Sunday 5 July 2020

Melihat Solidaritas ilahi Dalam ketelanjangan Yesus Refleksi Jumat Agung atas Covid 19


Ketika mereka menyalibkan Yesus,
mereka membagi-bagikan pakaian-Nya di antara mereka
dengan membuang undi (Matius 27: 35).

Pada abad ke-19, konsep solidaritas menjadi sangat radikal, di bawah pengaruh Marx. Pemikiran ini ingin mengungkapkan solidaritas tanpa kelas, sebagai bentuk perlawanan terhadap kapitalisme. Dalam sejarah kekristenan mula-mula, ini bukan sesuatu yang baru. Gereja mula-mula telah mempraktekkan solidaritas bersama yang tidak mengenal tuan dan hamba, bahkan milik pribadi menjadi milik bersama (Kisah Para Rasul 2:44-45). Jauh sebelumnya, Platon (abad ke-5 Sm) merumuskan bahwa seorang pemimpin tidak boleh memiliki milik pribadi, dia harus memiliki segalanya bersama. Johanes paulus II menjelaskan solidaritas sebagai tekad kuat dan terus menerus untuk melibatkan diri dalam kebaikan bersama (bonum commune).
Awal abad 1 Masehi, Yesus mempraktekkan solidaritas yang tidak biasa. Solidaritas itu berpuncak dalam kisah sengsara, kisah ketelanjangan Yesus di salib. Ketelanjangan Yesus secara simbolik, memperlihatkan ketelanjangan manusia di Taman Eden. Ketelanjangan manusia di Eden di narasikan kembali oleh Yesus dalam kisah sengsara. Ketelanjangan yang mengundang tangisan putri-putri Yerusalem, simbol ketidakberdayaan dihadapan Allah, seperti kata Yesus “Hai putri-putri Yerusalem, janganlah kamu menangisi Aku, melainkan tangisilah dirimu sendiri dan anak-anakmu!” (Lukas 23:28).
Tangisilah dirimu dan anak-anakmu! Kita seharusnya yang malu dengan ketelanjangan diri kita. Kita seharusnya yang menangisi diri, karena peristiwa kejatuhan dalam dosa di taman eden, membuat manusia pertama menjadi telanjang. Ketelanjangan tidak hanya mengungkapkan tentang tidak adanya pakaian, bukan juga tentang keterbukaan seluruh aurat. Tetapi ketelanjangan mengungkapkan tentang ketidakberdayaan kita menutupi aurat kita sendiri tanpa solidaritas Ilahi. Ketelanjangan di taman eden di ekspresikan kembali dalam ketelanjangan Yesus di salib. Ketelanjangan tersebut, telah menunjukkan solidaritas ilahi atas hidup kita yang telanjang. Solidaritas ketelanjangan Yesus dilakonkan oleh para prajurit, dengan membagi bagi pakaian-Nya dengan cara undi.
Yesus telanjang, dan kita telah membagi-bagi pakaiannya, untuk menutupi tubuh hina penuh dosa. Prof. Armada Riyanto menyebut, “ketelanjangan tubuh Tuhan adalah pemberian diri dan cinta-Nya secara tuntas kepada karya penebusan umat manusia. Kemurnian cinta Kristus kepada manusia telah ditampilkan dalam “tiada tersisa-nya” apapun yang melekat pada tubuh-Nya.” Ini adalah puncak dari solidaritas Ilahi kepada manusia. Yesus membiarkan dirinya ditelanjangi, dan pakaiannya dibagi-bagikan kepada kita dengan cara undi. Tetapi ketelanjangan Yesus di salib, bisa memaksa kepala pasukan menyatakan pengakuannya, “sungguh, orang ini adalah orang benar!” (Lukas 23:47).           
Ketelanjangan Yesus itu adalah solidaritas personalistik, bukan solidaritas organis dan mekanistik (bdk.Max Scheler, tiga jenis solidaritas). Solidaritas personalistik karena didasarkan pada penghargaan tertinggi pada pribadi/persona manusia sebagai nilai tertinggi. Solidaritas Yesus bukan hanya pada keluarga atau kerabat (solidaritas organis), dan bukan juga pada kelompok tertentu (solidaritas mekanistik). Solidaritas Yesus pada nilai kemanusiaan, justru terlihat secara sempurnah dalam ketelanjangannya. Mengapa? Ketelanjangan itu mengubah hidup manusia, dari manusia yang telanjang menjadi manusia yang telah memakai pakaian. Dari manusia yang rusak secara kodrati, (pandangan Luther) menjadi manusia yang telah dipulihkan, karena auratnya telah ditutup oleh Yesus dengan pakaiannya sendiri.
Covid 19 dan Solidaritas Yesus      
            Solidaritas Yesus dengan demikian sesunggunya menjadi pesan bagi kita, betapa pentingnya membangun solidaritas bersama (solidaritas global, kata Harari). Solidaritas personalistik, menjadi keniscayaan, dalam menanggulangi covid 19. Harari dalam sebuah artikel, the world after coronavirus, menyebut bahwa solidaritas global adalah hal penting untuk bersama membasmi covid 19. Palestina dan Israel bisa bersama melawan covid 19, Cina terlibat membantu beberapa negara seperti Italia, Indonesia, bahkan Amerika yang selama ini berada dalam perang dagang. Bagaimana dengan kita? Solidaritas itu bukanlah hal sulit, karena kita mempunyai ideologi Pancasila, yang jika diperas jadi satu kata Soekarno adalah, “gotong royong”.   
            Negara hari ini membutuhkan solidaritas bersama dalam melawan covid 19. Kita mestinya bergotongroyong, bukan membiarkan pemerintah bekerja sendiri. Ini adalah pandemi, yang mungkin tidak satu pulau pun di Indonesia bisa menghindarinya. Gotong royong itu tidak berat, jika kita mempunyai solidaritas yang sama terhadap kemanusiaan. Soekarno menyebut, saya seorang nasionalis, tetapi nasionalisme saya adalah kemanusiaan (nasionalism is humanity). Tinggalkan perbedaan, egosentrisme mesti dijauhkan. Solidaritas personalistik lebih memudahkan bangsa ini bergotongroyong melawan covid 19. Ingat, kita adalah anak-anak merah putih yang berada dalam rumah yang sama.  
Ikuti protokol pemerintah, stay at home, social distancing. Hargai hidup yang lain dengan tidak menumpuk kebutuhan dapur. Karena menghargai hidup yang lain, sama dengan menghargai hidup kita sendiri. Tanggungjawab terhadap orang lain adalah prinsip moral dasar, kata Levinas. Itu bukan pilihan, tetapi sebuah keniscayaan untuk dikerjakan bersama. Mari bangun solidaritas bersama/solidaritas global. Karena covid 19 bisa menyerang mereka yang beragama pun yang tidak. Menyerang mereka yang menyebut dirinya paling beriman, pun yang tidak punya iman. Dunia butuh solidaritas personalistik, solidaritas ilahi yang tentu dimiliki oleh setiap mereka yang beragama.      
             
                Ivan Sampe Buntu, M.Hum
Pendeta Gereja Toraja
Dosen Filsafat di IAKN Toraja

Catatan; Diterbitkan oleh florepos 10 April 2020 dalam rangka memperinganti jumat agung, dengan mengubah judul “Tuhan dan solidaritas yang tidak biasa”

Dari Eden Menuju Getsemani


 Di manakah engkau? Pertanyaan ini mengawali pencarian Allah atas diri manusia yang telah menyadari dirinya dalam ketelanjangan (Kej 3:9-10). Di taman Eden kita menemukan kisah penderitaan manusia, atas pilihannya sendiri, di taman Getsemani, kita menemukan kisah penderitaan Anak manusia atas keinginan Bapanya. Kisah Eden dan Getsemani adalah kisah yang tidak terpisah satu dengan yang lainnya. Eden mengungkapkan ketelanjangan manusia, Getsemani mengungkapkan anak manusia yang ditelanjangi. Eden mengungkapkan tentang kejatuhan manusia dalam dosa, Getsemani mengungkapkan penebusan manusia dari dosa. Eden mengungkapkan kerja dengan peluh, Getsemani mengungkapkan peluh seperti tetes darah. Kisah eden subjeknya adalah manusia dan kisah Getsemani subjeknya adalah Allah.  
            Kisah ini bukan sekadar mengisahkan tentang dua taman, tetapi mengisahkan tentang belas kasihan Allah terhadap umatnya. Kisah Taman Eden adalah kisah pemberontakan manusia terhadap Allah, sedangkan kisah Getsemani adalah kisa pemulihan yang diberikan oleh Allah kepada manusia. Kita tidak sedang berkisah tentang kisah cinta Romeo dan Juliet di taman Eden, tetapi kita sedang berkisah tentang hasrat manusia yang tidak terkendali di Eden. Hasrat yang membuat manusia tidak dapat mengendalikan dirinya. Hasrat yang tidak terkendali inilah yang membuat manusia jatuh dalam dosa. Agustinus menyebut, bahwa sejak saat itu manusia telah memikul dosa warisan.
Kisah itu menyedihkan, karena kebebasan manusia dirampas oleh dosa. Dosa menguasai kita, sehingga kita telah menjadi budaknya. Tidak ada yang tersisa pada diri kita, seluruh kodrat kita rusak, kata Martin Luther. Kerusakan ini membutuhkan pemulihan dari yang suci. Yang Suci itu tidak ada diantara kita, tapi ada bersama dengan kita. Dia yang hari ini dibawa ke pembantaian seperti seekor binatang yang akan dibantai. “Dia dianiaya,  tetapi dia membiarkan diri ditindas dan tidak membuka mulutnya  seperti anak domba  yang dibawa ke pembantaian seperti induk domba yang kelu di depan orang-orang yang menggunting bulunya, ia tidak membuka mulutnya” (Yesaya 53:7). Dia yang suci mengantikan kita disalib.
Kisah kesengsaraan itu bermula di eden, dan berakhir di salib. Kisah itu sesunggunya belum berakhir, karena kita akan melihat kisah sengsara Yesus menyeberang memasuki gerbang kehidupan dan kematian. Yesus akan segera masuk dalam gerbang yang absurd, dan Kita akan segera memasuki kesunyian, “Yesus mati”. Tetapi dalam kesunyian itulah, dia sedang menyeberangi gerbang waktu, gerbang kematian, gerbang absurd. Tetapi di sanalah Yesus menyatakan dirinya sebagai Allah yang hidup. Jean Luc Marion menyatakan “Allah itu mahakuasa justru ketika Dia tidak ada, ketika Dia kalah, ketika Dia mati.

            Di manakah engkau? Pertanyaan ini mengawali pencarian Allah atas diri manusia yang telah menyadari dirinya dalam ketelanjangan (Kej 3:9-10). Di taman Eden kita menemukan kisah penderitaan manusia, atas pilihannya sendiri, di taman Getsemani, kita menemukan kisah penderitaan Anak manusia atas keinginan Bapanya. Kisah Eden dan Getsemani adalah kisah yang tidak terpisah satu dengan yang lainnya. Eden mengungkapkan ketelanjangan manusia, Getsemani mengungkapkan anak manusia yang ditelanjangi. Eden mengungkapkan tentang kejatuhan manusia dalam dosa, Getsemani mengungkapkan penebusan manusia dari dosa. Eden mengungkapkan kerja dengan peluh, Getsemani mengungkapkan peluh seperti tetes darah. Kisah eden subjeknya adalah manusia dan kisah Getsemani subjeknya adalah Allah.  
            Kisah ini bukan sekadar mengisahkan tentang dua taman, tetapi mengisahkan tentang belas kasihan Allah terhadap umatnya. Kisah Taman Eden adalah kisah pemberontakan manusia terhadap Allah, sedangkan kisah Getsemani adalah kisa pemulihan yang diberikan oleh Allah kepada manusia. Kita tidak sedang berkisah tentang kisah cinta Romeo dan Juliet di taman Eden, tetapi kita sedang berkisah tentang hasrat manusia yang tidak terkendali di Eden. Hasrat yang membuat manusia tidak dapat mengendalikan dirinya. Hasrat yang tidak terkendali inilah yang membuat manusia jatuh dalam dosa. Agustinus menyebut, bahwa sejak saat itu manusia telah memikul dosa warisan.
Kisah itu menyedihkan, karena kebebasan manusia dirampas oleh dosa. Dosa menguasai kita, sehingga kita telah menjadi budaknya. Tidak ada yang tersisa pada diri kita, seluruh kodrat kita rusak, kata Martin Luther. Kerusakan ini membutuhkan pemulihan dari yang suci. Yang Suci itu tidak ada diantara kita, tapi ada bersama dengan kita. Dia yang hari ini dibawa ke pembantaian seperti seekor binatang yang akan dibantai. “Dia dianiaya,  tetapi dia membiarkan diri ditindas dan tidak membuka mulutnya  seperti anak domba  yang dibawa ke pembantaian seperti induk domba yang kelu di depan orang-orang yang menggunting bulunya, ia tidak membuka mulutnya” (Yesaya 53:7). Dia yang suci mengantikan kita disalib.
Kisah kesengsaraan itu bermula di eden, dan berakhir di salib. Kisah itu sesunggunya belum berakhir, karena kita akan melihat kisah sengsara Yesus menyeberang memasuki gerbang kehidupan dan kematian. Yesus akan segera masuk dalam gerbang yang absurd, dan Kita akan segera memasuki kesunyian, “Yesus mati”. Tetapi dalam kesunyian itulah, dia sedang menyeberangi gerbang waktu, gerbang kematian, gerbang absurd. Tetapi di sanalah Yesus menyatakan dirinya sebagai Allah yang hidup. Jean Luc Marion menyatakan “Allah itu mahakuasa justru ketika Dia tidak ada, ketika Dia kalah, ketika Dia mati.
Kisah Eden telah berakhir dengan kisah via dolorosa oleh Yesus di Getsemani. Kisah Eden telah berakhir dengan kisah belas kasihan Allah atas umatnya (sola gracia). Kisah ini tentang kita yang telanjang di Eden dan menelanjangi yang suci di Getsemani. Dari Eden ke Getsemani adalah kisah sejarah umat manusia dalam ketidakberdayaannya. Jika hari ini ditengah pandemi virus corona, pertanyaan yang sama ditanyakan oleh Allah kepada kita, seperti pertanyaan kepada manusia di Eden, di manaka engkau? Apa jawab kita? Jawaban kita tentu akan berbeda! Karena refleksi kita terhadap salib adalah refleksi yang selalu hidup dan unik dalam diri setiap insan. Selamat berefleksi

Karl Marx dan keterasingan manusia

Pengantar
Tulisan ini tidak mungkin merangkum keseluruhan pemikiran Marx. Tulisan ini dibatasi dalam, bagaimana Marx memandang keterasingan manusia. Dengan memahami penyebab dari keterasingan manusia, maka setidaknya kita dapat memahami, bagaimana Marx melihat keterasingan manusia dalam konsep pertentangan kelas.
Memahami konsep berpikir Marx tidak mungkin dilakukan hanya dengan membaca pandangan Filosofisnya semata. Memahami konsep berpikir Marx tidak bisa dilepasakan dari konsep pemikir yang mempengaruhinya. Dengan demikian memahami konsep berpikirnya hanya dapat dilakukan dengan sedikit melihat akan pengaruh dari Feuerbach tentang teori agama sebagai proyeksi manusia dan konsep pemikiran Hegel tentang Roh semesta. Kedua pemikir ini tentu tidak dapat dilepaskan dari apa yang di kritik oleh Marx. Tetapi konsep pemikiran kedua tokoh tersebut tidak akan dijelaskan dalam tulisan ini.
Untuk lebih memahami tulisan ini secara sistematis, maka pertama, akan diuraikan tentang riwayat hidup Karl Marx-siapakah Karl Marx. Kedua, Agama sebagai tempat pengasingan manusia. Ketiga, keterasingan manusia dari pekerjaannya. Keempat, negara dan legitimasi keterasingan manusia. Kelima, keterasingan manusia dan kelas sosial. Keenam, basis dan bangunan atas. Ketujuh, kesimpulan dan refleksi.
Siapakah Karl Marx?
Karl Marx adalah seorang keturunan Yahudi dari keluarga rabi, yang lahir pada tahun 1818 di kota Trier di perbatasan Jerman Barat yang waktu itu masuk wilayah Prussia. Ayahnya adalah seorang pengacara Yahudi. Meskipun ayahnya dari keluarga rabi, tetapi kemudian ia berpindah agama ke protestan. Kepindahan ayahnya ke agama protestan, dilakukan karena pertimbangan praktis untuk menjadi seorang pegawai negeri, tepatnya notaris di Prussia yang memang berhaluan protestan. Ini terlihat, dengan tidak ikut sertanya ibu Karl Marx pindah ke agama protestan, pun pada akhirnya, tepatnya delapan tahun kemudian ibunya menyusul pindah ke agama protestan.
Bisa jadi bahwa kepindahan ayahnya ke protestan dengan begitu mudahnya adalah salah satu alasan Marx tidak meminati agama. Setelah tamat di Gymnasium di Trier, ayahnya menyuruh Marx untuk studi hukum. Tentu dengan alasan agar Marx mengikuti jejak ayahnya sebagai notaris. Dengan berat hati Marx mengikuti keinginan ayahnya yang sebenarnya bertentangan dengan keinginannya untuk menjadi penyair. Satu semester di Bonn, ia hanya menghabiskan uang kiriman ayahnya, dan pada akhirnya tanpa seizin ayahnya ia berpindah ke kota Berlin dan mulai belajar filsafat.
Ketika Marx sampai di Berlin, filsafat pada waktu itu sangat dipengaruhi oleh pandangan filsosofis Hegel yang baru meninggal beberapa tahun. Filsafat Hegel menjadi terkenal di Berlin yang menempatkan rasionalitas dan kebebasan sebagai nilai tertinggi. Dengan menempatkan rasionalitas dan kebebasan, maka filsafat Hegel sangat cocok untuk mengkritik kekolotan negara Prussia. Karena itu Marx yang tergabung dalam klub para Doktor disebut sebagai kelompok Hegelian muda. Hegelian muda "kiri" menjadi lawan bagi Hegelian kanan yang justru menganggap Hegel sebagai teolog protestan dan pendukung negara Prussia.
Tahun 1841 Marx kemudian dipromosikan menjadi doktor filsafat oleh universitas Jena, dengan sebuah disertasi tentang filsafat Demokritos dan Epikuros. Namun rencana karir akademisnya macet oleh situasi politik. Kemudian ia bekerja sebagai wartawan. Sebagai pengagum Hegel, dia melihat sebuah kontradiksi dalam masyarakat. Marx melihat kontradiksi yang sangat tajam, antara masyarakat rasional dan bebas seperti yang dipikirkan Hegel. Jawaban Marx dan kawan-kawannya adalah Hegel hanya merusmuskan pikiran, tetapi pikiran itu tidak menjadi kenyataan. Dengan demikian pekerjaan Marx adalah bagaimana menjadikan teori menjadi kenyataan. Pemikiran mesti menjadi unsur perubahan sosial, tetapi hal ini pun tidak kongkret dalam realitas, dan hal ini di praksiskan oleh Lenin.
1843 Marx menikah dengan Jenny von Westphalen putri seorang bangsawan. Dalam tahun ini dia menulis "Critique of Hegel's Philosophy of Right" serta tiga tulisan lainnya yakni Critique of Hegel's Philosophy of Right. Introduction dan On the Jewish Question. Tulisan ini mengalami perkembangan baru, di mana Marx telah membaca tulisan Feuerbach yang sangat mempengaruhinya. Kalau Feuerbach melihat filsafat Hegel sebagai sebuah keterasingan manusia dari dirinya sendiri dan ini terungkap dalam agama. Konsep ini diterima oleh Marx, tetapi kemudian Marx tidak melihat keterasingan dari agama sebagai yang primer, karena menurut dia keterasingan yang sesungguhnya adalah dari kehidupan sosialnya.
hidup Marx selalu mengalami kesulitan ekonomi, bahkan sering kekurangan makanan, sehingga anaknya pun meninggal karena kurang makan. Hidupnya ditopang oleh kiriman dari temannya Engels yang memiliki pabrik tekstil di Manchester. Marx punya kecenderungan otoriter, sehingga mereka yang tidak tunduk pada apa yang dia sampaikan akan diserang Marx dengan penghinaan termasuk menjelekkan nama pribadi. Mungkin ketidak mampuan membangun persahabatan inilah yang membuat kematiannya menjadi sepi, tahun 1883 penguburannya hanya dihadiri oleh delapan orang.  
Agama Tempat Pengasingan Manusia
"Agama adalah candu rakyat", ungkapan yang sangat terkenal yang pernah dilontarkan oleh Marx. Kalimat yang sering diartikan "seakan-akan Marx menuduh agama menyesatkan dan menipu rakyat". Di mana pernyataan ini sebenarnya ingin memberi respons terhadap apa yang dikatakan oleh Feuerbach tentang agama sebagai proyeksi manusia. Marx setuju dengan Feuerbach, tetapi menurut Marx, Feuerbach tidak tuntas dalam membicarakan itu. Feuerbach tidak bertanya, mengapa manusia melarikan diri kepada dunia khayalan (agama) dan bukan pada dunia nyata? Atau mengapa manusia memilih agama sebagai tempat pengasingan dirinya dari dunia yang nyata? Feuerbach tidak menjawab pertanyaan ini tetapi juga tidak dapat dikatakan Feuerbach buta terhadap pertanyaan ini. Ia sendiri menulis, seperti yang dikutib Magnis Suseno "penderitaan manusia adalah tempat kelahiran Allah". Meskipun demikian feuerbach tidak meneruskan logika dari gagasan tersebut.
Marx sendiri menjawab pertanyaan ini dengan kembali melihat pada kondisi kongkret masyarakat yang hidup pada zamannya. Jawaban itu mesti dicari dalam masyarakat. Apakah manusia telah menemukan eksistensinya dalam masyarakat atau tidak? Apakah struktur masyarakat telah memberi ruang kepada manusia untuk merealisasikan dirinya? Marx melihat, bahwa permasalahannya justru berada dalam masyarakat dan tidak terletak pada agama. "agama hanyalah tanda keterasingan manusia tetapi bukan dasarnya". Realitas kongkret, yang mengasingkan manusia, telah memaksa manusia melarikan diri, dan mencari tempat pengasingan lain. Pengasingan ini ditemukan oleh manusia dalam agama yang mengharapkan keselamatan surga. Agama sebagai tempat pengasingan baru bagi manusia yang diharapkan menjawab masalah secara praksis, celakanya justru meninabobokan masyarakat dengan konsep surgawi (agama adalah candu masyarakat).
Agama secara emansipatoris pun gagal memberi jawab terhadap persoalan kemiskinan yang dihadapi oleh masyarakat. Agama hanya bisa memberi jawab secara teoritis dalam konsep surga, tetapi ini tidak membebaskan dari kemiskinan yang kongkret. Meskipun demikian mengkritik agama juga menjadi percuma, karena tidak akan menjawab apa yang telah melahirkan agama tersebut. Marx berpendapat bahwa untuk menjawab persoalan keterasingan manusia ini, maka yang mesti di kritik adalah masyarakat. "kritik surga berubah menjadi kritik dunia, kritik agama menjadi kritik hukum, kritik teologi menjadi kritik politik". Kritik agama dalam pandangan Marx hanyalah pintu masuk untuk kritik masyarakat. Agama baginya bukanlah persolan utama, tetapi yang utama adalah realitas sosial.
Dengan demikian agama bukan penyebab utama keterasingan manusia dari kesosialannya, tetapi keterasingan manusia dari kesosialannya justru ditemukan oleh Marx dalam struktur masyarakat (kelas sosial). Letak persoalan sebenarnya di temukan oleh Marx dalam strutur kelas sosial dalam masyarakat. Di mana struktur kelas sosial ini telah mengasingkan manusia dari dirinya sendiri. Tidak salah jika kemudian kondisi ini membuat manusia mencari jalan yang dapat memberinya kelepasan dari keterasingannya. Bertens mengatakan bahwa " karena adanya kapitalisme, manusia seakan-akan diasingkan dari kodratnya sendiri. Ia mengalami alienasi (pengasingan). Karena sistem upahan, kaum buruh harus menjual tenaganya dan produk pekerjaannya diambil daripadanya."
Keterasingan Manusia dari Pekerjaan
Pekerjaaan menjadi hal mendasar dalam hidup manusia, karena melalui dunia kerja manusia menjadi kongkret. Manusia bahkan dapat dikatakan bekerja secara bebas dan universal. Tidak seperti binatang yang hanya bekerja berdasarkan naluri demi kebutuhan hidupnya. Manusia tidak terikat hanya oleh kebutuhan pribadinya, tetapi dia bebas melakukan diluar dari kebutuhan pribadinya. Seorang bisa saja melakukan sebuah pekerjaan yang tidak bersangkutpaut dengan kebutuhannya. Manusia menjadi universal dalam bekerja, karena bisa membuat sesuatu tidak hanya dari satu bahan, tetapi dari berbagai macam bahan. Tidak seperti burung yang hanya dapat membuat sarang dari rumput kering dengan satu bentuk yang telah permanen. Dengan demikian manusia dapat menunjukkan hakikatnya sebagai manusia bebas, universal, dan estetik lewat pekerjaan. Tidak seperti binatang (burung) yang tidak mempunyai nilai kebebasan dan estetik untuk memilih sarang seperti apa yang akan dibuat.
Pekerjaan membuat manusia dapat membuktikan bahwa dia adalah, mahluk sosial. Di mana dalam pekerjaan, kita tidak hanya menghasilkan sesuatu untuk pekerjaan kita, tetapi juga untuk orang lain dan sebaliknya. Kebutuhan kita, tidak dapat dipenuhi sendiri, tetapi kita membutuhkan hasil kerja orang lain untuk memenuhi kebutuhan kita. Kita menghargai pekerjaan orang lain dan sebaliknya orang lain menghargai pekerjaan kita. kita merasa terhormat oleh karena orang lain menghargai apa yang kita kerjakan. Sehingga kita benar-benar dapat merasakan kesosialan kita bersama dengan orang lain. Lebih jauh dari itu pekerjaan dapat menjadi jembatan sejarah, dalam konteks masa kini, dan masa lalu serta masa yang akan datang. Ada dimensi historis dalam pekerjaan. Apa yang kita alami sekarang ini adalah hasil kerja dari masa lalu, dan apa yang dilakukan sekarang akan memberi pengaruh di masa yang akan datang. Karena itu bagi kaum sosialis alam merupakan produk sejarah. Sejarah merupakan penciptaan manusia melalui hasi kerja yang telah dihasilkan.
Lalu apa yang membuat manusia terasing dari pekerjaannya? Ketika pekerjaan telah dilihat hanya dalam sistem kapitalis "orang tidak bekerja secara bebas dan universal, melainkan semata-mata terpaksa, sebagai syarat untuk bisa hidup. Jadi pekerjaan tidak mengembangkan, melainkan mengasingkan manusia, baik dari dirinya sendiri, maupun dari orang lain." sehingga keterasingan manusia dari pekerjaan mulai ketika sistem kapitalis memasuki dunia kerja. Sebelumnya manusia bebas untuk melakukan pekerjaan dengan kebebasan estetika yang mereka miliki, bukan berdasarkan kebutuhan/keinginan pasar. Manusia awalnya bekerja tidak sebagai budak kerja, karena dia menikmati pekerjaan yang dilakukannya secara bebas. Tetapi sistem kapitalis telah merampas kebebasan itu dan menjadikan manusia sebagai pekerja yang bekerja untuk kepentingan kaum kapitalis. Hasil kerjanya bukanlah miliknya tetapi milik pabrik di mana ia bekerja. Sehingga hasil kerjanya tidak lagi sebagai sebuah kebanggan tersendiri.
Manusia terasing dari dirinya sendiri, akibat dari sebuah sistem kapitalis yang telah membuat manusia bekerja agar tidak kelaparan. Bukan bekerja karena pekerjaan adalah kebutuhan dari si pekerja. Magnis Suseno menyebut tiga hal keterasingan manusia dari pekerjaannya: Pertama, hasil pekerjaan mestinya menjadi kebanggan tersendiri bagi para pekerja, tetapi naas bahwa pekerja justru tidak merasakan itu tetapi sebaliknya pekerja terasing dari produk yang dihasilkannya. Hasil kerjanya bukan miliknya tetapi menjadi milik pabrik. Semakin pekerja menghasilkan, semakin ia merasakan keterasingan pada batinnya. Kedua, tindakan bekerja tidak lagi punya makna dalam hidup pekerja, karena hasil pekerjaan telah terasing dari dirinya sendiri. Pekerjaan menjadi sesuatu yang terpaksa dilakukan karena, tidak lagi dilakukan secara bebas. Sehingga kebebasan itu ada ketika dia tidak bekerja, tetapi ketika dia bekerja, ia berada diluar dirinya sendiri. Ia tidak lagi bekerja berdasarkan apa yang di hasratinya, tetapi berdasarkan keinginan pabrik. Ini dilakukan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya semata. Ketiga, manusia telah memperalat dirinya sendiri, untuk memaksakan diri mengerjakan apa keinginan pabrik demi untuk memperoleh nafkah. Pekerjaan tidak lagi sarana pengembangan diri, tetapi justru menjadikan manusia memiskinkan dirinya. Manusia dalam hal ini pekerja, tidak ada bedanya dengan binatang, yang melakukan pekerjaannya tidak lagi universal dan estetik dalam kebebasannya tetapi berdasarkan perintah. Ia hanya bekerja untuk dapat memperpanjang umurnya, seperti binatang yang bekerja untuk memperpanjang hidupnya.
Selanjutnya, oleh pabrik kerja telah diefesiensikan dan di organisasiakan secara rasional. spesialisasi ini telah mengubah hidup manusia tergantung kepada yang lainnya. "spesialisasi ini baik, tetapi juga berbahaya, karena spesialisasi merupakan suatu jalan ke alienasi. Kalau manusia hanya memperkembangkan beberapa dari kemampuannya, ia menjadi tergantung dari orang lain". Sehingga spesialisasi secara langsung telah menunjuk pada perbedaan-perbedaan antara kaya dan miskin, antara pekerja dan tuan. Dapat dikatakan bahwa spesialisasi menjadi reduksi yang berbahaya, di mana manusia telah kehilangan otonominya dan telah terasing dari dunianya sendiri.
Negara dan Legitimasi Keterasingan Manusia
Negara untuk kepentingan siapa? Pertanyaan ini akan dengan mudah dijawab oleh Marx bahwa negara ada untuk melindungi kepentingan kelas atas, untuk mengamankan kekuasaan mereka. Negara tidak akan mungkin menjadi wasit netral yang akan memperdamaikan perselisihan kelas pekerja dan kelas atas. Negara akan selalu berpihak pada kelas atas, dan sebaliknya kelas atas akan mendukung apa yang dilakukan oleh negara. Sehingga keterasinga akan semakin nampak kelihatan dengan hadirnya negara sebagai wasit yang selalu berpihak pada kelompok kelas atas. Kegiatan-kegiatan sosial negara dicurigai oleh Marx, hanya sebagai sebuah tindakan untuk mengalihkan perhatian pekerja dari tuntutan yang lebih fundamental. Dengan kata lain tindakan sosial hanya tindakan untuk mengelabui kelas pekerja. Dengan demikian negara tidak dapat diharapakan sebagai agen perubahan bagi kelas pekerja untuk memperjuangkan hak mereka.
Negara dapat dikatakan lawan dari kelas pekerja yang memperjuangkan hak mereka. Negara hanyalah alat legitimasi pembenaran terhadap apa yang dilakukan oleh kelas atas. Sehingga perubahan hanya mungkin terjadi melalui jalan revolusi. Tidak mungkin mengharapkan perubahan sebagai hadiah pemberian dari kelas atas atau pun negara. Sekalipun negara itu disebut negara hukum, tetapi itu bukan jaminan kelepasan dari ketertindasan kaum proletariat. Kaum proletariat tidak akan mempunyai akses terhadap hukum. Sehingga hukum, hanyalah ritual kelas atas dalam rangka menciptakan "kedamaian semu". Sehingga seorang pencuri sandal jepit, akan lebih mudah untuk masuk penjara, daripada seorang koruptor yang mencuri trilliunan rupiah uang rakyat. Karena itu keadilan tidak boleh disandarkan pada negara atau pada hukum yang ada. Satu-satunya cara untuk lepas dari ketertindasan kaum proletar adalah revolusi (revolusi merupakan jalan menuju penghilangan kelas-kelas).
Keterasingan Manusia dan Kelas Sosial
Memahami keterasingan manusia, tentu tidak dapat melupakan kelas sosial yang membentuknya. Dalam panndangan Marx sendiri, sebenarnya ada tiga kelas, yakni (1). Kelas buruh (mereka hidup dari upah) (2). Kelas pemilik modal (hidup dari laba) (3). Kelas para tuan tanah (hidup dari rente tanah). Tetapi dalam analisis keterasingan sosial tuan tanah tidak dibicarakan secara spesifik, di mana pada akhirnya, tuan tanah akan masuk dalam kelas pemilik modal.
Dua kelas sosial dalam sistem kapitalis saling berhadapan, yakni kelas buruh dan kelas pemilik modal. Kelas buruh adalah kelas yang terasing oleh sistem yang dibuat oleh kelas pemilik modal. Kelas pemilik modal memiliki alat-alat kerja, pabrik, mesin dan sebagian dari mereka adalah pemilik tanah (jika mereka adalah tuan tanah). Kelas buruh sebagai kelas yang terasing, hanya menjual tenaga mereka. Sehingga tenaga mereka telah dibeli oleh para pemilik modal, jika para buruh bekerja untuk keuntungan pabrik. Tetapi jika buruh bekerja tidak menguntungkan pabrik, maka tenaga mereka tidak akan dibeli. Kelas buruh, telah menjadi kelas yang benar-benar terasing dari eksistensinya. Karena hidup mereka telah ditentukan oleh produksi, tidak di tentukan oleh diri mereka sendiri. Pekerja bisa membelih tenaga mereka, jika mereka bekerja berdasarkan keuntungan kelas pemilik modal, sebaliknya tenaga mereka akan dibuang, jika pekerjaan mereka tidak menguntungkan kelas pemilik modal.
Secara hakiki kelas atas telah menjadi kelas penindas, bagi kaum buruh. Hubungan antara kelas pemilik modal dan kelas pekerja adalah hubungan kekuasaan. Kelas atas dapat dikatakan telah menghilangkan eksistensi manusia pada diri kelas pekerja. Karena hasil kerja kaum pekerja telah dibeli dengan uang oleh pemilik modal, sehingga semua hasil kerja itu tidak lagi menjadi milik para pekerja. Pemilik modal telah membuat kelas pekerja menjadi terasing dari dirinya sendiri. Keterasingan ini telah membuat manusia akan mencari pelarian baru di mana mereka dapat menemukan eksistensinya ebagai seorang manusia. pelarian ini didapatkan pada agama, tetapi agamapun tidak mampu memberi jawab terhadap persoalan-persoalan kaum pekerja. Karena menurut Marx agama hanya bicara tentang konsep surga yang justru meninabobokkan masyarakat pekerja. Ini kemudian disebut oleh Marx "agama adalah candu rakyat".
Analisis kelas ini telah membuat pemetaan yang sangat jelas, antara mereka yang tertindas, yang diwakili olah para buruh, dan mereka yang menindas yang diwakili oleh para pemilik modal. Kelas sosial ini telah memperlihatkan kesenjangan sosial yang sangat lebar antara pemilik modal dan para kelas pekerja. Kesenjangan sosial ini juga telah memperlihatkan keterasingan manusia. Memperlihatkan siapa yang telah mengasingkan manusia dan siapa yang diasingkan dari eksistensinya.
Teori Struktur Kelas Sosial: Basis, dan Bangunan atas
Marx dalam analisisnya memahami masyarakat dalam dua struktur sosial, yakni: basis dan bangunan atas. Basis ditentukan oleh dua faktor yaitu: tenaga-tenaga produktif (produktivkrafte) dan hubungan-hubungan produksi. Tenaga produktif merupakan kekuatan yang digunakan untuk mengubah alam. Di dalamnya ada tiga unsur penting yakni (1). Alat-alat kerja (2). Manusia dan kecakapan kerjanya (3). Pengalaman-pengalaman dalam produksi (teknologi). Sedangan hubungan produksi (produktionsverhalt) adalah hubungan kelas, tepatnya struktur kelas yang jelas dan terperinci. Ciri dari basis adalah pertentangan kelas atas dan bawah. Sedangkan bangunan atas adalah: tatanan institusional dan tatanan kesadaran kolektif. Tatanan institusional merupakan institusi yang mengatur hidup bersama diluar bidang produksi. Misalnya sistem pendidikan, kesehatan, lalulintas, hukum dan negara. Sedangkan kesadaran kolektif adalah: sistem kepercayaan, norma moral dan etika. Di dalamnya termasuk agama, filsafat, moralitas masyarakat, nilai budaya seni dll.
Dua struktur sosial ini, basis dan bangunan atas menjadi kerangka pikir Marx untuk memudahkan kita memahami konsep berpikirnya. Lewat kerangka berpikir ini Marx memahami, bahwa perubahan sosial hanya dapat ditentukan oleh basis seperti yang disampaikan oleh Lili Tjahjadi "maka apabila "basis" berubah, maka "bangunan atas", di mana agama berada, pun akan berubah. Bukan sebaliknya: "bangunan atas" (agama) mengubah "basis" (hubungan-hubungan produksi)." Dapat dikatakan bahwa bangunan atas hanyalah efek perubahan ketika basis berubah. Perubahan sosial mesti dimulai dari basis bukan dari bangunan atas. Basis adalah tempat terjadinya pertentangan sosial, di mana jika pertentangan sosial ini mencapai puncaknya, maka akan terjadi revolusi sosial. Konsep ini juga tentu menjadi masalah, jika perubahan sosial hanya dilihat sebagai sebuah pertengan kelas. Di mana agama, moral dan etika serta nilai-nilai lainnya tidak lagi mempunyai peran dalam perubahan sosial.
Pertanyaan Marx memang telah terjawab dalam analisis kelas sosial, ketika dia menanyakan penyebab manusia melarikan diri pada dunia khayalan (agama). Jawaban itu sangat jelas dipahaminya, bahwa penyebab itu adalah karena manusia tidak lagi menemukan eksistensinya pada dunia real. Manusia hanya menjadi budak dan tidak lagi merdeka sebagai kelompok pekerja. Keterasingan ini telah ditemukan pada hal yang kongkret bukan pada khayalan/agama. Karena itu perubahan sosial akan berdampak pada bangunan atas, tanpa perubahan pada basis, maka tidak mungkin ada perubahan sosial secara kongkret. Titik perubahan, agar manusia tidak lagi terasing dari eksistensinya pada kelas sosial. Meskipun oleh Marx, analisisnya tidak sampai pada tindakan real seperti yang dibuat oleh Lenin.
Kesimpulan dan Refleksi
Memahami keterasingan manusia dalam konsep Marx, maka kita mesti memahami teori yang digunakan. Kita dapat terjebak melihat hal yang ada dipermukaan, jika kita tidak sungguh-sungguh memahami konsep marx tentang penyebab keterasingan manusia. Misalnya ketika Marx bicara tentang "agama adalah candu rakyat", kita bisa terjebak dan mengatakan persoalan keterasingan manusia ada pada agama. Tetapi analisis Marx melihat sesuatu yang lain, di mana justru persoalan yang sebenarnya ada pada "basis", ada pada hubungan kelas sosial. Meskipun demikian tidak dapat dipungkiri bahwa, ketika manusia lari kepada agama, agama tidak menjawab persoalan kongkret dari kelas pekerja, tetapi seolah-olah justru memberi legitimasi terhadap apa yang dibuat oleh kelas pemilik modal. Kririk Marx terhadap agama adalah kritik sosial, dan bukan pada persoalan esensi yang ada pada agama itu sendiri. Hidup agama mesti terkait dengan persoalan sosial, sehingga agama mampu menjawab persoalan kongkret pada manusia dan bukan hanya menawarkan konsep surgawi.
Tetapi Marx tetap meyakini, bahwa persoalan perubahan hanya dapat dilakukan dengan melihat persoalan yang sebenarnya, dan persoalan itu jelas ada pada basis. Sehingga perubahan hanya bisa terjadi jika itu dimulai dari basis. Bangunan atas, dipandang tidak mempunyai tempat dalam konsep perubahan Marx. Karena bangunan atas hanyalah efek dari perubahan yang sedang terjadi. Konsep ini perlu dipertanyakan ulang kepada Marx. Apakah bangunan atas tidak punya tempat dalam perubahan sosial (khususnya agama)? Karena agama, dalam sejarah hidup manusia, telah menjadi agen of change. Ketika bangsa Israel keluar dari penindasan di Mesir, ketika Yesus selalu berpihak pada orang-orang tertindas, atau ketika teologi pembebasan memaklumkan perjuangan sebagai "the prefential option for the poor". Sehingga perubahan sosial dengan melakukan revolusi yang akan menghilangkan masyarakat tanpa kelas, tidak hanya bisa terjadi pada basis, tetapi bisa juga dilakukan melalui bangunan atas.
Melepaskan manusia dari keterasingannya, dan menjadikannya manusia bebas, tidak sepenuhnya dapat dijawab melalui jalan revolusi. Karena jalan revolusi sering justru hanya mengganti kelas baru, tetapi tidak menjawab persoalan kongkret yang sebenarnya. Karena itu perjuangan Marx melalui jalan revolusi tidak seluruhnya benar. Keterasingan manusia tidak hanya bisa dijawab oleh revolusi sosial, tetapi mesti melibatkan kesadaran kolektif agar manusia melalukan perubahan dengan nilai-nilai tertentu. Tidak hanya memperjuangkan ketertindasan mereka dari kelas atas, tetapi benar-benar memahami kelepasan dari penindasan dalam konsep nilai yang benar, sehingga tidak lagi memunculkan kelas baru yang menindas.


Catatan, Artikel ini sudah pernah saya publish di akun lama saya di kompasiana pada 1 Oktober 2013.  Saya publish kembali di blog ini.




Daftar Pustaka :
1.Bertens, Kees. Ringkasan Sejarah Filsafat. Yogyakarta: Kanisius, 1976
2.Hamersma, Harry. Tokoh-Tokoh Filsafat Barat Modern. Jakarta: Gramedia pustaka utama, 1986
3.Suseno, Franz Magnis. Pemikiran Karl Marx, dari sosialisme utopis ke perselisihan revisionisme. Jakarta: Gramedia pustaka utama, 2010
4.Suseno, Franz Magnis. menalar tuhan. Yogyakarta: Kanisius, 2010
5.Tjahjadi, Lili. Karl Marx dan Masalah Opium, Makalah S2 STF Driyarkara (disampaikan dalam kuliah matrikulasi)2013.



Franz Magnis Suseno, menalar tuhan, Kanisius, Yogyakarta 2010: hlm 72
Franz Magnis Suseno, Pemikiran Karl Marx,dari sosialisme utopis ke perselisihan revisionisme,Gramedia pustaka utama, Jakarta: Hlm 72
Ibid Hlm 73
Ibid Hlm 74
Kees Bertens , Ringkasan Sejarah Filsafat, Yogyakarta, Kanisius 1976 Hlm 79
Franz Magnis Suseno, Pemikiran Karl Marx,dari sosialisme utopis ke perselisihan revisionisme,Gramedia pustaka utama, Jakarta:Hlm 95
Harry Hamersma, Tokoh-tokoh filsafat barat modern, Gramedia,Jakarta 1986: Hlm 71
Lili Tjahjadi, Makalah S2 STF Driyarkara, disampaikan dalam kulia matrikulasi 2013:Hlm 6

Wednesday 1 July 2020

Melampaui Yang Estetis dan Etis: Tafsir Soren Kierkegaard Terhadap Kisah Abraham Mengorbankan Ishak


Kisah Abraham mempersembahkan Ishak adalah kisah yang sangat menarik. Kisah ini memperhadapkan pembaca pada persoalan etika universal versus partikular.  Etika adalah sesuatu yang universal, dan universal itu berlaku u semua orang. Seorang manusia bahkan dimungkinkan menunda atau mengesampingkan suatu nilai etika yang bersifat pribadi demi keutamaan etika yang bersifat universal. Tetapi dalam peristiwa Abraham mempersembahkan Ishak, justru melakukan hal yang sebaliknya. Abraham memilih melakukan penundaan teleologis atas yang etis, atau memilih untuk mengesampingkan nilai etika yang bersifat universal dan masuk dalam penghayatan iman yang lebih individual (ciri filsafat eksistensialis).
“Iman dalam pandangan kierkegaard, menyangkut penghayatan individu seorang manusia (bukan massa) berhadapan dengan yang tak terbatas (yang Ilahi).” Bagi kierkegaard dengan semakin irasionalnya iman kepada Allah, maka iman religius semakin personal dan autentik, karena hal itu tak memiliki dukungan alasan–alasan objektif. Pada titik ini kebenaran akan dipahami secara subjektif. Kisah Abraham adalah kisah yang tidak dapat dipahami secara etis, tetapi melampaui yang etis. Godaan abraham untuk mencegah dia melakukan kehendak Tuhan bukan datang dari orang lain, tetapi godaan etis. Bagaimana mungkin seorang ayah tega menghabisi anak satu satunya yang sangat dicintai.
Otentisitas Abraham justru terlihat dari kemampuan dia melompati yang etis, dan masuk dalam wilayah religius. Pertimbangan baik dan buruk dalam wilayah etis, nampaknya tidak lagi memadai bagi Abraham. Pertimbangan rasional, juga  tidak lagi dijadikan satu satunya ukuran (kritik terhadap rasionalism). Tetapi yang menjadi fondasi utama kepastian dan kebenaran adalah relasi dengan yang Ilahi. Pertimbangan relasi dengan Allah adalah fondasi utama dalam mengambil keputusan pengorbanan Ishak. Pada wilayah religius orang tidak lagi bicara tentang perbuatan baik untuk dapat masuk surga. Wilayah religius tidak lagi dikaitkan dengan soal etis, tetapi kekristenan menyebutnya hanya semata mata karena anugerah.  
Pada wilayah religius inilah Abraham melompat, sehingga perintah Allah untuk mengorbankan Ishak bukan lagi dalam wilayah estetis (wilayah estetis sebagai wilayah kenikmatan/kesusahan) dan etis (wilayah baik dan buruk). Abraham telah memutuskan tindakannya berdasarkan subjektivitasnya, tetapi tidak berarti dia menentukan kebenarannya sendiri. Abraham melakukan atas dasar hubungan yang sangat personal dengan Tuhan. Tindakan Abraham adalah tindakan yang menunjukkan otentisitasnya sebagai manusia, yang dapat melihat kebenaran tanpa terikat pada wilayah estetis dan etis (wilayah estetis, etis dan religius akan saya bahas kemudian). Yang penting bagi Kierkegaard adalah sikap seseorang terhadap apa yang diyakininya sebagai kebenaran, dan bukan apakah kebenaran yang diyakininya itu sungguh-sungguh benar.
Kisah Abraham telah memperlihatkan subjektivitasnya untuk meyakini apa yang dia percayai. Tidak heran jika kemudian Kierkegaard menjuluki Abraham sebagai Bapa orang beriman. Kierkegaard menyebut bahwa tokoh iman seperti Abraham selalu ada di segala zaman, akan tetapi mereka tersembunyi, tidak ada ciri lahiriah yg bisa menjadi penanda. Mereka tidak seperti kaum farisi yang selalu memperlihatkan kesalehan, kebaikan sebagai ekspresi keber-imanan mereka.

Teodise (Pembenaran Tuhan): Dialog dengan Leibniz di Masa Pandemi Covid-1

Pertanyaan tentang realitas kejahatan di dunia bukanlah pertanyaan yang baru muncul di dunia post modern. Pertanyaan ini pertama kali ditany...