Matinya Cinta
Sebuah
refleksi atas hukuman mati yang mengusik nurani
Beberapa hari ini media begitu ramai membicarakan tentang
hukuman mati. Tidak ketinggalan media sosial seperti twiter dan facebook ikut
membuat ramai peristiwa yang kontroversial ini. Banyak yang bersorak dengan
pelaksanaan hukuman mati, tetapi tidak sedikit yang menyatakan penolakan.
Semuanya atas satu alasan “atas nama
kemanusiaan”. Dan, tidak sedikit yang hanya diam dan apatis, (emangnya gue pikiran), tidak peduli
dengan apa yang sedang ramai diperbincangkan. Persoalan ini menarik, karena
yang pro dan kontra mempunyai alasan yang sama. Tetapi tidak mungkin menarik
dua kongklusi yang benar atas satu peristiwa. Lalu, mana yang benar? Kita tentu
tidak sedang mencari siapa benar dan siapa salah, tetapi kita perlu merefleksikan
peristiwa yang sedang mengusik suara hati.
Hukuman mati adalah hukuman yang di arahkan pada manusia,
dan bukan pada seekor binatang. Hukuman mati sering dianggap paling ideal untuk
memberi efek jerah bagi mereka yang akan melakukan kejahatan. Tetapi dalam
situasi hukum yang carut marut, hukuman mati bisa menjadi sebuah masalah besar.
Baru-baru kita melihat kriminalisasi terhadap pimpinan lembaga KPK, dan bahkan
telah menjadi rahasia umum, di mana penyuapan dapat terjadi oleh oknum-oknum
yang bekerja di lembaga Iustitia. Kalau hukuman mati menjadi sebuah pilihan,
maka pertanyaannya adalah, apakah kita dapat memastikan bahwa disana tidak ada
manipulasi hukum?
Alangkah mengerikan ketika situasi ini juga digunakan
oleh oknum-oknum tertentu untuk menjebak seseorang dengan narkoba dan akhirnya
orang tersebut dihukum mati (baca kisah Mary Jane yang divonis mati). Apa yang
tidak bisa di negara yang bahkan oknum penegak hukumnya terlibat dalam berbagai
kasus suap dan korupsi. Kita tidak sedang menentang hukuman mati karena PBB
telah bersuara lantang. Tidak! Karena PBB pun harus dikritik, mengapa diam
ketika terjadi eksekusi mati terhadap TKI di beberapa negara seperti Arab
Saudi. Tetapi kita berteriak karena nurani kita sedang terusik, terhadap hak
paling dasar manusia yang sedang terkoyak, di mana aku dan kamu ada didalamnya
sedang memberi mandat terhadap kekuasaan.
Panggung kita hari ini akan di ganti dengan sebuah konsep
baru tentang nilai kemanusiaan. “Menegakkan hak asasi manusia dengan jalan
merampas hak paling dasar manusia”,
inilah nilai baru itu. Panggung ini akan mulai mempertontonkan kepada
anak-anak kita bagaimana kemanusaan ditegakkan dengan jalan mencabut hak paling
dasar manusia. Manusia yang unik karena mempunyai rasa cinta akan segera diubah
eksistensinya menjadi serigala buas. Nilai cinta yang menjadi keunikan pada
diri manusia segera akan berubah menjadi nilai kebuasan. Sebentar lagi
panggung-panggung itu akan mempertontonkan nilai-nilai baru dari hasrat
kebuasan atas nama kemanusiaan. Mungkin kalimat ini tepat bagi mereka yang
sedang bersorak untuk sebuah nyawa” Barangsiapa di antara kamu tidak berdosa,
hendaklah ia yang pertama berteriak untuk hukuman mati”
Refleksi ini pastilah subjektif, karena memang berasal
dari subjek yang sedang merinding mendengar gong kematian nyawa-nyawa manusia
atas nama kemanusiaan.
penegakan HAM dengan jalan cinta
ReplyDelete