi dengan yang lain. Sayangnya bahwa relasionalitas ini
mulai mengalami sebuah guncangan besar dari sebuah gaya hidup baru manusia,
yang menghadirkan dirinya dalam virtual
reality. Dan, nampaknya realitas virtual ini telah menemukan bentuk barunya
dalam robophilia. Robophilia tidak lagi hanya sekedar dilihat sebagai sebuah
benda pasif, tetapi telah dipandang sebagai sesuatu yang dapat dihayati.
Manusia dengan demikian telah menciptakan sebuah
peradaban baru. Peradaban yang tidak lagi membuat distingsi antara realitas
virtual dan dunia yang real. Robophilia nampaknya telah menjadi jembatan baru
untuk menjembatani fantasi dan realitas. Karena itu tidak mengherankan jika
mereka yang mencintai dunia virtual, telah menggunakan robot sebagai sebuah alternatif
baru untuk menghadirkan yang virtual menjadi kongkret. Tidak mengherankan
berita dari CNN yang menyebut pemuda-pemuda Jepang yang mulai jatuh cinta pada
robot dan membawanya ke mana-mana pada masa libur. Makna relasionalitas dengan
demikian sepertinya akan mulai mengalami masalah dalam dunia posmodernitas.
Kata Kunci
Robophilia,
Konstruksi makna, fenomenologi, intensionalitas, Perjumpaan, keseharian, virtual reality/dunia virtual. Post-modern
dan societas.
Mencari
Makna Fenemenologi
Setiap manusia mempunyai pengalaman hidup, dan
pengalaman hidup lahir dari keseharian manusia. Pengalaman keseharian menjadi
bermakna ketika kita ada bersama dengan yang lain. Artinya kehadiran aku dalam societas menjadi sangat penting.
Mengapa? Karena dengan hadirnya aku bersama yang lain, maka makna hidup menjadi
berarti. Aku menjadi tidak bermakna tanpa kehadiran yang lain dan sebaliknya. Bisa
dikatakan bahwa aku mengenal diriku karena adanya yang lain. Fenomenologi
adalah filsafat yang mengurai makna perjumpaan dari keseharian manusia.
Berfilsafat fenomenologis tidak sama dengan
berfilsafat transendental metafisis, melainkan merupakan aktivitas akal budi
yang mengurai dan mengeksplorasi pengalaman hidup setiap hari. Dalam
fenomenologi, aneka persitiwa kehidupan tidak terpisah satu sama lain. Dalam
fenomenologi, tidak ada peristiwa kecil yang tidak bermakna. Fenomenologi
memungkinkan akal budi kita mengerti keanekaragaman peristiwa dalam ranah harmonitas
dan rivalitasnya yang penuh makna.[1]
Peristiwa
adalah suatu rangkaian yang saling terkait satu dengan yang lain, dan semua
peristiwa tersebut mempunyai makna. Seorang manusia bisa saja mempunyai
pengalaman yang sama. Tetapi pengalaman yang sama tidak berarti akan melahirkan
makna yang sama. Pengalaman dalam dunia virtual misalnya, yang sekarang ini
mulai menjadi trend baru dalam masyarakat. Pengalaman dalam dunia virtual ini
tidak berarti akan melahirkan makna yang sama dari orang-orang yang berbeda. Setiap
orang justru akan memberi makna berbeda berdasarkan pengalaman kesehariannya.
Fenomenologi dengan demikian akan selalu melahirkan pemaknaan berbeda dari
setiap orang. Tetapi pengalaman tersebut akan selalu mempunyai keterkaitan
dengan pengalaman yang lainnya.
“Dalam
fenomenologi, segala peristiwa hidup bermakna. Tidak ada peristiwa puncak. Pun
tidak ada peristiwa kecil yang tidak memiliki makna.”[2]
Semua peristiwa keseharian dengan demikian mempunyai keterkaitan dengan hal-hal
yang universal. Mereka yang hari ini menganggap robophilia adalah kecintaan
biasa pada robot, dan melihat ini sebagai pemaknaan personal biasa. Tetapi di
masa depan, robophilia akan sangat mempengaruhi hubungan relasionalitas
manusia. Fenomenologi dalam hal ini akan mengurai makna dalam sebuah perjumpaan
dengan yang lain. Di sana ada intensionalitas subjek terhadap yang lain.
Intensionalitas yang tidak melihat yang lain sebagai objek untuk ditafsir
berdasarkan asumsi. Tetapi kesadaran intensionalitas pada sesuatu yang
membiarkan subjek mengungkapkan maknanya sendiri.
Salah satu hal penting
yang tidak boleh dilupakan dalam fenomenologi adalah, fenomenologi sering
disebut sebagai ilmu tanpa prasangka. Mengapa dia disebut ilmu tanpa prasangka?
Karena fenomenologi mencoba mengurung semua asumsi-asumsi dan membiarkan objek menampakkan
dirinya sendiri.
Langkah
pertamanya adalah menghindari semua konstruksi, asumsi yang dipasang sebelum
dan sekaligus mengarahkan pengalaman. Tak peduli apakah itu konstruksi
filsafat, sains, agama dan kebudayaan semuanya harus dihindari sebisa mungkin.
Semua penjelasan tak boleh dipaksakan sebelum pengalaman menjelaskan sendiri
dari dalam pengalaman itu sendiri.[3]
Fenomenologi dengan
demikian selalu menghindari semua asumsi yang ada, agar pengalaman itu bisa
menyatakan dirinya apa adanya. Tidak ada artinya bicara tentang esensi tanpa
sebuah penampakan dari pengalaman. Berbeda dengan ilmu sosial yang sering
membuat asumsi sebelum bekerja. Fenomenologi justru menghindari asumsi dalam
bekerja.
Konstruksi Makna Dunia Keseharian
Objek diciptakan dari
kehadiran ketika kita berjumpa dengan
mereka di dalam aliran kesadaran
kita. Hadir bersama-sama dalam sebuah konteks makna. Ketika Mereka saling mengikuti satu sama lain dalam
urutan-urutan yang teratur, pengalaman kita tentang objek itu dibangun.[4]
Perjumpaan
dengan demikian menjadi sesuatu yang sangat penting. Perjumpaan itu adalah
perjumpaan yang dilihat dalam sebuah kesadaran. Kesadaran yang dimaksud oleh
Husserl dalam hal ini adalah “kesadaran”[5] akan sesuatu. Artinya
perjumpaan ini menjadi bermakna ketika subjek terarah pada sesuatu
(intensionalitas). Pertanyaannya adalah di mana letak makna dalam dunia
pengalaman?
Jika
membaca konsep Schutz yang mengacu pada Husserl dan Weber, maka makna juga terkait dengan pengalaman masa lalu
manusia. Di mana pengalaman yang diterima pada masa sebelumnya dalam bahasa
Schutz disebutnya sebagai “stock of
knowledge”. Pengalaman masa lalu ini mempengaruhi makna yang terkonstruksi
dalam pola pikir, gerak, sikap dan perilaku serta dapat diimplimentasikan
secara nyata dalam realitas.
First of all, there are
experiences of the external world and its objects, animate and inanimate. The
man in the natural attitude "has," therefore, a stock of knowledge of
physical things and fellow creatures, of social collectives and of artifacts,
including cultural objects. He likewise "has" syntheses of inner
experience.[6]
Stock of knowledge dalam hal ini menjadi sesuatu yang penting dalam diri manusia, karena
pengalaman masa lalu ini ternyata sangat mempengaruhi konstruksi dalam hidup
manusia di sini dan sekarang. Konstruksi dunia pengalaman dengan demikian tidak
hanya ditentukan oleh apa yang terjadi sekarang, tetapi juga apa yang telah
terjadi di masa lalu. Schuts dalam hal ini menyebut bahwa, “Pengalaman
hidup yang
kemudian terjadi di sini dan sekarang yang mana kualitas intrinsiknya sebagian ditentukan
oleh retensi dari pengalaman
hidup sebelumnya.[7] Pengalaman-pengalaman masa lalu dengan demikian mempunyai sumbangsi
sangat penting dalam melihat konstruksi makna dalam dunia keseharian manusia.
Dunia
pengalaman adalah dunia sosial yang menggambarkan hidup keseharian manusia.
Manusia dalam dunia sosial mengandaikan relasi dengan yang lain. Aku menjadi
bermakna dengan adanya kehadiran yang lain. Artinya relasi dengan yang lain, di
dalamnya selalu ada intensionalitas. Intensionalitas mau menyatakan akan
kesadaran akan keterarahan kepada sesuatu. Keterarahan pada sesuatu dalam
konsep Husserl adalah berbeda dengan Gurunya Brentano. Jika Brentano melihat
objek sebagai sesuatu yang berwujud, maka Husserl melihat objek bisa berwujud
dan bisa tidak. Objek dengan demikian tidak hanya sebuah materi tertentu yang
mewujud, tetapi juga objek dalam emosi. Pikiran Husserl ini menjadi penting
untuk dipahami, agar tidak terjebak pada konsep empirisme. Karena dunia sosial
tidak cukup dilihat dalam pendekatan empirisme, tetapi kita harus masuk lebih
jauh dalam dunia makna.
Mengapa tidak
cukup memahaminya dalam konsep empiris? Karena konsep seperti ini akan
menggiring kita hanya pada data-data. Sedangkan dunia sosial terkait dengan
makna. Tindakan korupsi misalnya, tidak cukup jika hanya memahami seberapa
besar kerugian negara yang diakibatkan, atau, seberapa banyak yang terlibat
dalam tindakan korupsi. Tetapi mestinya kita jauh melihat kedalaman makna dari
apa yang terjadi pada tindakan asosial tersebut. Tidak sekedar menghitung data
kerugian negara, atau jumlah yang terlibat. Atau ketika pembakaran rumah ibadah
yang dilakukan oleh sekelompok orang di Aceh, dengan berpegang pada tata aturan
yang telah disepakati. Tentu kita tidak sekadar akan menghitung berapa rumah
ibadah yang dibakar dan berapa jumlah korban. Tidak! Tetapi jauh melampaui
semuanya, di mana subjek sedang terarah pada objek (intensionalitas) dan
membiarkan objek berbicara. Seperti telah dijelaskan sebelumnya bahwa
fenomenologi selalu terkait dengan yang lain.
Dalam pandangan Schutz … kesadaran akan dunia
kehidupan sehari-hari adalah sebuah kesadaran sosial. Dunia individu merupakan
dunia intersubjektif dengan makna beragam, dan perasaan sebagai bagian dari
kelompok. Manusia dituntut untuk saling memahami satu sama lain, …[8]
Konsep manusia
dalam pandangan Schutz tidak dilihat hanya sebagai makhluk individu, tetapi
juga makhluk yang berelasi dengan yang lain dalam intensionalitasnya seperti
dipahami oleh Husserl. Schutz juga melihat manusia dalam dunia sosialnya.
Kesadaran akan dunia kesehariannya pun dilihat dalam kesadaran sosial. Manusia
dalam hal ini bertindak dalam kesadaran sosial, sehingga aku selalu dipengaruhi
oleh yang lain. Bisa dikatakan bahwa hidup keseharian manusia adalah hidup
dalam tindakan sosial yang mengkonstitusi maknanya sendiri. Hidup keseharian
ini, berarti manusia ada bersama dengan yang lain. Manusia mengkonstruksi dunia
pengalamannya dari tindakan sosial dalam perjumpaan dengan yang lain. Tindakan
sosial dalam relasi dengan yang lain dengan demikian adalah tindakan yang
bermakna dalam konsep Schutz.
Tindakan sosial
yang dimaksudkan adalah tindakan yang melibatkan aku dan yang lain. Artinya,
kehadiran manusia dalam dunia menjadi bermakna dalam perjumpaan dalam dunia
sosialnya. Karena Schutz melihat manusia sebagai makhluk sosial yang ada
bersama dengan yang lain. Karena itulah Armada Riyanto menyebut bahwa:
(1).
Subjektivitas bukanlah sebuah drama tontonan, di mana kita menjadi penonton, tetapi
dia memiliki pesan universal (2). Subjektivitas universal (dari parsialitas ke
universalitas (3). Manusia itu harus disimak dalam konteks. Konteks tidak hanya
menunjuk pada ruang dan waktu, tetapi menunjuk pada sebuah pergulatan (4). Subjektivitas punya relasi dengan yang
lain, subjektivitas tidak ada dalam karantina (5). Realitas sosial selalu menjadi
produk relasi intersubjetif. Di mana manusia tidak memproduksi nilainya
sendiri, tetapi punya muara, punya asal usul yang berasal dari subjektivitas.[9]
Dari penjelasan ini, maka dapat
dikatakan bahwa konstruksi makna hanya bisa kita lihat dalam relasi
intersubjektivitas. Sepertinya kita tidak akan menemukan makna tanpa relasi
dengan yang lain. Relasi mengandaikan adanya konteks pergulatan, dan konteks pergulatan
ini akan melahirkan makna. Relasi ini bisa melahirkan makna, dan makna itu bisa
menjadi pesan universal. Pesan universal yang dimaksudkan, misalnya ketika
seorang bocah yang ditemukan mati di bibir pantai Turki yang bernama Aylan atau
seorang petani (Salim Kancil) yang dibunuh oleh karena menolak tambang pasir.
Semua ini merupakan gambaran dan pesan universal betapa rapunya societas hari
ini. Dalam hal ini kita tidak lagi melihat korban dalam parsialitasnya, tetapi
melihatnya dalam makna dan pesan universalnya.
Dalam sudut pandang ini, maka kita
sesungguhnya telah mengurai makna dari sebuah pergulatan manusia. Pergulatan
ini telah menunjukkan kepada kita bahwa makna menjadi berarti dalam keterkaitan
dengan yang lain. Relasi intersubjektif dalam hal ini menjadi sesuatu yang
sangat penting. Salah satu contoh menarik yang patut untuk ditelisik adalah relasionalitas
dengan yang lain yang mulai digeser oleh robophilia.
Robophilia
Dalam Keseharian Manusia
Kebanyakan robot yang
digunakan di Jepang selama ini adalah jenis robot-robot industri yang digunakan
dalam proses produksi, tetapi sekarang kami pindah ke dunia kontemporer, di
mana Robot tidak hanya dilihat sebagai mesin produksi. Robot telah perlahan-lahan
tapi pasti masuk ke dalam kehidupan keseharian kita dengan kemajuan fungsi
komunikasi mereka. Berbeda dengan Barat, Jepang selalu mempunyai bentuk-bentuk
yang unik untuk dipamerkan dari kecintaan terhadap robot, robophilia. Salah
satu konglomerat terbesar multi-media dunia, Sony Corporation, telah memperkenalkan
berbagai jenis robot hiburan hewan zoals AIBO (robot kecerdasan buatan,…)[10]
Perlahan
tetapi pasti manusia mulai menghadapi sebuah persoalan baru. Di mana masa depan
manusia dalam relasionalitasnya akan digantikan oleh robot. Ini tentu bukan
sebuah isapan jempol. Jika di masa lalu robot hanya dianggap sebagai mesin
produksi yang membantu manusia menyelesaikan pekerjaannya. Tetapi di masa depan
posisi manusia akan digantikan oleh robot (manusia akan lebih
mencintai/mempercayai robot, karena itu dia akan menyerahkan totalitas hidupnya
pada apa yang dicintainya) . Dampak dari kecintaan pada robot dalam virtual reality, akan membuat manusia
tidak lagi membutuhkan perjumpaan dengan yang lain. Mengapa? Karena semua
persoalan manusia akan diselesaikan oleh robot. Salah satu kecenderungan
manusia hari ini, khususnya di Jepang sebagaimana dilansir oleh CNN bahwa: “Berdasarkan
data menunjukkan bahwa banyak orang muda Jepang sudah menghindari seks. Pria
Jepang sudah mengambil pacar virtual mereka untuk pergi berlibur dengan mereka
ke pulau Atami.”[11]
Robophilia
di masa depan benar-benar akan menjadi masalah besar bagi manusia. Dari urusan dapur
(pekerjaan) sampai urusan cinta (emosi) akan ditangani oleh seorang robot. Mengapa
ini menjadi masalah? Karena kehadiran yang lain dalam hal ini tidak lagi
dibutuhkan oleh manusia. Kalau kehadiran yang lain tidak dibutuhkan, maka
sesungguhnya kita sedang meruntuhkan subjektivitas kita sendiri. Seperti
diungkapkan Armada Riyanto bahwa; “Liyan adalah kehadiran yang perlu dalam
diriku. Liyan menjadi kriteria-ku untuk menegaskan subjektivitasku. Perjalanan
hidupku bukanlah perjalanan sendirian melainkan bersama dan dihadapan Liyan.”[12] Perjalanan
hidup tanpa kehadiran yang lain, tetapi telah digantikan oleh sebuah robot
bukankah ini adalah sebuah masalah besar manusia. Lalu siapa yang akan
menegaskan eksistensiku tanpa yang lain. Apakah robot yang adalah sebuah benda
yang kita konstruksikan berdasarkan keinginan kita dapat mengantikan posisi
Liyan untuk menegaskan eksistensiku? Adalah sungguh naif dan tidak manusiawi
ketika kita mencoba mengganti posisi Liyan dengan sebuah robot untuk menegaskan
eksistensiku.
Relasi
aku engkau menjadi hilang ketika posisi Liyan diambil alih oleh sebuah robot.
Tetapi inilah gambaran dunia di masa depan. Atau lebih tepatnya gambaran
manusia di masa yang akan datang. Karena itu pertanyaan, dapatkah Liyan
digantikan oleh sebuah robot, menjadi sebuah pertanyaan yang cukup mendasar.
Mendasar karena ini menyangkut eksistensi manusia yang hidup dalam
relasionalitasnya. Ini bukan sekedar untuk menjawab ya atau tidak! Tetapi ini
menyangkut eksistensi. Sebutlah ketika aku berada di sebuah tempat yang hanya
ditemani oleh sebuah robot yang aku cintai. Dapatkah aku menyatakan
eksistensiku sebagai subjek? Sekalipun robot itu adalah robot cerdas yang bisa
diajak untuk mendengarkan pergulatan hidupku. Inilah yang akan terjadi di masa
depan. Banyak orang akan kehilangan eksistensinya sebagai manusia, karena
mereka tidak lagi membutuhkan kehadiran yang lain tetapi telah memilih sebuah
benda pasif untuk menegaskan esksistensinya.
Virtual reality
seperti telah menjadi pilihan sebagian orang di dunia post-modern. Dan, ini
akan menjadi virus baru di dunia post-modern. Virus yang akan dengan mudah
menjangkiti siapa saja yang tidak lagi peduli dengan relasionalitasnya. Artinya,
konstruksi makna dunia keseharian akan menjadi masalah besar di masa depan.
Masalah besar karena dia terkait dengan bagaimana manusia mengkonstruksikan
dirinya dalam dunia kesehariannya. Seorang bisa saja mengkonstruksi makna dunia
kesehariannya dalam virtual reality.
Sehingga manusia yang seperti ini, praktis tidak lagi membutuhkan yang lain
dalam dunia kesehariannya. Karena yang lain telah tergantikan oleh sesuatu yang
lain. Gejala ini pun telah kelihatan dalam dunia virtual. Di mana seorang akan
lebih menikmati berteman dengan seseorang di dunia virtual daripada di dunia
nyata. Lebih senang berdiskusi di dunia maya daripada berdiskusi di dunia
nyata.
Tidakkah
semua hal di atas adalah sebuah gambaran betapa masa depan manusia sedang
mengalami problem besar. Tidak banyak orang yang menyadari bahaya ini. Tetapi
fenomen ini menjadi sesuatu yang sangat penting untuk diberi perhatian. Karena
ini menyangkut eksistensi manusia dan masa depannya di masa yang akan datang.
Saya tidak dapat membayangkan bagaimana rapuhnya societas ketika manusia lebih
mencintai sebuah robot daripada seorang manusia. Cara berpikir ini, akan
berpengaruh pada sikap manusia memperlakukan yang lain. Di mana yang lain tidak
lagi dianggap sebagai yang menegaskan subjektivitasku, tetapi yang lain justru
bisa dianggap sebagai “neraka”. Dengan demikian yang lain akan tergantikan oleh
sebuah produk yang diciptakan oleh manusia sendiri.
Robophilia dan Rapuhnya Societas
Amir
piliang menyebut bahwa, “Masyarakat post-modern menjadi masyarakat Ilusi, yang
merayakan ilusi ketimbang realitas”[13]
Masyarakat ilusi ini membentuk identitasnya sendiri dan mengkonstruksi maknanya
dari pengalaman keseharian mereka. Pengalaman itu tidak ditemukan dalam
perjumpaan dengan yang lain, tetapi lebih ditemukan dalam dunia virtual. Identitas
manusia post-modernis dalam mengkonstruksi makna pengalaman dengan demikian hanya
akan ditemukan dalam imajinasi. Logika ini mau mengatakan bahwa yang real
adalah yang virtual, sedangkang kongret itu hanya dilihat sebagai subaltern. Mengapa
dilihat sebagai subaltern? Karena yang lain hanyalah objek untuk menyiapkan
segala kebutuhanku. Aku sama sekali tidak mempunyai tanggungjawab terhadap yang
lain, karena tanggungjawabku ada dalam dunia virtual. Ini adalah gejala dari
manusia post-modernis yang terlihat.
Pandangan
di atas bukan tanpa alasan. Di mana saya sendiri mempunyai pengalaman kongkret
yang mungkin sering kita lihat atau pernah mengalaminya. Di sebuah bandara
ketika saya sedang berada di ruang tunggu, saya memperhatikan setiap orang
sibuk dengan dunia lain (sibuk dengan dunia virtual dengan memainkan HP nya,
bahkan sesekali ada yang senyum-senyum sendiri). Bahkan seorang sahabat dalam
sebuah pertemuan di suatu tempat, sahabat tersebut hanya sesekali bicara dan
selebihnya dia gunakan untuk bermain dengan HP nya. Dunia post-modernis telah
dirasuki oleh sebuah cara berpikir baru yang telah melumpuhkan relasionalitas
manusia. Sikap dan cara berpikir seperti inilah yang kemudian berkembang,
sehingga manusiapun secara perlahan mulai digeser posisinya oleh robot.
Hakikat
manusia sebagai makhuk sosial, nampaknya tidak dapat dihilangkan, tetapi dapat
tergantikan oleh sesuatu. Kesosialan manusia dalam relasionalitasnya dengan
yang lain, telah mulai digeser oleh alat yang diciptakannya sendiri. Robophilia
telah menganti posisi tersebut. Sehingga manusia dalam societas hari ini
menjadi sangat rapuh. Konstruksi makna yang mestinya difondasikan dalam relasi
keseharian manusia, perlahan-lahan mulai kabur dan tidak jelas. Pengalaman
dalam ruang dan waktu yang menjadi stock
of knowledge dari manusia, sekarang pun menjadi pertanyaan. Ruang dan waktu
mana yang telah mengkonstruksi identitasnya? Apakah ruang dan waktu virtual? Atau
ruang kesehariannya dalam hubungan relasionalitasnya dengan yang lain.
Jika stock of knowledge berangkat dari
ruang-ruang virtual. Pertanyaannya adalah, makna seperti apa yang telah
ditemukan dalam ruang-ruang tersebut? Tidakkah pengalaman itu akan semakin
merapuhkan societas? Karena pengalaman itu tidak di fondasikan pada
relasionalitas manusia. Akhirnya manusiapun dapat tersingkir dari dunia
kesehariannya. “karena aktivitas hidupnya tidak dimaknai sebagai “milik”-nya,
manusia tidak berperan sebagai “aku” atas dirinya. Manusia tidak menjadi subjek
atas hidupnya.[14] Dengan
kata lain ketika manusia merasa terasing dari dunia kesehariannya, maka dia
tidak akan dapat menemukan makna. Manusia hanya menjadikan dirinya sendiri
objek. Pengalaman dalam dunia virtual hanyalah sebuah pengalaman imaginatif dan
bukan pengalaman yang sesungguhnya. Karena itu manusia justru akan terasing
dalam pengalaman seperti ini. Sebab dia akan mejadi makhluk yang dikonstruksi
oleh dunia lain dan bukan oleh dunianya sendiri.
Ketika
manusia telah dikonstruksi oleh dunia yang lain (dalam dunia virtual), maka dia
telah kehilangan identitasnya sebagai manusia. Eksistensinya pun dipertanyakan
sebagai seorang manusia. Bahkan pengalaman fisikinya pun telah diubah oleh
sesuatu yang lain. Sehingga ketika manusia lebih mencintai robot daripada
manusia, maka eksistensi kemanusiaannya dipertanyakan. Penggunaan teknologi
secara keliru, juga telah menyumbang kerapuhan societas. Teknologi secara an sich tentu selalu
baik, tetapi teknologi yang dikendalikan oleh tangan-tangan yang tidak
bertanggungjawab akan membawa masalah. “Science tidak lagi scientific melainkan
sarat kepentingan.”[15]
Jika
kita mau jujur, maka sesungguhnya ini bukan lagi roh dari post-modernisme.
Seperti diungkapkan Armada Riyanto bahwa: “Jika modernitas kerap diidentikan
dengan kemajuan, postmodernitas adalah gelombang filsafat yang mengkritisi
aneka kemajuan sebagai kurang manusiawi.”[16] Postmodernitas
lebih identik dengan relasionalitas daripada rasionalitas. Tetapi perkembangan
teknologi nampaknya telah mengubah pandangan tersebut. Jika dulu Platon
menganggap bahwa jiwa dipenjara oleh tubuh (soma
sema) maka sekarang nampaknya konsep
ini telah runtuh dihadapan teknologi. Di mana dalam dunia postmodern hari ini
tubuh fisik tidak lagi bisa membatasi manusia untuk dapat berjumpa dengan
siapapun di seluruh dunia dalam dunia virtual. Ruang tidak lagi dapat menjadi
penjara bagi manusia, karena mereka lebih menikmati perjumpaan dalam dunia
virtual.
Donny
Gahran mengatakan bahwa: “Prinsip
kenikmatan merajalela mengalahkan prinsip realitas, karena disinyalir di
Amerika lebih 60% pemudahnya lebih suka ber-cybersex di internet daripada
dengan pasangan real.”[17]
Senada dengan seorang dosen senior dan peneliti dari Departemen Sunderland
Inggris, Dr. Helen Driscoll mengatakan bahwa “virtual seks berkembang bersama
teknologi yang memiliki kemampuan untuk benar-benar mengubah pengalaman fisik
seseorang.”[18]
Perjumpaan dalam dunia fisik ini telah tergantikan oleh kecintaan pada robot. Situasi
perjumpaan nampaknya akan mulai dimaknai secara berbeda dalam dunia postmodernitas.
Konstruksi makna tersebut terlihat dari sikap manusia yang tidak lagi memberi
ruang untuk perjumpaan fisik, tetapi lebih menikmatinya dalam perjumpaan
virtual. Di sana akan terlihat jelas bagaimana rapuhnya societas ketika perjumpaan
tidak lagi dimaknai pada ruang-ruang fisik, tetapi pada ruang-ruang virtual.
Pertanyaannya adalah makna seperti apa yang akan kita temui dalam dunia seperti
itu?
Situasi-situasi
seperti di atas, yang membuat kecintaan pada yang lain menjadi luntur dan
perlahan mulai hilang. Karena cinta tersebut telah bergeser pada sesuatu yang
lebih virtual. Cinta pada manusia (sesama) akan digeser oleh robot. Manusia
akan mulai bermain dalam wilayah imajinasinya untuk menikmati dunia virtual. Robot
menjadi salah satu alat yang telah diciptakan untuk menjawab kekosongan dalam
dunia virtual manusia. Artinya, jika manusia masih membutuhkan perjumpaan dalam
konsep virtual reality, maka obsesi itu
akan diwujudkan bersama dengan robot yang dibuatnya. Perjumpaan itu akan
terlihat bersama dengan sebuah robot. Dengan kata lain, robot dalam hal ini
tidak lagi dipandang sebagai objek pasif, tetapi sebuah realitas yang di hayati
(dimaknai). Ini adalah sebuah pergulatan dalam dunia makna.
Robophilia
dan Konstruksi Makna
Dalam
pandangan Schutz, pengalaman keseharian
manusia dalam dunia tidak dapat dilepaskan dalam keterkaitan ruang dan waktu. Pengalaman
tersebut dapat mengkonstruksikan pengetahuan manusia di masa depan dan masa
kini yang disebut sebagai stock of knowledge.
Pengalaman hidup ini menjadi berpengaruh dalam mengkonstruksikan makna. Artinya,
seorang manusia yang hidup dalam sebuah pengalaman keseharian dalam dunia
virtual, dapat mempengaruhi konstruksi makna terhadap realitas di mana dia
hidup. Cara melihat yang lain akan dipengaruhi oleh sebuah pengalaman baru yang
berbeda dengan yang lain. Tetapi pengalaman yang sama, tidak berarti akan
melahirkan makna yang sama. Aku bisa menghabiskan hidupku dalam dunia virtual. Tetapi
itu bukan sebuah jaminan bahwa pengalaman yang aku alami akan sama dengan orang
yang juga hidupnya dalam dunia virtual. Fenomenologi akan menjawab dengan
mudah, bahwa pemaknaan terhadap sesuatu pasti akan berbeda. Di sana ada sebuah
keunikan pada diri setiap orang, dan tidak akan ada yang mempunyai keunikan
yang sama.
Dari
pandangan di atas, maka setidaknya kita mempunyai sebuah gambaran bahwa
konstruksi makna terjadi dari pengalaman keseharian manusia. Seorang pencinta
mesin (robot) akan mengkonstruksikan maknanya berdasarkan pengalaman
kesehariannya dengan mesin yang dicintainya. Kehidupan kesehariannya tersebut
akan sangat berpengaruh terhadap kehidupannya di masa kini dan masa yang akan
datang. Karena di sana akan ada stok pengetahuan. Pertanyaannya adalah makna
seperti apa yang akan dilahirkan dari perjumpaan dengan sebuah mesin yang tidak
lagi dianggap benda yang pasif? Tetapi benda pasif ini telah mewujud dalam realitas
yang di maknai. Jika mesin (robot) tersebut telah dlihat bukan sekedar benda
pasif, tetapi sebagai sebuah realitas kongkret, maka ini akan menjadi mitos
baru dalam dunia posmodernitas.
Mengapa
saya menyebut mitos baru? Jika orang Yunani kuno melihat mitos sebagai logos,
maka dunia modern telah melihat rasionalitas sebagai mitos baru yang menjadi
fondasi dari segala apa yang dilakukan. Karena itu dalam dunia posmodernitas
ini, nampaknya kecintaan pada mesin (robot) akan menjadi sebuah mitos baru yang
dihidupi, dan manusia akan menganggapnya sebagai hal yang wajar. Manusia akan
hidup berdampingan dengan robot dalam kesehariannya, dan tidak ada yang
mempertanyakannya. Tidakkah ini benar-benar menjadi sebuah mitos baru. Dalam
posisi seperti ini, maka manusia telah mengkonstruksikan dirinya sama dengan robot
buatannya sendiri. Bahkan lebih memprihatinkan ketika robot telah mengantikan
posisi manusia, bukan hanya dalam hal kerja, tetapi juga dalam hal-hal yang
sifatnya emosi.
Fenomena
menarik sekarang ini misalnya, di mana seorang anak tidak lagi menanyakan
informasi kepada mereka yang kompeten. Tetapi mereka lebih senang menanyakannya
pada gogle. Ini merupakan salah satu contoh bagaimana teknologi bisa
mengantikan posisi manusia di masa yang akan datang. Sama halnya dengan robot
cerdas, yang telah dipakai oleh manusia untuk menyampaikan pergulatan
kesehariannya, bahkan lebih jauh menemani manusia menyalurkan hasratnya.
Tidakkah ini telah memberi sebuah warning
betapa konstruksi makna keseharian manusia telah menjadi sangat rapuh.
Perjumpaan tidak lagi dimaknai dalam hubungan relasionalitas dengan manusia
yang lain, tetapi berubah menjadi hubungan relasionalitas dalam dunia yang
lain.
Posisi
manusia tentu belum dapat digantikan oleh apapun dalam membangun hubungan
relasionalitas. Sekalipun yang mengantinya adalah sebuah robot canggih. Tetapi
pada sisi lain, ada ketakutan luar biasa yang sedang dialami manusia dalam
mengkonstruksi makananya. Di mana kita melihat bahwa kecanggihan teknologi yang
telah mengubah peradaban dunia, bukan tidak mungkin suatu ketika menyingkirkan
manusia sendiri dari panggung yang dibuatnya. Jika di masa yang lalu mesin
hanya membantu manusia dalam pekerjaan-pekerjaan yang berat, tetapi sekarang
ini urusan dapur sampai pada urusan cinta pun telah ditangani oleh mesin.Dengan
kata lain urusan dapur sampai urusan tempat tidur (seks), telah digantikan oleh
robot.
Refleksi
Filosofis
Tidak
terbayangkan jika suatu waktu pro kreasi di maknai manusia dalam makna yang
lain. Di mana pro kreasi tidak lagi dimaknai dalam hal beranak cucu, tetapi pro
kreasi akan lebih dimaknai dalam hal pelipat gandaan robot cerdas. Apakah ini
mungkin? Ini mungkin hanya sebuah imajinasi. Tetapi jika manusia telah mampu
mengkonstruksikan maknanya dalam relasionalitas dengan robot, maka ini tidak
lagi akan menjadi sebuah imajinasi, tetapi akan menjadi sesuatu yang real.
Bukankah semua gejala itu telah nampak dalam dunia virtual. Di mana semua
tampak seperti dunia yang kongkret. Seperti tidak ada lagi distingsi yang jelas
antara yang virtual dan yang real. Bahkan dunia yang real mulai ditinggalkan
oleh manusia menuju pada sebuah dunia imajinasi.
Masa
depan manusia menjadi sangat rapuh dihadapan dunia virtual. Mereka yang
menikmati hidupnya dalam dunia virtual seperti enggan untuk kembali. Sepertinya
mereka telah menemukan makna baru, dibalik permainan baru mereka. Dunia
tersebut telah meruntuhkan relasionalitas manusia. Relasi dengan yang lain
telah dimaknai dalam sebuah makna baru, yakni relasi dengan mesin-mesin buatan
mereka (robot cerdas). Ini akan menjadi sebuah gaya hidup baru di masa depan.
Sehingga peradaban manusia akan sangat berubah. Manusia telah menciptakan
bentuk baru dirinya dalam dunia virtual, perpaduan antara bentuk fisik dan
virtual. Perpaduan itu telah didapatkannya dalam mesin barunya (robot). Sehingga
dia tidak lagi menjadi imajinatif, tetapi telah di kongretkan dalam dunia nyata.
Amir
Piliang menyebut bahwa, “tabir antara realitas dan fantasi semakin tipis.
Banyak hal yang sebelumnya dianggap fantasi kini menjadi realitas, dan ini akan
mempengaruhi wacana kebudayaan benda.”[19] Apa
yang dikatakan Piliang ini telah menjadi sebuah realitas kongkret dalam hidup
manusia. Di mana fantasi telah menjadi realitas yang telah menemukan bentuk
barunya dalam apa yang disebut robophilia. Kecintaan (hasrat) pada robot telah
mengubah makna dalam diri manusia. Dunia makna tidak lagi dilihat hanya dalam
perjumpaan kongkret dengan yang lain, tetapi juga telah dimaknai dalam dunia
fantasi manusia. Nampaknya sebuah peradaban baru akan segera dibentangkan dalam
panggung kehidupan manusia. Makna yang dilihat dalam relasi dengan sesama, kini
perlahan-lahan telah berubah dalam virtual
reality.
Panggung
baru ini akan segera menampilkan wajah barunya dalam relasi dengan yang lain. Di
sana relasionalitas tidak lagi dipahami dalam perjumpaan dengan sesama yang
lain, tetapi akan dimaknai dalam sebuah pemaknaan baru. Di mana relasi tersebut
akan terkait dengan sebuah robot cerdas yang tidak lagi dilihat sebagai sebuah
benda yang pasif. Apa yang dulunya diangap sebagai hal yang aneh, di masa depan
akan menjadi hal yang normal. Situasi seperti ini, tentu menjadi sebuah
tantangan baru bagi manusia, bagaimana mereka memaknai relasionalitasnya dalam
situasi seperti ini.
Manusia
selalu ada di dalam dunia (being in the
world) kata Heidegger. Dia tidak berada dalam ruang-ruang kosong, tetapi
dia selalu ada bersama dengan yang lain. “manusia bukanlah makhluk yang berada
dalam ruang hampa nilai, melainkan selalu menemukan dirinya dalam suatu lebenswelt (lingkungan yang dihayati).”[20] Yang
ingin saya katakan adalah, jika manusia selalu memaknai dirinya dalam
lingkungan yang dihayati, maka pertanyaannya adalah; seperti apa penghayatan
mereka dalam realitas virtual? atau apakah pandangan ada bersama dengan yang
lain, akan di maknai dalam pemaknaan baru? Ini semua akan menjadi suatu
pergulatan di masa depan. Di mana identitas manusia dalam memberi makna akan
dunia menjadi akan sangat berubah. Panggung-panggung itu akan mulai diisi oleh
orang-orang baru yang menemukan dirinya dalam dunia virtual bukan lagi dalam
dunia nyata.
DAFTAR
PUSTAKA
Adian, Donny Gahral, Percik
Pemikiran Kontemporer: Sebuah Pengantar
Komprehensif.
Bandung: Jalasutra, 2005.
_________________, Pengantar
Fenomenologi. Depok: Koekoesan, 2010
Amir
Piliang, Yasraf, Dunia Yang Dilipat: Tamasya Melampaui Batas-batas Kebudayaan.
Bandung: Pustaka Matahri, 2011
Kuswarno, Engkus, Metodologi Penelitian Komunikasi,
Fenomenologi, Konsepsi,
Pedoman, dan
Contoh Penelitiannya. Bandung: Widya Padjajaran,
2009.
Riyanto, Armada, Berfilsafat Politik.
Yogyakarta: Kanisius 2011
_________________,Menjadi-Mencintai Berfilsafat Teologis
Sehari-hari. Yogyakarta:
Kanisius
2013
_________________, dkk (ed). Aku
dan Liyan: Kata Filsafat dan Sayap. Malang: Widya
Sasana
Publication, 2011
_________________, Catatan
Kuliah Fenomenologi Sosial STFT Widya Sasana. 2015
Schutz, Alfred, The
Phenomenologi of the social world, USA: Northwestern University
Press,
1967.
Sakuma, Chiemi, Research
Report: Why Is Japan Called the ‘Robot Kingdom’? ―The
Shift
from Industrial Robots to Social Robots.
2007.
http://www.cnnindonesia.com/teknologi/20150803074318-199-69616/hubungan-seksual
dengan-robot-normal-di-masa-depan/ Diakses tgl 14 Nopember 2015:
[1] Armada Riyanto, Berfilsafat Politik. Yogyakarta:
Kanisius 2011. Hlm 22
[2] Ibid hlm 23
[3] Donny Gahral Adian, Percik
Pemikiran Kontemporer: Sebuah Pengantar Komprehensif. Bandung: Jalasutra,
2005. Hlm 140
[4] Alfred
Schutz, The Phenomenologi of the social
world, USA: Northwestern University Press, 1967. Hlm. 78. Terjemahan
aslinya adalah: The object is constituted out of
appearances as we encounter them in our stream of consciousness. Such
appearances hang together in a context of meaning. As they follow one another in regular
sequence, our experience of the object is built up.”
[5]
Kesadaran: dalam konteks fenomenologi Edmund Husserl, kesadaran selalu
melibatkan dua bagian, yaitu cogitations (disebut “aktivitas intensional”
noesis) dan cogitata (disebut “objek intensional” atau noema) yang selalu
berada dalam keadaan berkorelasi. Tesis Husserl adalah setiap aktivitas
menyadari merupakan aktivitas menyadari sesuatu. Oleh sebab itu, pengertian
“kesadaran” oleh Husserl selalu dihubungkan dengan kutub objektifnya, yakni
objek yang disadari. Lihat, Donny Gahral Adian. Pengantar Fenomenologi. Depok: Koekoesan, 2010. Hlm. 145-146
[7] the later lived experience occurs within
a Here and Now whose intrinsic quality is partially determined by the retention
of the earlier lived experiences.”
Ibid. Hlm. 79
[8] Engkus
Kuswarno. Metodologi Penelitian
Komunikasi, Fenomenologi, Konsepsi, Pedoman, dan Contoh Penelitiannya.
Bandung: Widya Padjajaran, 2009. Hlm. 18
[9] Armada Riyanto. Catatan Kuliah
Fenomenologi Sosial STFT Widya Sasana. 2015
[10] Chiemi
Sakuma. Research Report: Why Is Japan
Called the ‘Robot Kingdom’? ―The Shift from Industrial Robots to Social
Robots. 2007. Hlm. 2. Terjemahan aslinya adalah Most
robots utilised in Japan during that time were a type of industrial robots used
in production process, but now that we move into the contemporary world, robots
are no longer machines of production. Robots have been slowly but surely
integrating into our daily lives with the progress of their communication
function. In contrast to the west, Japan has always exhibited a unique form of
love towards robots, robophilia. One of the world biggest multi-media
conglomerates Sony Corporation, has already introduced various kinds of animal
entertainment robots such as AIBO (Artificial Intelligence robot, see Fig1).
[11] http://www.cnnindonesia.com/teknologi/20150803074318-199-69616/hubungan-seksual-dengan-robot-normal-di-masa-depan/ Diakses tgl 14 Nopember 2015:
[12] Armada Riyanto. Menjadi-Mencintai
Berfilsafat Teologis Sehari-hari. Yogyakarta: Kanisius 2013. Hlm. 75
[13] Yasraf Amir Piliang. Dunia Yang
Dilipat: Tamasya Melampaui Batas-batas Kebudayaan. Bandung: Pustaka Matahari,
2011. Hlm. 382
[14] Armada Riyanto, dkk (ed). Aku
dan Liyan: Kata Filsafat dan Sayap. Malang: Widya Sasana Publication, 2011.
Hlm. 15
[15] Armada Riyanto. Berfilsafat
Politik. Op.cit. Hlm. 148
[16] Ibid. Hlm. 143
[17] Donny Gahral Adian. Op.cit. Hlm.74
[18] http://www.cnnindonesia.com/teknologi/20150803074318-199-69616/hubungan-seksual-dengan-robot-normal-di-masa-depan/
Diakses tgl 14 nopember 2015:
[19] Yasraf Amir Piliang. Op.cit. Hlm. 200
[20] Donny Gahral Adian. Op.cit. Hlm. 119
Mantap Bang..
ReplyDeleteThis comment has been removed by the author.
ReplyDeleteThe Lucky Club Casino site
ReplyDeleteLucky Club Casino is a licensed, legal and legal online casino in South Africa. The Lucky Club Casino offers a wide range of games from traditional slots to live 카지노사이트luckclub Rating: 3.3 · Review by LuckyClub.org