Sunday 5 July 2020

Dari Eden Menuju Getsemani


 Di manakah engkau? Pertanyaan ini mengawali pencarian Allah atas diri manusia yang telah menyadari dirinya dalam ketelanjangan (Kej 3:9-10). Di taman Eden kita menemukan kisah penderitaan manusia, atas pilihannya sendiri, di taman Getsemani, kita menemukan kisah penderitaan Anak manusia atas keinginan Bapanya. Kisah Eden dan Getsemani adalah kisah yang tidak terpisah satu dengan yang lainnya. Eden mengungkapkan ketelanjangan manusia, Getsemani mengungkapkan anak manusia yang ditelanjangi. Eden mengungkapkan tentang kejatuhan manusia dalam dosa, Getsemani mengungkapkan penebusan manusia dari dosa. Eden mengungkapkan kerja dengan peluh, Getsemani mengungkapkan peluh seperti tetes darah. Kisah eden subjeknya adalah manusia dan kisah Getsemani subjeknya adalah Allah.  
            Kisah ini bukan sekadar mengisahkan tentang dua taman, tetapi mengisahkan tentang belas kasihan Allah terhadap umatnya. Kisah Taman Eden adalah kisah pemberontakan manusia terhadap Allah, sedangkan kisah Getsemani adalah kisa pemulihan yang diberikan oleh Allah kepada manusia. Kita tidak sedang berkisah tentang kisah cinta Romeo dan Juliet di taman Eden, tetapi kita sedang berkisah tentang hasrat manusia yang tidak terkendali di Eden. Hasrat yang membuat manusia tidak dapat mengendalikan dirinya. Hasrat yang tidak terkendali inilah yang membuat manusia jatuh dalam dosa. Agustinus menyebut, bahwa sejak saat itu manusia telah memikul dosa warisan.
Kisah itu menyedihkan, karena kebebasan manusia dirampas oleh dosa. Dosa menguasai kita, sehingga kita telah menjadi budaknya. Tidak ada yang tersisa pada diri kita, seluruh kodrat kita rusak, kata Martin Luther. Kerusakan ini membutuhkan pemulihan dari yang suci. Yang Suci itu tidak ada diantara kita, tapi ada bersama dengan kita. Dia yang hari ini dibawa ke pembantaian seperti seekor binatang yang akan dibantai. “Dia dianiaya,  tetapi dia membiarkan diri ditindas dan tidak membuka mulutnya  seperti anak domba  yang dibawa ke pembantaian seperti induk domba yang kelu di depan orang-orang yang menggunting bulunya, ia tidak membuka mulutnya” (Yesaya 53:7). Dia yang suci mengantikan kita disalib.
Kisah kesengsaraan itu bermula di eden, dan berakhir di salib. Kisah itu sesunggunya belum berakhir, karena kita akan melihat kisah sengsara Yesus menyeberang memasuki gerbang kehidupan dan kematian. Yesus akan segera masuk dalam gerbang yang absurd, dan Kita akan segera memasuki kesunyian, “Yesus mati”. Tetapi dalam kesunyian itulah, dia sedang menyeberangi gerbang waktu, gerbang kematian, gerbang absurd. Tetapi di sanalah Yesus menyatakan dirinya sebagai Allah yang hidup. Jean Luc Marion menyatakan “Allah itu mahakuasa justru ketika Dia tidak ada, ketika Dia kalah, ketika Dia mati.

            Di manakah engkau? Pertanyaan ini mengawali pencarian Allah atas diri manusia yang telah menyadari dirinya dalam ketelanjangan (Kej 3:9-10). Di taman Eden kita menemukan kisah penderitaan manusia, atas pilihannya sendiri, di taman Getsemani, kita menemukan kisah penderitaan Anak manusia atas keinginan Bapanya. Kisah Eden dan Getsemani adalah kisah yang tidak terpisah satu dengan yang lainnya. Eden mengungkapkan ketelanjangan manusia, Getsemani mengungkapkan anak manusia yang ditelanjangi. Eden mengungkapkan tentang kejatuhan manusia dalam dosa, Getsemani mengungkapkan penebusan manusia dari dosa. Eden mengungkapkan kerja dengan peluh, Getsemani mengungkapkan peluh seperti tetes darah. Kisah eden subjeknya adalah manusia dan kisah Getsemani subjeknya adalah Allah.  
            Kisah ini bukan sekadar mengisahkan tentang dua taman, tetapi mengisahkan tentang belas kasihan Allah terhadap umatnya. Kisah Taman Eden adalah kisah pemberontakan manusia terhadap Allah, sedangkan kisah Getsemani adalah kisa pemulihan yang diberikan oleh Allah kepada manusia. Kita tidak sedang berkisah tentang kisah cinta Romeo dan Juliet di taman Eden, tetapi kita sedang berkisah tentang hasrat manusia yang tidak terkendali di Eden. Hasrat yang membuat manusia tidak dapat mengendalikan dirinya. Hasrat yang tidak terkendali inilah yang membuat manusia jatuh dalam dosa. Agustinus menyebut, bahwa sejak saat itu manusia telah memikul dosa warisan.
Kisah itu menyedihkan, karena kebebasan manusia dirampas oleh dosa. Dosa menguasai kita, sehingga kita telah menjadi budaknya. Tidak ada yang tersisa pada diri kita, seluruh kodrat kita rusak, kata Martin Luther. Kerusakan ini membutuhkan pemulihan dari yang suci. Yang Suci itu tidak ada diantara kita, tapi ada bersama dengan kita. Dia yang hari ini dibawa ke pembantaian seperti seekor binatang yang akan dibantai. “Dia dianiaya,  tetapi dia membiarkan diri ditindas dan tidak membuka mulutnya  seperti anak domba  yang dibawa ke pembantaian seperti induk domba yang kelu di depan orang-orang yang menggunting bulunya, ia tidak membuka mulutnya” (Yesaya 53:7). Dia yang suci mengantikan kita disalib.
Kisah kesengsaraan itu bermula di eden, dan berakhir di salib. Kisah itu sesunggunya belum berakhir, karena kita akan melihat kisah sengsara Yesus menyeberang memasuki gerbang kehidupan dan kematian. Yesus akan segera masuk dalam gerbang yang absurd, dan Kita akan segera memasuki kesunyian, “Yesus mati”. Tetapi dalam kesunyian itulah, dia sedang menyeberangi gerbang waktu, gerbang kematian, gerbang absurd. Tetapi di sanalah Yesus menyatakan dirinya sebagai Allah yang hidup. Jean Luc Marion menyatakan “Allah itu mahakuasa justru ketika Dia tidak ada, ketika Dia kalah, ketika Dia mati.
Kisah Eden telah berakhir dengan kisah via dolorosa oleh Yesus di Getsemani. Kisah Eden telah berakhir dengan kisah belas kasihan Allah atas umatnya (sola gracia). Kisah ini tentang kita yang telanjang di Eden dan menelanjangi yang suci di Getsemani. Dari Eden ke Getsemani adalah kisah sejarah umat manusia dalam ketidakberdayaannya. Jika hari ini ditengah pandemi virus corona, pertanyaan yang sama ditanyakan oleh Allah kepada kita, seperti pertanyaan kepada manusia di Eden, di manaka engkau? Apa jawab kita? Jawaban kita tentu akan berbeda! Karena refleksi kita terhadap salib adalah refleksi yang selalu hidup dan unik dalam diri setiap insan. Selamat berefleksi

No comments:

Post a Comment

Teodise (Pembenaran Tuhan): Dialog dengan Leibniz di Masa Pandemi Covid-1

Pertanyaan tentang realitas kejahatan di dunia bukanlah pertanyaan yang baru muncul di dunia post modern. Pertanyaan ini pertama kali ditany...