Wednesday 1 July 2020

Melampaui Yang Estetis dan Etis: Tafsir Soren Kierkegaard Terhadap Kisah Abraham Mengorbankan Ishak


Kisah Abraham mempersembahkan Ishak adalah kisah yang sangat menarik. Kisah ini memperhadapkan pembaca pada persoalan etika universal versus partikular.  Etika adalah sesuatu yang universal, dan universal itu berlaku u semua orang. Seorang manusia bahkan dimungkinkan menunda atau mengesampingkan suatu nilai etika yang bersifat pribadi demi keutamaan etika yang bersifat universal. Tetapi dalam peristiwa Abraham mempersembahkan Ishak, justru melakukan hal yang sebaliknya. Abraham memilih melakukan penundaan teleologis atas yang etis, atau memilih untuk mengesampingkan nilai etika yang bersifat universal dan masuk dalam penghayatan iman yang lebih individual (ciri filsafat eksistensialis).
“Iman dalam pandangan kierkegaard, menyangkut penghayatan individu seorang manusia (bukan massa) berhadapan dengan yang tak terbatas (yang Ilahi).” Bagi kierkegaard dengan semakin irasionalnya iman kepada Allah, maka iman religius semakin personal dan autentik, karena hal itu tak memiliki dukungan alasan–alasan objektif. Pada titik ini kebenaran akan dipahami secara subjektif. Kisah Abraham adalah kisah yang tidak dapat dipahami secara etis, tetapi melampaui yang etis. Godaan abraham untuk mencegah dia melakukan kehendak Tuhan bukan datang dari orang lain, tetapi godaan etis. Bagaimana mungkin seorang ayah tega menghabisi anak satu satunya yang sangat dicintai.
Otentisitas Abraham justru terlihat dari kemampuan dia melompati yang etis, dan masuk dalam wilayah religius. Pertimbangan baik dan buruk dalam wilayah etis, nampaknya tidak lagi memadai bagi Abraham. Pertimbangan rasional, juga  tidak lagi dijadikan satu satunya ukuran (kritik terhadap rasionalism). Tetapi yang menjadi fondasi utama kepastian dan kebenaran adalah relasi dengan yang Ilahi. Pertimbangan relasi dengan Allah adalah fondasi utama dalam mengambil keputusan pengorbanan Ishak. Pada wilayah religius orang tidak lagi bicara tentang perbuatan baik untuk dapat masuk surga. Wilayah religius tidak lagi dikaitkan dengan soal etis, tetapi kekristenan menyebutnya hanya semata mata karena anugerah.  
Pada wilayah religius inilah Abraham melompat, sehingga perintah Allah untuk mengorbankan Ishak bukan lagi dalam wilayah estetis (wilayah estetis sebagai wilayah kenikmatan/kesusahan) dan etis (wilayah baik dan buruk). Abraham telah memutuskan tindakannya berdasarkan subjektivitasnya, tetapi tidak berarti dia menentukan kebenarannya sendiri. Abraham melakukan atas dasar hubungan yang sangat personal dengan Tuhan. Tindakan Abraham adalah tindakan yang menunjukkan otentisitasnya sebagai manusia, yang dapat melihat kebenaran tanpa terikat pada wilayah estetis dan etis (wilayah estetis, etis dan religius akan saya bahas kemudian). Yang penting bagi Kierkegaard adalah sikap seseorang terhadap apa yang diyakininya sebagai kebenaran, dan bukan apakah kebenaran yang diyakininya itu sungguh-sungguh benar.
Kisah Abraham telah memperlihatkan subjektivitasnya untuk meyakini apa yang dia percayai. Tidak heran jika kemudian Kierkegaard menjuluki Abraham sebagai Bapa orang beriman. Kierkegaard menyebut bahwa tokoh iman seperti Abraham selalu ada di segala zaman, akan tetapi mereka tersembunyi, tidak ada ciri lahiriah yg bisa menjadi penanda. Mereka tidak seperti kaum farisi yang selalu memperlihatkan kesalehan, kebaikan sebagai ekspresi keber-imanan mereka.

No comments:

Post a Comment

Teodise (Pembenaran Tuhan): Dialog dengan Leibniz di Masa Pandemi Covid-1

Pertanyaan tentang realitas kejahatan di dunia bukanlah pertanyaan yang baru muncul di dunia post modern. Pertanyaan ini pertama kali ditany...