Thursday 4 June 2015

Levinas Di Kelud


Sebuah Refleksi Dari Lingkar Gunung Kelud


Tidak seperti biasanya, pagi itu saya bangun sekitar jam 03.00, hari itu adalah hari Minggu, tgl 2 Nopember 2014. Saya mulai mempersiapkan peralatan yang akan kami bawa dalam rangka penelitian di lingkar Gunung Kelud, tepatnya di daerah Satak dan Sukomoro. Sekitar jam 04.20, saya mulai melangkahkan kaki keluar rumah menuju Biara SVD untuk berangkat bersama dengan Fr.Yan ke Biara Seminari Tinggi CM Badut (Biara CM Badut). Cuaca pagi itu terasa sangat dingin, tetapi itu tidak menjadi halangan untuk terus melangkahkan kaki sampai ke biara SVD. Saya sungguh bersyukur bahwa Fr. Yan berangkat bersama saya, karena saya sendiri belum melihat Biara CM Badut, tempat kami akan berkumpul untuk berangkat bersama ke lingkar Gunung Kelud. Kami berangkat dari biara SVD setelah saya menungguh Fr.Yan beberapa menit, dan akhirnya tepat pukul 04.35. Kami berjalan ke Biara CM Badut, dan kira-kira 15 sampai 20 menit akhirnya kami sampai di Biara. Saya melihat di luar biara sudah ada Fr.Nasip yang menjadi pimpinan rombongan, telah menunggu di luar biara, karena saat itu pintu gerbang biara belum terbuka.
Setelah jam 05.00 akhirnya pintu biara terbuka, dibuka oleh seorang Frater, saya sendiri tidak mengenal Frater tersebut. Kami pun masuk di biara, dan saya melihat Fr.Feri dan Fr.Roni sedang mempersiapkan makanan yang akan kami bawah untuk bekal penelitian. Saya tidak melihat Rm. Armada yang juga tinggal di biara tersebut. Rm.Armada merupakan penggagas/perancang dari penelitian yang akan kami lakukan di lingkar Gunung Kelud. Tidak beberapa lama kami menunggu saya melihat Rm.Armada telah siap untuk berangkat, dan nampaknya mobil L300 yang akan kami pakai juga telah siap untuk membawah kami menuju lingkar Kelud. Kami berangkat dari Biara CM Badut, sekitar jam 05.10 menuju ke lingkar Gunung Kelud.
Perjalanan kami menjadi sebuah perjalanan yang menarik, karena dalam perjalanan teman-teman mulai mencairkan suasana, dengan menceritakan pengalaman-pengalaman lucu di dalam biara, ketika masih kuliah S1. Saya bersama dengan Fr. Feri dan Rohim yang duduk paling belakang hanya menyimak apa yang teman-teman ceritakan, sambil sesekali menimpali dengan pertanyaan. Saya melihat Rm. Armada seperti sedang melanjutkan tidurnya, yang duduk tepat berada di belakang sopir. Kira-kira jam 06.30, mobil berhenti di sebuah tempat untuk istirahat, sekaligus kami akan menikmati sarapan bersama yang telah dipersiapkan oleh Fr.Nasip bersama dengan teman di biara. Rohim nampak sangat gembira, ketika mobil berhenti, karena sejak tadi dia menekan-nekan perutnya karena lapar. Setelah kira-kira setengah jam kami istirahat, akhirnya perjalanan dilanjutkan ke Pare.   
Kami tiba di pare, tepatnya di gedung Gereja Katolik Pare. Saya lihat misa sementara berlangsung. Tidak berapa lama kami menunggu, akhirnya orang yang akan mengantar kami nampak telah siap dengan mobilnya untuk membawah kami ke lereng Kelud. Kami sampai di Gedung Gereja Stasi Satak dan setibahnya  di gereja nampak beberapa orang telah ada di sana menunggu kedatangan kami. Setelah kami turun dari mobil, kami dipersilakan masuk ke ruangan di samping gereja. Setelah saya dan rombongan menyalami satu persatu umat yang dari tadi menunggu kedatanga kami. Tidak berapa lama kami pun mulai mempersiapkan untuk wawancara sebelum misa, karena nampaknya Rm.Armada juga harus mempersiapkan diri memimpin misa.
Kami memulai wawancara dengan beberapa narasumber yang berlangsung sekitar satu jam lebih. Setelah wawancara selesai, saya juga mulai mempersiapkan diri untuk beribadah bersama dengan umat. Ketika saya masuk gereja, saya melihat sahabat saya Rohim yang non kristen juga ikut masuk dan duduk tepat di samping saya. Kami pun mengikuti kebaktian bersama dengan umat yang ada di sana. Saya melihat Rohim yang ada di samping saya juga ikut mengikuti semua liturgi, ketika umat berdiri, dia ikut berdiri, sambil sesekali bertanya pada saya. Nampak Rohim tidak ada kekakuan sama sekali dalam mengikuti semua akta. Gereja yang kami tempati, merupakan salah satu gereja yang baru direnovasi pasca letusan Gunung Kelud. Karena gereja itu mengalami kerusakan berat pasca letusan.       
Cerita Dari Satak
Tepat jam 07.40. kami memulai wawancara di Satak, dengan beberapa orang yang ada disitu, yang telah dihubungi sebelumnya. Rm. Armada memulai dengan memperkenalkan kami satu persatu, yang dimulai dari saya yang tepat berada di sampingnya. Setelah itu Rm. Armada mulai menjelaskan maksud dari kedatangan kami di lereng Gunung Kelud. Daerah Satak berjarak 11 Km dari puncak Gunung Kelud. Ketua Stasi mulai menceritakan kronologis peristiwa 13 Pebruari 2014 tepatnya pada hari kamis,(malam jumat) sekitar pukul 22.30. Di mana, malam itu terdengar suara letusan keras, yang membuat situasi menjadi panik, ditambah dengan gelapnya malam, sehingga yang nampak kelihatan adalah puncak Gunung Kelud yang menyemburkan api, lahar dingin dan lemparan batu-batu panas. Seperti disampaikan bahwa :
Letusannya waduh, yg pertama itu lemparan batu, kemudian hujan debu naik keatas diikuti bara api,kelihatan jelas sekali, putih-putih bara api naik keatas…sampai diatas seperti kembang api itu, cuar,cuar,cuar. Seperti bunyi genteng itu keras sekali,… arahnya kesana termasuk ke Suko Moro,Kebun Duren,Malang Ngantang itu arah kesana[1].
Situasi malam itu dipenuhi dengan rasa takut yang luar biasa, istri ketua stasi yang awalnya dipenuhi rasa penasaran untuk mau melihat letusan Gunung Kelud, malam itu menjadi sangat ketakutan ketika dia telah melihat letusan yang begitu dahsyat tersebut. “ternyata seperti itu dahsyatnya letusan Kelud”. Situasi ketakutan membuat suasana semakin panik. Malam itu menjadi malam yang mencekam penuh kegentaran. Semua orang berlari untuk mencari tempat berlindung yang aman dari lemparan batu panas dan terjangan lahar dingin dari puncak Gunung Kelud. Lemparan batu panas tersebut, akan menghancurkan apa saja yang terkena,bahkan genteng rumah pun bocor akibat lemparan batu panas tersebut. Kita tidak dapat membayangkan jika yang terkena lemparan batu panas itu adalah kepala manusia. Ditambah dengan hujan debu dan semburan pasir yang menambah suasana batin menjadi semakin tegang.
Malam itu semua penduduk yang ada di lingkar  Gunung Kelud mengungsi ke tempat yang telah ditetapkan sebelumnya yakni disebuah pabrik. Seperti yang disampaikan nara sumber bahwa: “Di Status siaga itu pihak desa suda menyiapkan titik kumpul Sehingga evakuasi warga ini memakan waktu 10 sampai 30 menit,semuanya terevakuasi.” Dalam waktu yang cepat, semua warga telah berhasil dievakuasi oleh para relawan yang sebagiannya adalah warga sekitar lingkar Gunung Kelud, yang tergabung dalam “Jangkar Kelud”[2] dan “Karina”[3]. Meskipun mereka menjadi korban, tetapi tidak berarti mereka berhenti untuk memberi perhatian pada sesama warga lain yang membutuhkan pertolongan. Ketakutan, telah digantikan oleh rasa kemanusiaan yang dalam, sehingga membuat mereka tidak berhenti untuk saling menolong satu dengan yang lainnya. Tidak ada lagi sekat primordialisme, tidak ada sekat agama, kaya, miskin yang ada hanya rasa untuk saling memberi pertolongan. Levinas menyebutnya sebagai relasi intersubyektif yang bersifat asimetris. Relasi Simetris tersebut dapat dipahami sebagai berikut yakni:
Artinya, etika atau ‘yang etis’ harus mulai dari satu relasi (1) antara satu orang dan seorang yang lain, dan bukan dari sebuah prinsip moral universal yang mengikat semua manusia; (2) yang bersifat asimetris, yakni bahwa sang Aku memiliki tanggung jawab tak terbatas terhadap orang lain. Apapun yang saya lakukan terhadap orang lain sebagai bentuk tanggung jawab saya tidak akan pernah cukup.[4]     
Semua orang berkumpul seperti satu keluarga dalam lingkar Gunung Kelud. Gunung Kelud yang telah mengancam jiwa anak manusia, dan meluluhlantakkan tanah pertanian, rumah, ternak dll, telah membuat warga menjadi satu kesatuan. Mereka berbagi makanan, air, meskipun mereka sama-sama membutuhkan makanan. Seperti yang dialami oleh beberapa warga ketika mereka mengantar makanan, mobil mereka dicegat oleh pengungsi yang lain untuk meminta makanan.  Tidak ada konflik karena harus berebut makanan, mereka semua seperti saudara yang saling memahami satu dengan yang lainnya. Seperti pertanyaan Rm. Armada, Apakah ada konflik ketika mendistribusikan makanan? oh nda ada, jadi, ya kalau diminta (makanannya) ya dikasikan, setelah itu kita sampaikan, bahwa yang disana juga membutuhkan makanan.” Dalam situasi lapar dan kondisi psikologi yang hancur, mereka tetaplah orang-orang beradab yang saling memberi perhatian. Mereka seperti bersedia menahan lapar demi untuk saudara mereka yang lain, yang juga membutuhkan makanan. Tidak seperti yang biasa kita lihat dalam pembagian sembako yang sering kali justru menelan korban jiwa.
Letusan Gunung Kelud nampaknya tidak bijak, jika kita hanya melihatnya dalam kondisi korban yang membutuhkan bantuan. Kelud meluluhlantakkan tetapi sekaligus mengingatkan masyarakat yang ada dilerengnya untuk tetap mengedepankan tanggung jawab terhadap sesama yang lain. Kita boleh menjadi korban, tetapi tidak berarti menghilangkan rasa kemanusiaan kita terhadap yang lainnya. Seperti diungkapkan oleh nara sumber bahwa: “mereka saling bergotong royong dalam memperbaiki rumah…bahkan sering mereka tidak tahu, tiba-tiba rumah mereka telah diperbaiki.” Tanggung jawab terhadap yang lain, membuat mereka melupakan kepentingan pribadi. Karena kepentingan kelompok menjadi sesuatu yang sangat penting. Menolong yang lain sama dengan menolong diri sendiri.
Sayang sekali bahwa di tengah situasi itu, ada saja kelompok-kelompok relawan yang tidak tulus dalam memberi pertolongan, ini ditandai dengan bendera-bendera yang mereka bawah. Bahkan ada relawan yang datang, hanya mau membantu yang satu agama dengan mereka. Tetapi warga setempat yang berada di lingkar Kelud, yang terkena erupsi Kelud, justru menjadi masyarakat yang memperlihatkan persaudaraan di antara sesama warga yang berbeda agama. Ini tentu menunjukkan bahwa perbedaan bukanlah penghalang bagi mereka untuk saling menolong, tetapi yang membatasi dan membuat sekat-sekat justru lahir dari sebagian relawan yang datang dengan membawa simbol-simbol agama tertentu.
Letusan Kelud disebut oleh narasumber sebagai siklus 8 (delapan) tahunan. “Ketika tidak meletus pada tahun ke delapan, maka 16 tahun berikutnya, kalau tidak meletus, maka 24 tahun berikutnya, kalau juga belum meletus maka 32 tahun berikut.” Meskipun menurut mereka letusan Kelud sangat sulit diprediksi, seperti yang terjadi pada pebruari 2014, di mana sulit memprediksi akhirnya kita sedikit kesulitan dalam evakuasi, terutama evakuasi ternak. Hampir semua ternak ditinggalkan oleh pemiliknya, karena tidak lagi sempat untuk mengevakuasinya. Seperti disampaikan bahwa “karena sangat singkatnya waktu dari siaga ke awas itu akhirnya kalang kabut juga”. Perubahan status dari siaga ke awas yang begitu cepat, membuat warga tidak lagi mempedulikan barang ataupun ternak, yang paling penting waktu itu adalah bagaimana menyelamatkan diri dari terjangan erupsi. Akhirnya sekitar 30 menit, warga semua telah dievakuasi ke sebuah pabrik yang sebelumnya telah disiapkan.                                          
Cerita Dari Sukomoro
            Kisah ini kami dapatkan ketika kami berada di Gedung Gereja Katolik Sukomoro. Di sana ada beberapa orang narasumber yang telah siap menyambut kedatangan kami. Kami waktu itu langsung dipersilakan masuk ke dalam gedung gereja. Saya melihat gedung gerejanya seperti baru selesai di renovasi. Kami memulai perbicangan dengan beberapa orang narasumber. Percakapan dimulai dari salah seorang warga, yang menceritakan pengalamannya menghadapi letusan Gunung Kelud yakni pada tahun 1990 dan pada pebruari 2014. Pa Jono, demikian sapaan akrab dari salah satu narasumber yang kami wawancara. Dia mengisahkan bahwa sebelum erupsi, mereka telah mendapatkan arahan-arahan dari relawan, baik dari Karina pun dari Jangkar Kelud. Ke mana warga harus mengungsi ketika terjadi bencana, apa yang harus dibawah dll. Tetapi semua itu menjadi buyar, ketika letusan Kelud terjadi pada Pebruari 2014. Seperti diungkapkan pa Jono bahwa:
suda ada beberapa titik yang kami putuskan untuk nanti menjadi tempat pegungsian, tetapi semuanya buyar, tidak terduga sama sekali. Karena diperkirakan Sukomoro sini yang arahnya mengungsi ke Sumber Suko sekitar lima kilo, tapi justru sona amannya ya 20 kilo, jadi kami harus mengungsi. Letusan pertama, ya besar sekali, langsung mengeluarkan api, maka kami malam itu panik.Apalagi kejadiannya malam, lampu mati semua…akhirnya kami tidak memikirkan lagi tempat pegungsian yang telah ditetapkan. Kami tersebar ke mana-mana.[5]    
             Situasi malam itu sangat mendebarkan. Mereka menghindar dari lemparan batu yang panas di tengah gelapnya malam. Mereka berlari mencari tempat perlindungan yang aman dari terjangan lahar dingin dan lemparan batu panas dari puncak Kelud. Akhirnya, ditengah situasi yang menegangkan itu, yang diperkirakan terjadi sekitar pukul 22.30, akhirnya kami berlari ke gedung gereja. Kami berkumpul sekitar 70 (tuju puluh) orang di dalam gedung gereja, tetapi, karena ketakutan dan rasa tidak aman, mengingat gedung gereja yang suda tua, akhirnya kami putuskan untuk berlari ke balai desa dengan menggunakan bangku gereja sebagai pelindung kepala kami dari terjangan hujan debu dan batu-batu panas.
            Tidak berapa lama, akhirnya kami sampai di balai desa. Seperti cerita pa Jono, bahwa di tengah perjalanan ke balai desa, mereka melihat pemandangan yang memiluhkan, di mana “banyak orang tua yg suda lanjut usia ditinggal keluarganya dipinggir-pinggir jalan”. Orang-orang tua (lansia) ini menangis dan berteriak minta tolong di pinggir jalan, mereka tidak tahu harus ke mana meminta pertolongan, mereka ketakutan yang luar biasa. Pa Jono bersama dengan beberapa orang yang baru saja sampai di balai desa, yang juga sedang mencari pertolongan untuk dievakuasi, melihat situasi yang memiluhkan ini, langsung menarik orang-orang tua tersebut untuk melakukan evakuasi bersama-sama. Kebetulan, waktu itu masih ada satu mobil truk yang tersisa, akhirnya para lansia tersebut dinaikkan ke truk untuk di evakuasi ke sebuah Sekolah Katolik dan Paroki yang terdekat, sambil pa Jono dan beberapa orang lainnya menunggu mobil lain untuk mengevakuasi mereka.
            Di sana tidak ada lagi pertanyaan siapa yang harus mereka tolong! Atau agama apa yang mereka harus tolong! Yang ada hanyalah perasaan tanggung jawab terhadap sesama anak manusia. Tanggung  jawab ini membuat mereka tergerak dan melepas semua atribut dan sekat-sekat primordialisme yang sering kali membentengi manusia dalam relasi dengan orang lain. Yang ada hanyalah relasi tanggung jawab terhadap sesamanya. Para lansia akan berterima kasih mendapatkan pertolongan, demikianpun si penolong akan bersyukur karena masih diberi kesempatan untuk mendapatkan tanggung jawab tak terbatas dalam relasi dengan yang lain. Pa Jono bersama dengan beberapa warga menjadi orang terakhir yang di evakuasi dari Kelud.
            Lingkar Kelud pada waktu itu seperti desa mati, yang tidak berpenghuni. Semua warga mencari tempat yang aman bersama dengan keluarganya masing-masing. Peristiwa malam itu, nampaknya juga mengingatkan warga di lingkar Kelud, bahwa tidak ada yang lebih berharga dari nyawa seorang manusia. Barang berharga mereka tinggalkan, ternak tidak lagi dipedulikan, yang penting waktu itu adalah bagaimana nyawa bisa selamat.
            Beberapa hari setelah kejadian, warga mulai berani untuk naik mengambil ternak yang juga telah kelaparan karena tidak diberi makanan. Pa Jono menambahkan bahwa letusan Kelud pada 13 Pebruari lalu, lebih dahsyat dari letusan pada tahun 1990. Seperti yang dia ungkapkan “Pengalaman Saya ini suda dua kali pertama tahun 1990 dan yang kedua, kemarin Pebruari 2014. Kalau  tahun  1990 tidak separah ini, tetapi pada tahun 2014 pada tanggal 13 Pebruari itu memang saya rasakan, memang sangat dahsyat sekali letusannya”. Situasi ini tentu saja akan membuat siapapun yang ada disekitar lingkar Kelud akan mengalami ketakutan dan kepanikan yang luar biasa.
            Pada sisi yang lain, warga masyarakat tetap menghargai kearifan lokal yang ada. hal ini nampak kelihatan ketika erupsi terjadi. Sebagian besar warga dari beberapa perkampungan yakni dari Parangagung, Margomoyo, Prapatan, Sukomoro, mengungsi ke wilayah Sumber Suko, tepatnya di daerah yang mereka sebuat sebagai “Majapahit Lama”. Daerah tersebut dianggap sebagai daerah yang tidak akan dapat dikena erupsi Kelud. Meskipun jarak dari Majapahit Lama ke puncak Kelud bisa dikatakan masih cukup dekat, kira-kira 12 kilo dari puncak Kelud. Kearifan lokal mempercayai bahwa daerah tersebut tidak akan dapat kena bencana. Karena itulah ratusan tenda pengungsi di buat di daerah tersebut. Para penduduk yang ada diwilayah tersebut, membiarkan tanah mereka di tempati untuk dipasangi tenda para pengungsi. Tidak ada yang keberatan ketika tenda pengungsi mulai di didirikan di tanah mereka.
Relasi Asimetris
kenapa kok tidak ada pencurian, padahal kesempatan begitu besar? kalau mencuri milik temannya sama dengan mencuri milik sendiri. Seandainya saya mencuri  (kepunyaan bapak) sama dengan mencuri kepunyaan saya sendiri![6]
Nampak sang aku memperlihatkan sebuah relasi yang dalam dengan sesamanya. Relasi itu hanya terbangun, jika setiap orang mampu merasakan apa yang dirasakan oleh sesamanya. Relasi ini muncul dari sebuah kesadaran, melihat orang lain bagian dari diri sendiri. Etika wajah nampak hadir dalam ruang yang begitu menakutkan akibat erupsi Kelud yang meluluhlantakkan beberapa desa yang ada di lerengnya. Persis dalam situasi ini societas yang ada dilereng Kelud, memperlihatkan sesuatu yang berbeda, di mana mereka melihat wajah yang lain sebagai bagian dari dirinya. Tidak ada lagi pertanyaan siapa yang harus mereka tolong, atau agama apa yang harus ditolong! “kehadiran manusia bukanlah kehadiran entitas, melainkan kehadiran nilai-nilai. Dan, yang disebut manusia menurut Levinas adalah kehadiran wajah.”[7]
Kehadiran wajah yang lain, menunjukkan sebuah hubungan tanggungjawab. Mereka nampak tidak hanya melihat kehadiran manusia dalam kehadiran fisiknya, tetapi jauh melampaui itu. Kehadiran wajah yang lain dipandang dalam kehadiran nilai-nilai. “wajah adalah produsen nilai-nilai keluhuran manusia. Wajah menjadi representasi martabat.”[8]  Sikap menghormati kehadiran yang lain, bukanlah sebuah kepura-puraan, bukan pula dibalut oleh kepentingan tertentu, seperti yang dilakukan oleh beberapa relawan yang membawa bendera tertentu. Tetapi sikap menghargai yang lain sebagai bagian dari rasa tanggung jawab mereka terhadap sesamanya. Tanggunga jawab tak terbatas ini, benar-benar ditunjukkan dalam tanggungjawab bersama dalam saling membantu. Seperti diungkapkan dalam wawancara bahwa:
“Kerjasamanya pada saat setelah erupsi yang jelas, untuk warga masyarakat disini suda tidak membeda-bedakan lagi, untuk agama (apa agamanya). Kalau malam ya ronda bareng-bareng, kalau ada yang nga punya air saling memberi.”
Kehidupan menjadi sebuah relasi tak terbatas dengan orang lain. Setiap orang nampak menunjukkan orang lain adalah saudaranya, sehingga sekat-sekat primordial telah diputuskan oleh erupsi Kelud. Siapapun dilihat sebagai bagian dari diri sendiri. Sehingga kehadiran yang lain selalu mengugah hati nurani untuk memberinya pertolongan. Kehadiran yang lain selalu membuat seseorang terusik rasa kemanusiaannya. Situasi seperti ini bukanlah situasi yang dibuat-buat, tetapi sebuah kondisi yang terjadi secara alami. Di mana setiap warga yang ada dilingkar Kelud merasa tergugah rasa kemanusiaannya untuk memberi pertolongan pada sesamanya. Meskipun mereka sama-sama korban dari erupsi Kelud, yang sama-sama membutuhkan pertolongan, tetapi justru mereka menunjukkan tanggung jawab besar terhadap sesamanya.
Situasi ini misalnya terjadi dalam beberapa hal, misalnya: rumah warga yang di tinggal  kosong, tidak ada yang kecurian. Ini karena seubuah filosofi, bahwa mencuri kepunyaan tetangga sama dengan mencuri milik sendiri. Rasa kepedulian yang sangat besar terhadap sesamanya menjadikan mereka benar-benar menjadi satu keluarga. Tidak ada yang mengkuatirkan barang yang ditinggalkan akan dicuri. Mereka semua sepertinya saling mempercayai satu dengan yang lain.             
Refleksi Filofosis Teologis
            Erupsi Gunung Kelud menghajar dan mengajar! Mungkin ini kalimat yang tepat untuk menggambarkan situasi yang terjadi di lereng Gunung Kelud pasca erupsi. Bahwa erupsi Kelud, pada satu sisi menghancurkan semua yang ada di lerengnya, tetapi pada sisi lain mengajar mereka yang mau belajar. Wajah Kelud seperti berwajah ganda, disatu sisi nampak sangar dan menakutkan, ketika memuntahkan api dan lahar dingin. Tetapi pada sisi lain dia menjadi sangat ramah, dengan memberi kehidupan baru dengan kesuburan tanah bagi mereka yang ada di bawah lereng Kelud. Jauh lebih dalam dari itu, dia meninggalkan pelajaran berharga bagi manusia yang ingin belajar tentang relasi hidup dengan sesamanya.
            Di lingkar Kelud, ada sebuah pelajaran berharga, bagaimana relasi persaudaraan telah meruntuhkan tembok-tembok primordialisme. Persaudaraan menjadi sesuatu yang sangat berharga, sehingga yang lain rela memberi tempat bagi keselamatan yang lain demi untuk persaudaraan. Seperti yang diperlihatkan oleh beberapa orang, yang merelakan mobil untuk evakuasi dipakai oleh saudaranya yang lain untuk mengevakuasi mereka yang lebih tua (lansia). Mungkin ini dapat dimengerti dalam konsep sense of belonging. Seperti diutarakan dalam buku Aku dan Liyan bahwa:
Ia rela memberikan apa yang dibutuhkan oleh saudaranya tanpa mengharapkan balasan. Di sini bukan lagi masalah take ang give (mengambil dan memberi) sebagaimana prinsip khalayak umum dalam pertimbangan untuk memberikan sesuatu kepada orang lain, melainkan give and get (memberi dan mendapat). …Ketika aku memberi sesuatu untuk saudaraku, aku tidak mengambil atau meminta apapun darinya. Justru aku mendapatkan sesuatu dari perbuatanku, yaitu terjalinnya ikatan persaudaraan yang semakin erat dengan orang lain. Tindakan memberi menjadi sebuah aksi yang semata-mata hanya demi cinta dan kasih bagi saudarnya yang lain.[9]                          
            Memberi pertolongan kepada yang lain, tidak lagi dimaknai dalam konsep, akan mendapatkan sesuatu dari hasil pertolongannya. Karena yang ada adalah, manusia yang lain dilihat sebagai bagian dari diri sendiri. Di mana hal sama terungkap dari ungkapan salah seorang warga, yang memaknai bahwa mengambil barang yang lain sama dengan mengambil miliknya. Atau dengan kata lain, menyakiti yang lain sama dengan menyakiti dirinya sendiri. Relasi asimetris sungguh-sungguh telah menjadi hidup di tengah-tengah societas yang mengalami bencana erupsi Kelud. Bahkan para relawan yang datang dengan konsep take and give, nampaknya harus belajar pada mereka yang dianggap korban. Sehingga kembali dengan sebuah pandangan filosofis yang baru give and get.
            Relasi asimetris yang dihidupi oleh masyarkat lingkar Kelud, telah menampar mereka yang hidup dalam sikap primordialisme. Mungkin di sanalah contoh societas yang sesungguhnya. Di sana tidak ada kemunafikan, tetapi yang ada hanyalah ketulusan. Persaudaraan menjadi bagian hidup yang benar-benar hidup. Hidup tidak hanya dalam kata, tetapi dalam sikap dan tindakan kongkret. Di sana tidak ada objek, karena yang ada hanyalah hubungan tidak terpisah antara aku dan engkau. Hubungan yang begitu dekat tanpa sekat. Sebuah gambaran societas yang benar-benar hidup dalam sebuah persaudaraan dan sebuah tanggung jawab terhadap yang lain. Wajah yang lain telah menampilkan nilai baru yang melampaui wajah itu sendiri. Wajah yang lain itu dipandang sebagai cerminan kehadiran diri sendiri. Karena itulah, dapat dimengerti ketika mereka saling menolong, maka tidak ada kepentingan di balik semua pertolongan yang diberikan. Mereka tulus melakukan semuanya, karena yang lain adalah bagian dari diri mereka sendiri. Yang lain tidaklah dipandang sebagai objek, tetapi dipandang dalam relasi yang sangat dalam, di mana kata-kata pun tidak cukup untuk mengungkapkannya. Relasi itu disebut oleh Levinas sebagai relasi asimetris.
            Relasi yang dibangun ini, juga telah menampar mereka yang menyebut diri hidup dalam persaudaraan se-iman. Bahkan tidak salah jika penulis mengatakan telah mempermalukan mereka yang melihat saudara hanya dalam bingkai se-agama. Wajah Yesus pun hadir di sana dan mengingatkan kita, bahwa yang disebut saudara, bukan hanya mereka yang satu agama dengan kita, bukan hanya mereka yang satu suku, tetapi jauh melampaui semuanya itu (bdk.Lukas 10 25-37. Perumpamaan orang Samaria yang murah hati). Mereka yang disebut saudara adalah mereka yang lemah, tertindas dan sedang membutuhkan uluran tangan kita.
Kelud telah memberi sebuah pelajaran berharga dalam melihat sesama. Di sanalah persaudaraan dan persahabatan yang sejati, karena dibangun atas dasar kemanusiaan. Armada Riyanto dalam buku Katolisitas Dialogal menyebut “…persahabatan langsung merujuk pada keutamaan manusiawi. Persahabatan mencetuskan kesetiakawanan, kebersamaan, kerukunan, kekerabatan, ketetanggaan, kekeluargaan dan yang sejenisnya.”[10]  Societas lingkar Kelud memperlihatkan semua jenis persahabatan tersebut. Karena mereka memulainya dalam sudut pandang, wajah yang lain adalah bagian dari kehidupan mereka. Mereka telah memperlihatkan dan mengajar kita bagaimana harus membangun relasi asimetris.           
          






Kepustakaan:
1.      Armada Riyanto, E. Befilsafat Politik, Yogyakarta, Kanisius 2011.

______________, Katolisitas Dialogal, Ajaran Sosial katolik. Yogyakarta, Kanisius 2014.

______________, dkk (editor). Aku dan Liyan, Kata Filsafat dan Sayap. Malang,   Widya Sasana Publication, 2011.

2.      Hidya Tjaya,Thomas. Enigma Wajah Orang Lain, menggali pemikiran Emmanuel Levinas. Jakarta, Keputakaan Populer Gramedia (KPG) 2012.






[1] Wawancara dengan ketua stasi di Satak
[2] Jangkar Kelud adalah organisasi yang dibentuk oleh organisasi kapal layar Indonesia dari Yogya, yang bertujuan untuk memberi pelatihan-pelatihan kebencanaan (manajemen bencana) kepada warga sekitar lingkar Kelud. (Informasi dari salah seorang anggota lingkar Kelud yang ada di Satak).
[3] Karina:Caritas Indonesia, adalah organisasi yang bergerak dalam memberi dukungan bagi masyarakat yang mengalami tekanan, bencana, kemiskinan dan sejenisnya.
[4] Thomas Hidya Tjaya. Enigma Wajah Orang Lain, menggali pemikiran Emmanuel Levinas. Jakarta: Keputakaan Populer Gramedia (KPG), 2012. Hlm. 95
[5] Wawancara dengan Pa Jono di Gedung Gereja katolik Sukomoro
[6] Wawancara dengan salah satu nara sumber di Satak pada minggu 2 Nopember 2014
[7] E. Armada Riyanto, Befilsafat Politik, Yogyakarta: Kanisius, 2011, hlm 78
[8] Ibid hlm 78
[9] Armada Riyanto dkk (Editor), Aku dan Liyan,Kata Filsafat dan Sayap.Malang : Widya Sasana Publication,2011, Hlm 172
[10] Armada Riyanto. Katolisitas Dialogal, Ajaran Sosial katolik. Yogyakarta: Kanisius 2014.  Hlm 125

1 comment:

Teodise (Pembenaran Tuhan): Dialog dengan Leibniz di Masa Pandemi Covid-1

Pertanyaan tentang realitas kejahatan di dunia bukanlah pertanyaan yang baru muncul di dunia post modern. Pertanyaan ini pertama kali ditany...