Monday 17 January 2022

 

Dasar Ontologis Pancasila

 

 

Tetapi secara esensial Pancasila telah berada dalam ranah mendalam

jiwa hati manusia-manusia Indonesia yang kaya akan tradisi luhur jauh sebelum itu.

Pancasila adalah identitas filosofis–kultural jiwa bangsa.

(Armada Riyanto, Berfilsafat Politik, 134)

 

 

 

            Di kampung saya mereka yang masih berada dalam aliran kepercayaan (aluk todolo), masih melakukan ritual penyembahan kepada yang ilahi. Mereka tidak mempunyai kuil sebagai tempat khusus untuk pelaksanaan ritual, karena kosmos bagi mereka adalah simbol kehadiran yang ilahi. Saya ingin menunjukkan bahwa Pancasila sebagai nilai, telah ada dalam jiwa hati nurani bangsa Indonesia. Berketuhanan yang berkebudayaan telah dipahami sejak dulu oleh orang-orang yang ada di nusantara. Artinya, Pancasila telah lama dihidupi dalam keseharian masyarakat sebelum ada yang bernama Indonesia. Sayangnya, Pancasila hari ini hanya dipandang sebagai ideologi, bahkan sebagian orang menyebutnya sebagai hasil kompromi dari berbagai pertarungan ideologi yang muncul. Ada tiga kelompok besar yang sering kali menjadi rujukan dari munculnya Pancasila yakni kelompok Nasionalisme, Islamisme, dan Marxisme.

Pertanyaan serius adalah, apakah pancasila memang lahir dari hasil kompromi berbagai ideologi? Melihat manusia Indonesia yang hidup dalam keanekaragaman budaya, rasanya terlalu sederhana untuk menyatakan bahwa pancasila adalah kompromi dari berbagai ideologi. Secara mendalam dapat dikatakan bahwa pancasila adalah sebuah refleksi filosofis yang telah melahirkan identitas yang mewakili semua golongan, suku dan ras.

Tulisan ini akan mengurai Pancasila sebagai sebuah penemuan luar biasa yang mampu memersatukan bukan hanya ideologi, tetapi berbagai perbedaan yang ada di nusantara. Artinya pancasila tidak hanya sekadar ideologi, tetapi melampaui, karena dia lahir dari tradisi yang telah ada. Pancasila tidak lahir dari apa yang tidak ada, tetapi apa yang telah dihidupi oleh masyarakat yang ada di nusantara.   

 

Lahir dari Pencarian yang Dalam

            Pancasila lahir dari sebuah pencarian yang dalam, yang tidak hanya mewakili golongan tertentu, tetapi mewakili seluruh bangsa. Soekarno secara tegas menyatakan bahwa pencarian ini sangat dalam.

           

Jadi. Saya menggali itu dalam sekali, sampai ke saf pra-Hindu. Datang saf zaman Hindu, yang di dalam bidang politik berupa negara Taruma, negara Kalingga, negara Mataram kesatu, negaranya Sanjaya, negara Empu Sendok, negara Kutai, berupa Sriwijaya dan lain sebagainya. Datang saf lagi, saf zaman kita mengenal agama Islam, yang di dalam bidang politik berupa negara Demak Bintoro, negara Pajang, negara Mataram kedua, dan seterusnya. Datang saf lagi, saf yang kita kontak dengan Eropa, yaitu saf imperialis. Saya lantas gogo (gogo itu seperti mencari ikan, di lobang kepiting) sedalam-dalamnya sampai menembus zaman imperialis, menembus zaman Islam, menembus zaman Hindu, masuk ke dalam zaman pra-Hindu.[1]

 

            Pencarian yang dalam membuat Pancasila dapat mewakili semua golongan di nusantara. Pencarian yang dalam ini tidak melahirkan sebuah identitas primordial yang hanya mewakili kelompok mayoritas secara agama atau suku, tetapi pencarian yang dalam telah melahirkan sebuah konsep filosofis yang menjadi identitas bersama. Pancasila sebagai identitas masyarakat Indonesia datang dari apa yang telah dihidupi dalam kearifan lokal masyarakat. Pancasila tidak lahir dari apa yang tidak ada, tetapi lahir dari apa yang telah ada dalam keseharian masyarakat nusantara. Soekarno menyebut bahwa:

 

            Kalau kita mau masukkan elemen-elemen yang tidak ada dalam jiwa Indonesia tak mungkin dijadikan dasar untuk duduk di atasnya. Misalnya, kalau kita ambil elemen-elemen dari alam pikiran Eropa atau alam pikiran Afrika, itu adalah elemen asing bagi kita yang tidak in concordantie dengan jiwa kita sendiri. Tak akan bisa menjadi dasar yang sehat, apalagi dasar yang harus mempersatukan.[2]

 

Soekarno memerjelas bahwa dasar yang sehat hanya terdapat dalam jiwa bangsa Indonesia sendiri, bukan dari alam berpikir yang asing bagi bangsa. Pancasila berasal dari alam berpikir bangsa Indonesia, karena itu Pancasila tidak asing dan menjadi dasar yang sehat. Pancasila lahir dari budaya bangsa dari kearifan-kearifan lokal yang ada di nusantara.

 

Demikian pula secara kultural dasar-dasar pemikiran dan orientasi Pancasila pada hakikatnya bertumpu pada budaya bangsa. Nilai-nilai Pancasila pada dasarnya terdapat secara fragmentaris dan sporadis dalam kebudayaan bangsa yang tersebar di seluruh Kepulauan Nusantara, baik pada abad-abad sebelumnya, maupun pada abad kedua puluh, di mana masyarakat Indonesia telah mendapatkan kesempatan untuk berkomunikasi dan berakulturasi dengan kebudayaan lain. oleh karena itu Pancasila mencerminkan nilai-nilai budaya, baik tradisional maupun modern.[3]

 

Pandangan ini memberi pengakuan terhadap nilai-nilai Pancasila yang telah ada dalam hidup keseharian masyarakat. Nilai-nilai yang tersebar dalam budaya lokal masyarakat menjadi dasar untuk membentuk konsep yang disebut Pancasila. Nilai-nilai tersebut kemudian dirumuskan dalam lima konsep yakni:

 

Ketuhanan, Kebangsaaan, Perikemanusiaan, Kedaulatan Rakyat, Keadilan Sosial, saya lantas berkata: kalau ini saya pakai sebagai dasar statis dan Leitstar dinamis, insyaallah, seluruh rakyat Indonesia bisa menerima, dan di atas dasar meja statis dan Leitstar dinamis itu rakyat Indonesia seluruhnya bisa bersatu padu.[4]

 

            Kelima sila di atas, telah ada dalam masyarakat nusantara sebelumnya. Kelima sila menjadi fondasi dan tujuan hidup bangsa Indonesia, yang disebut oleh Soekarno dalam satu sila yakni gotong royong. “Jikalau saya peras yang lima menjadi tiga, dan yang tiga menjadi satu, maka dapatlah saya satu perkataan Indonesia yang tulen, yaitu perkataan ‘gotong royong’.”[5] Sila-sila ini statis sekaligus dinamis. Statis karena dia menjadi fondasi yang tidak boleh berubah, dan dinamis karena dia menjadi tujuan untuk mencapai Indonesia yang lebih beradab. “Pancasila adalah dasar statis yang mempersatukan sekaligus bintang penuntun (leitstar) yang dinamis, yang mengarahkan bangsa dalam mencapai tujuannya.”[6] Sila ketuhanan yang berkebudayaan misalnya, telah lama dimaknai oleh masyarakat tradisional dalam relasi dengan yang ilahi. Soekarno menyebut dalam pidato 1 Juni 1945 bahwa:

 

Bukan saja bangsa Indonesia ber-Tuhan, tetapi masing-masing orang Indonesia hendaknya ber-Tuhan. Tuhannya sendiri. Yang Kristen menyembah Tuhan menurut petunjuk Isa al Masih, yang belum ber-Tuhan menurut petunjuk Nabi Muhammad saw, orang Buddha menjalankan ibadatnya menurut kitab-kitab yang ada padanya. Tetapi marilah kita semuanya ber-Tuhan. Hendaknya Negara Indonesia ialah negara yang tiap-tiap orangnya dapat menyembah Tuhannya dengan cara yang leluasa. Segenap rakyat hendaknya ber-Tuhan secara kebudayaan, yakni dengan tiada “egoisme-agama”.[7]

 

            Setiap orang ber-Tuhan berdasarkan kepercayaannya, dan membangun relasi dengan Tuhannya dengan cara mereka masing-masing. Yudi Latif menyebut bahwa: “Yang ditekankan di sini bukan tuhannya apa-karena itu urusan keyakinan agama masing-masing, melainkan “ketuhanannya”, yakni sikap “menuhan”; berproses meniru, mendekati, dan menjiwai sifat cinta kasih Tuhan.”[8] Sila ketuhanan tidak seperti yang telah ditafsirkan secara keliru oleh orde baru dengan memberi pengakuan terhadap lima agama, dan tidak memberi ruang pada aliran-aliran kepercayaan. Penafsiran tersebut telah meruntuhkan fondasi nilai dari Pancasila. Runtuhnya fondasi nilai, adalah rapuhnya masyarakat. Masyarakat tidak mungkin dipaksakan untuk hidup dalam nilai palsu yang tidak merefleksikan hidup mereka.

            Pancasila sebagai nilai yang dihidupi oleh masyarakatnya tidak mungkin untuk diberi tafsir baru berdasarkan kepentingan politik. Menafsirnya berdasarkan kepentingan politik, akan membuatnya menjadi rapuh. Kerapuhan nilai sama dengan kerapuhan masyarakat, bangsa dan negara. Pancasila menjadi hidup ketika setiap manusia mampu menunjukkan identitasnya, bukan dipaksa dalam keseragaman. Seragam cara berpikirnya, seragam budayanya, dll. Perbedaan yang ada justru menunjukkan fondasi nilai Pancasila yang sejati. Pancasila tidak lahir dari sebuah kesamaan agama, budaya atau ideologi, tetapi lahir dari perbedaan. Perbedaan yang ada justru telah melahirkan identitas sebuah bangsa dengan memfondasikan diri pada Pancasila. Keunikan Pancasila justru terletak pada sikap untuk memberi ruang terhadap perbedaan yang ada. Mengapa? Karena Pancasila lahir dari ruang yang penuh dengan kepelbagaian.

            Bisa dikatakan bahwa yang tidak memberi ruang terhadap perbedaan, adalah mereka yang tidak memahami nilai-nilai Pancasila. Pertanyaannya adalah, apakah ruang perbedaan ini berlaku bagi para kelompok yang menebar teror? Ruang perbedaan yang ada, adalah ruang yang masih menjadikan kemanusiaan sebagai nilai tertinggi. Seperti diungkapkan Soekarno ketika mengafirmasi apa yang dikatakan Gandi bahwa, saya seorang nasionalis, tetapi nasionalisme saya adalah perikemanusiaan (my nationalism is humanity). Kelompok-kelompok radikal yang menebar teror dengan demikian tidak bisa diberi ruang untuk hidup di negara Pancasila. Kelompok-kelompok radikal tidak sesuai dengan roh Pancasila yang menerima perbedaan. Pancasila yang lahir dari nilai-nilai gotong royong, tentu menolak tindakan radikal yang mengancam keutuhan bangsa.

 

 

Pancasila bukan Kompromi Ideologi

Apakah pancasila adalah kompromi ideologi? Pancasila sebagai jiwa bangsa yang lahir dari nilai-nilai kearifan lokal, tidak tepat disebut sebagai kompromi dari berbagai ideologi. Tidak tepat, karena Pancasila lahir dari nilai-nilai yang telah dihidupi oleh masyarakat nusantara. 

 

Dalam arti ini, Pancasila tidak pernah merupakan produk kompromi kelompok-kelompok apa pun. Dalam makna sebagaimana dimaksudkan oleh pencetusnya, Pancasila bukan pertama-tama sebuah ideologi (semacam “agama” negara) melainkan identitas dan fondasi ontologis-eksistensial bangsa. Pergumulan pencarian Soekarno sepenuhnya terarah kepada konsep filosofis tradisi luhur yang menyatukan dan memerdekakan.[9]

 

Pancasila sebagai fondasi ontologis-eksistensial melekat dalam diri bangsa Indonesia. Pancasila tidak hanya sekadar konsep, tetapi telah dihidupi oleh masyarakat dalam budaya mereka masing-masing. Pancasila tidak dilahirkan untuk mengakomodir golongan-golongan tertentu, tetapi Pancasila ada untuk semua golongan tanpa sekat. Jika Pancasila hanya hadir untuk mengakomodir perbedaan ideologi dari golongan/kelompok tertentu, Pancasila menjadi rapuh. Rapuh karena dia lahir bukan dari pergulatan batin atas nilai-nilai yang ada, tetapi lebih untuk memuaskan kepentingan kelompok tertentu.

Pancasila bukan ideologi yang diimpor dari luar atau datang dari langit, tetapi dari nilai-nilai yang telah ada dalam masyarakat. Pancasila tidak terhisap oleh satu ideologi tertentu, karena Pancasila adalah roh yang telah hidup dalam keseharian masyarakat sebelum Indonesia ada.

           

Menurut Soekarno, kekacauan akan terjadi bila bangsa ini memeluk secara buta ideologi-ideologi “importiran”. Karena itu, ia menyebut Pancasila bukan individualisme. Bukan komunisme. Bukan fasisme. Bukan pula Islamisme atau Kristianisme atau segala “isme” yang berkaitan dengan ideologi/agama apa pun.[10]

 

            Negara ini mungkin telah lama hancur sekiranya dibangun atas dasar ideologi tertentu. Ideologi yang tidak dihidupi oleh masyarakat akan menjadi rapuh. Rapuh karena ideologi tersebut bisa mengkonstruksi identitas manusia yang hidup dalam nilai-nilai tertentu. Pancasila tidak lagi mengkonstruksi manusia Indonesia menurut ideologi Pancasila. Karena orang-orang Indonesia yang hidup dalam ideologi Pancasila menghidupi Pancasila sejak dulu. Ini yang disebut oleh Soekarno sebagai jiwa bangsa. “Dan, ‘jiwa’ inilah yang dia gali dari dalam diri bangsa Indonesia itu sendiri, Kristalisasi ‘jiwa’ ini ialah sila–sila dalam Pancasila. Tanpa Pancasila, Indonesia pasti menjadi bangsa yang tak punya ‘jiwa’.”[11]

            Pancasila adalah jiwa bangsa Indonesia, jiwa bangsa adalah itu yang menggerakkan manusia menuju pada satu tatanan hidup berbangsa yang beradab. Negara tanpa jiwa adalah negara yang rapuh, itu sebabnya negara harus dibangun jiwanya. Pancasila sebagai jiwa bangsa, tidak hanya dilihat sebagai ideologi, tetapi melampaui ideologi. Sebagai ideologi, maka Pancasila hanyalah ide/gagasan/cara berpikir yang akan memaksa setiap individu untuk mengikuti ideologi tersebut. Pancasila melampaui ideologi, karena dia bukan hanya ide/konsep/cara berpikir yang mengarahkan setiap individu, tetapi dia adalah nilai yang hidup dan menggerakkan setiap individu untuk bergerak bersama dalam mencapai tujuan. Pancasila menjadi jiwa yang menggerakkan setiap orang pada satu tujuan. Tujuan bersama ini tidak datang dari luar, tetapi datang dari dalam nilai-nilai bangsa Indonesia. Nilai yang lahir dari dalam ini kita sebut sebagai jiwanya bangsa Indonesia, karena jiwa ada di dalam bukan di luar.

Jiwa adalah penggerak dari dalam bukan dari luar. Sesuatu yang menggerakkan dari luar, justru seringkali bertentangan dengan apa yang dikehendaki jiwa. Itu sebabnya Pancasila tidak bisa disebut sebagai kompromi ideologi, sebab dia tidak datang dari luar bangsa Indonesia, tetapi datang dari dalam diri bangsa Indonesia. Karena itu Pancasila disebut sebagai jiwanya bangsa Indonesia, karena Pancasila lahir dari refleksi nilai-nilai yang ada di nusantara. Itu sebabnya mereka yang berbeda ideologi tetap akan saling menghargai perbedaan-perbedaan yang ada. Yudi Latif dalam buku “Mata Air Keteladanan” mengurai bagaimana Pancasila dihidupi oleh tokoh bangsa, misalnya:

 

M. Natsir yang puritan dan tokoh Islam dari Masyumi bisa minum teh bersama dengan tokoh Partai Komunis Indonesia (PKI) D.N. Aidit di kantin parlemen. Bahkan setelah berdebat panas di Konstituante, Natsir dan Aidit bisa makan sate bersama di kantin. Padahal paham politik keduanya sangat berbeda tajam, ibarat minyak dan air. Tetapi sebagai sesama manusia, keduanya saling menghormati dan menghargai dalam ikatan persahabatan.[12]

 

Apa yang ditunjukkan oleh para tokoh bangsa ini memerlihatkan bahwa nilai-nilai Pancasila melekat dalam diri mereka. Perbedaan pandangan tidak membuat mereka menjadi musuh, tetapi justru perbedaan membuat mereka menjadi teman diskusi. Penghayatan mereka akan Pancasila, memerlihatkan bahwa mereka tidak hanya melihat Pancasila sekadar sebuah ideologi, tetapi melihatnya sebagai yang mewakili identitas mereka sebagai anak bangsa. Pancasila sebagai nilai yang dihidupi membuat orang bisa berbeda, tetapi tetap mengedepankan kemanusiaan sebagai yang utama. Seperti halnya dikutip oleh Yudi Latif dalam tempo 2011:58-59:

 

Dalam mengembangkan sikap saling menghargai, Kiai Hasjim bisa menentukan secara dewasa kapan bisa berbeda dan kapan bisa tetap saudara. Urusan politik tidak dicampuradukkan dengan urusan (hubungan) pribadi. Beliau pernah menegur istrinya, Solehah, karena menolak memberi tumpangan kepada seorang anggota konstituante yang menyudutkan Kiai Hasyim dalam sidang. Dengan jernih Pak Kiai mengingatkan istrinya. “urusan pekerjaan dan pribadi tak bisa dicampur aduk,” ujarnya.[13]

 

Pandangan Kiai Hasjim ini, tidak hanya memerlihatkan sikap tolerannya terhadap perbedaan, tetapi menunjukkan betapa dia benar-benar memaknai Pancasila bukan sekadar ideologi pemersatu. Pancasila yang mereka yakini, adalah Pancasila yang hidup dalam jiwa mereka, bukan Pancasila yang hanya menekankan nasionalisme dan melupakan humanisme. Para tokoh bangsa ini benar-benar menjadi panutan dalam memaknai Pancasila, sehingga perbedaan pandangan tidak menghilangkan nilai kemanusiaan. Mereka benar-benar telah menjadi kaum nasionalis yang mengedepankan kemanusiaan. Tidak ada masalah antara kaum Nasionalis dengan kaum Islamis, atau antara kaum Islamis dengan kaum Marxis. Mereka semua menyatu dalam satu kesatuan tanpa peduli apa ideologi mereka. Mereka tidak dipersatukan karena ideologi mereka diakomodir oleh Pancasila, tetapi karena nilai-nilai kearifan yang telah membentuk mereka. Itu sebabnya mereka dapat bersatu, sekalipun berbeda ideologi. Soekarno menyebut bahwa:

 

Apakah nasionalisme itu dalam perdjoangan–djadjahan bisa bergandengan dengan islamisme jang dalam hakekatnja tiada bangsa, dan dalam lahirnya dipeluk oleh bermatjam-matjam bangsa dan bermatjam-matjam ras;-apakah Nasionalisme itu dalam politik kolonial bisa rapat-diri dengan Marxisme jang internasional, interrasial itu? Dengan ketetapan hati kita mendjawab: bisa![14]

 

Keyakinan Soekarno tentu didasarkan pada sebuah keyakinan berdasarkan pengalaman eksistensialnya. Bahwa kelompok nasionalis bisa menyatu dengan kelompok yang ber-ideologi berbeda adalah hal yang bisa terjadi karena mereka sama–sama mencintai kemanusiaan. Kaum nasionalis yang ada adalah kelompok nasionalis yang menghargai kemanusiaan, itu yang memudahkan mereka dapat menyatu dengan kelompok lainnya. Soekarno menyebut bahwa:

 

Nasionalis jang sedjati , jang nasionalismenja itu bukan semata-mata suatu copie atau tiruan dari nasionalisme Barat, akan tetapi timbul dari rasa tjinta akan manusia dan kemanusiaan,-nasionalis jang menerima rasa-nasionalismenja itu sebagai suatu wahju dan melaksanakan rasa itu sebagai suatu bakti, adalah terhindari dari segala faham keketjilan dan kesempitan.[15]

 

Kecintaan pada kemanusiaan menjadi fondasi untuk mengikat kebersamaan dalam perbedaan-perbedaan ideologi. Tidak mengherankan jika kemudian Natsir dan Aidit masih bisa makan sate bersama sekalipun tidak pernah berhenti berdebat karena perbedaan ideologi. Mereka semua lebih mengedepankan kemanusiaan dan bukan kepentingan ideologi. Berbeda dengan para politisi hari ini yang berdebat di parlemen dan keluar parlementer dengan makian. Kemanusiaan menjadi hal yang tidak penting, tetapi yang paling penting adalah kekuasaan. Sekalipun mereka berada dalam satu ideologi yang sama yakni Pancasila, tetapi sikap mereka jauh dari sikap bersila (sesuai kata dan tindakan). Politisi hari ini menjadi politisi oportunis yang tidak lagi memahami nilai-nilai Pancasila, karena Pancasila hanya dijadikan alat legitimasi kepentingan kelompok. 

 

Rasa Senasib adalah Fondasi Persatuan

            Persatuan bisa terjadi karena ada yang memersatukan, seperti halnya Pancasila bisa diterima oleh semua golongan karena dia mampu mengakomodir berbagai nilai kearifan yang ada. Rasa persatuan yang dialami oleh para tokoh bangsa tidak lepas dari rasa senasib sebagai bangsa yang tertindas. Soekarno menyebut bahwa:

           

Maka tak boleh kita lupa, bahwa manusia-manusia jang mendjadikan pergerakan Islamisme dan pergerakan Marxisme di Indonesia-kita ini, dengan manusia-manusia yang mendjalankan pergerakan Nasionalisme itu semuanja mempunjai “keinginan hidup mendjadi satu”;- bahwa mereka dengan kaum Nasionalis itu merasa “satu golongan, satu bangsa”;-bahwa segala fihak dari pergerakan kita ini, baik Nasionalis maupun Islamis, maupun pula Marxis, beratus-ratus tahun lamanja ada “persatuan hal-ichwal”, beratus-ratus tahun lamanja sama-sama bernasib tak merdeka! Kita tak boleh lalai, bahwa teristimewa “persatuan hal-ichwal”, persatuan nasib, inilah jang menimbulkan rasa “segolongan” itu.[16]

 

            Soekarno secara spesifik menyebut bahwa rasa senasib inilah yang menimbulkan rasa segolongan. Senasib sebagai bangsa terjajah, membuat para tokoh bangsa mampu menyatu dalam perbedaan-perbedaan yang ada. Rasa senasib ini menunjukkan sikap batin yang sama, di mana mereka semua mempunyai kerinduan untuk merdeka. Perasaan se-nasib dengan demikian bukan persoalan sederhana, tetapi mau menunjukkan sikap terdalam dari diri manusia-manusia Indonesia, bahwa mereka mencintai kemerdekaan. Mencintai kemerdekaan adalah mencintai nasionalisme, dan pencinta nasionalisme hanyalah orang-orang yang memberi ruang untuk kemanusiaan. Ini kemudian yang disebut Soekarno bahwa, rasa senasib menimbulkan rasa “segolongan”. Itu sebabnya para tokoh bangsa tidak pernah memersoalkan perbedaan-perbedaan yang ada, karena mereka sama-sama digerakkan oleh perasaan senasib akan bangsa.

            Sekalipun para tokoh bangsa mempunyai pandangan ideologi yang berbeda, tetapi mereka tetap menyatu dalam satu tujuan. Mereka berada dalam satu ruang yang sama, yang menghargai dan mencintai kemanusiaan. Nasionalisme mereka bukan nasionalisme yang sempit, tetapi nasionalisme yang memberi ruang untuk kemanusiaan. Nasionalisme seperti ini yang kemudian sulit untuk kita temukan hari ini. Nasionalisme hari ini, hanya menjadi nasionalisme yang menjadi alat legitimasi untuk mengeksploitasi sumber daya alam dalam sebuah wilayah. Tidak heran jika kemudian Papua bergejolak meminta untuk merdeka, karena merasa tidak diberi perhatian oleh negara. Tidak ada lagi perasaan senasib, tetapi yang ada adalah masing-masing menentukan nasibnya sendiri. Pancasila menjadi kehilangan roh, karena Pancasila tidak lagi menjadi nilai yang membuat orang merasa mempunyai perasaan yang sama dengan saudaranya yang menderita dan miskin.

Pada sisi yang lain, kesenjangan sosial yang ada justru menjadi tontonan, dan bukan justru dilihat sebagai sebuah masalah. Tontonan itu dipertontonkan untuk menjadi alat kepentingan politik, yang membuat orang miskin dijadikan sebagai alat kepentingan politik. Para politisi sampai LSM menjadikan orang miskin sebagai panggung untuk kepentingan mereka. Situasi yang sangat berbeda dengan para tokoh bangsa yang justru melihat berbagai fenomena sebagai bagian dari diri mereka untuk diperjuangkan. Pancasila hanya akan menjadi sakti ketika, anak-anak bangsa menjadikan rasa kemanusiaan sebagai yang utama. Bukan justru menjadi pejuang kemanusiaan yang tidak manusiawi. Menjadi benar apa yang disampaikan Soekarno bahwa, “perjuanganmu akan lebih sulit karena melawan bangsa sendiri.”

Persatuan kita menjadi rapuh, bukan karena kita tidak punya ideologi, tetapi karena kita tidak lagi mau merasakan apa yang dirasakan oleh yang lain. Rapuhnya Pancasila bukan karena banyaknya paham/ideologi yang muncul, karena di era revolusi pun ada banyak perbedaan ideologi, tetapi para tokoh bangsa ini masih bisa menyatu. Kerapuhan bangsa ini salah satunya adalah, tidak ada perasaan senasib yang dimiliki oleh bangsa ini. Para politisi bahkan melakukan korupsi secara berjamaah, dan tidak lagi memikirkan nasib saudara-saudaranya yang miskin. Pancasila seperti tidak lagi dihidupi sebagai sebuah nilai, tetapi dipandang sebagai ideologi yang tanpa makna. Pancasila sekadar menjadi ritual-ritual dalam acara kenegaraan, tetapi dia telah kehilangan rohnya. Kondisi ini membuat bangsa kita menjadi bangsa yang rapuh, bangsa yang tidak lagi memiliki roh. Tidak heran jika para koruptor masih dapat tersenyum ketika mereka memakai rompi oranye (rompi tahanan KPK). Seperti tidak ada perasaan bersalah pada diri mereka yang telah membuat rakyat menjadi sengsara.

            Nilai gotong royong pun memudar akibat hilangnya perasaan senasib sebagai anak-anak bangsa. Tidak adanya perasaan senasib membuat rakyat tidak lagi memperdulikan apa yang dialami oleh saudara-saudaranya. Sepertinya setiap orang hanya memerhatikan kelompoknya dan tidak peduli terhadap mereka yang berbeda pandangan. Setiap orang seperti sedang memerjuangkan dirinya dan kelompoknya. Tidak menjadi aneh ketika salah satu universitas ternama di Indonesia yang dibiayai oleh negara (Universitas Padjadjaran Bandung) memberi beasiswa dengan kriteria (prioritas) mampu membaca Al Qur-an minimal lima Juz.[17] Ini jelas bertentangan dengan Pancasila, membuka ruang diskriminasi untuk kelompok agama yang berbeda. Fenomena ini memerlihatkan betapa negara ini mengalami kerapuhan dalam memaknai Pancasila. Pancasila seperti slogan kosong tanpa roh.

 

Bergesernya Nilai Pancasila

            Melihat fenomena yang ada sekarang ini, dapat dikatakan bahwa nilai-nilai Pancasila telah bergeser jauh dari fondasinya. Pergeseran ini tidak hanya terlihat pada sikap diskriminatif oleh kampus negeri seperti di atas, tetapi juga pada sikap intoleran yang dilakukan oleh kelompok fundamental yang mengatasnamakan agama. Pada 23 September 2016, Front Pembela Islam (FPI) menyerbu Gereja Toraja Bunturannu di Makassar, karena melarang untuk merenovasi gereja. Tiga hari kemudian, pada 25 September 2016, pukul 20.30 Wita, Gereja Toraja, Jalan Gunung Bawakaraeng-Makassar, diserang orang tak dikenal. Pada tingkat nasional terlalu sering kita mendengar partai dakwah seperti PKS yang justru tidak henti memerjuangkan syariat Islam. Lebih memprihatinkan ketika Aceh yang merupakan bagian dari Republik diberi kewenangan khusus oleh negara untuk menjalankan hukum syariat islam. “Orang yang mau beribadat menurut cara yang tidak berkenan pada tetangganya dicaci maki, diancam bahkan diusir.[18]

Fenomena yang ada ini, memerlihatkan bahwa Pancasila berada dalam kerapuhan. Nilai-nilai gotong royong yang mestinya diberi ruang sekarang justru menjadi sesuatu yang tidak jelas. Nilai-nilai ini telah digantikan oleh doktrin-doktrin baru yang begitu mudahnya menebar kebencian terhadap mereka yang berbeda pandangan. Kata “kafir” menjadi sesuatu yang secara tajam mulai diangkat untuk membuat distingsi ber-Tuhan dan tidak ber-Tuhan. Mereka yang menyebut diri sebagai tokoh bangsa pun justru terlibat dalam pertarungan politik yang tidak sehat dengan ikut mengkafirkan mereka yang berbeda keyakinan. Pluralisme terancam dalam situasi seperti ini. Keterancaman ini adalah ancaman bagi Pancasila. “Bagi Indonesia yang begitu majemuk pluralisme merupakan syarat eksistensinya.”[19]

Jika pluralisme adalah syarat eksistensi, maka hidup dalam negara pancasila harus selalu memberi ruang bagi setiap perbedaan. Di sana ada kesediaan untuk saling menerima perbedaan/ keunikan yang ada pada diri setiap individu. Mereka yang tidak menghargai keunikan pada diri setiap orang, maka ini bertentangan dengan nilai-nilai Pancasila. Karena Pancasila lahir dari kepelbagaian yang ada di nusantara. Pancasila tidak lahir dari doktrin, atau pandangan tertentu, tetapi dia lahir dari perbedaan. Kesediaan untuk hidup bersama dan menghargai keunikan menjadi sesuatu yang penting. Franz Magnis Suseno menyatakan:

 

Maka aktualisasi nilai-nilai Pancasila tak lain berarti aktualisasi kesediaan seluruh komponen masyarakat yaitu: masyarakat/rakyat sendiri dari Sabang sampai Merauke maupun lembaga/institusi/organisasi dalam masyarakat, baik yang bersifat politik, termasuk semua partai politik, maupun civil society, khususnya agama-agama dengan organisasi dan artikulasi lain mereka untuk menerima kenyataan bahwa Indonesia itu sebuah pluralitas, artinya, saling menerima dalam kekhasan masing-masing.[20]

 

            Pluralitas yang ada ini menjadi hal yang harus dihormati oleh mereka yang hidup dalam negara Pancasila. Sikap tidak hormat terhadap berbagai keunikan yang ada, menunjukkan ketidakpahaman terhadap nilai Pancasila, tetapi mereka yang memahami akan memberi hormat terhadap perbedaan yang ada. Tidak menghargai perbedaan sama dengan meruntuhkan fondasi Pancasila, karena Pancasila merupakan fondasi untuk menata tatanan hidup menjadi lebih baik. Armada Riyanto menyebut bahwa:

 

Pancasila identik dengan filsafat emansipatoris (yang membebaskan) manusia-manusia Indonesia dalam konteks kulturalitas dan religiusitas sendiri yang luar biasa plural. Pancasila adalah fondasi tata hidup bersama yang menginspirasikan pembebasan dari alienasi satu sama lain dalam lautan keanekaragaman suku, budaya, tradisi, agama yang kaya.[21]

 

            Pancasila sebagai fondasi filosofis bangsa, menuntun manusia-manusia yang ada di dalamnya untuk selalu menempatkan perbedaan sebagai jalan menuju kebersamaan. Perbedaan/keunikan bukan untuk dipertentangkan, siapa yang paling baik, tetapi justru dari perbedaan kita belajar tentang kekurangan dan kelebihan yang lain. Pancasila telah menyatukan perbedaan itu menjadi satu kekuatan untuk membangun bangsa. Bergesernya nilai-nilai Pancasila salah satu penyebabnya karena manusia yang ada di dalamnya tidak menghargai perbedaan. Ada kelompok-kelompok tertentu yang menjadikan diri mereka sebagai tuhan atas sesamanya. Kelompok ini dengan mudah melakukan kekerasan atas nama doktrin agama yang mereka yakini sebagai kebenaran tunggal. Pancasila sesungguhnya terancam oleh kelompok-kelompok fundamentalis yang sering memaksakan kehendak dan bertindak sendiri. Sebagian kelompok yang merasa ter-diskriminasi merasa terancam berada dalam rumah mereka sendiri. “Hanya kalau semua komponen di Indonesia merasa seperti di rumah sendiri, apabila identitas mereka masing-masing terjamin, mereka akan bersama terus.”[22]

            Indonesia adalah rumah bersama, bukan rumah segelintir orang. Ketika Pancasila dijadikan sebagai dasar bersama, maka serempak kita sedang memberi pengakuan akan semua identitas yang berbeda. Pengakuan akan perbedaan ini adalah nilai yang sesungguhnya telah lama hidup dalam kearifan lokal masyarakat nusantara. Sayangnya, kelompok-kelompok fundamental merusak nilai-nilai tersebut dengan melakukan berbagai tindakan kekerasan atas nama agama. Pancasila yang menjadi fondasi seperti kehilangan sayap untuk terbang, akibat dari nilai-nilai kebersamaan tidak lagi dihargai.

 

Refleksi

            Pancasila adalah identitas bangsa Indonesia, identitas yang harusnya menjiwai aspek keseharian masyarakat Indonesia. Mengapa identitas itu harus menjiwai keseharian masyarakat? Identitas yang tidak menjiwai hidup keseharian masyarakat menjadi identitas yang kabur. Jika masyarakat Indonesia hidup dalam identitas yang jelas, hidup berbangsa dan bernegara menjadi lebih baik. Menjadi baik karena tidak ada manusia–manusia yang mengklaim kebenarannya sendiri, dan menganggap dirinya berhak untuk menjadi hakim bagi yang lain. Negara Pancasila adalah negara yang selalu memberi ruang untuk pandangan yang berbeda, sejauh pandangan yang berbeda itu tunduk pada penghargaan akan kemanusiaan. Artinya, tidak semua pandangan berbeda dapat hidup di negara Pancasila, jika pandangan itu akan menghancurkan tatanan hidup masyarakat. Kemanusiaan dengan demikian menjadi sesuatu yang sangat penting untuk memaknai nilai-nilai Pancasila. Memaknai nilai Pancasila berarti menghargai kemanusiaan, sebaliknya abai terhadap kemanusiaan sama dengan tidak memberi tempat terhadap Pancasila.

            Sikap inklusif, menjadi hal penting dalam negara Pancasila, keterbukaan dan penghargaan pada pandangan yang berbeda adalah keniscayaan. Pancasila yang lahir dari nilai-nilai kearifan lokal, selalu memberi ruang untuk relasi dengan yang lain. Relasi ini selalu mengandaikan adanya penghormatan bagi yang lain, sekalipun di sana ada perbedaan-perbedaan pandangan. Sikap terbuka terhadap yang lain menunjukkan sebuah sikap penghormatan terhadap kemanusiaan. Menghormati kemanusiaan sama artinya menghormati Pancasila sebagai identitas bangsa. Pancasila sebagai identitas bangsa selalu membuka ruang untuk setiap perbedaan yang ada. Identitas Pancasila adalah menghargai perbedaan, sehingga setiap manusia yang ada dalam bumi Indonesia mempunyai tanggung jawab untuk menghadirkan kedamaian. Negara pun harus memastikan bahwa tidak ada kelompok tertentu yang menebar kebencian atas nama agama atau ideologi. Dalam negara Pancasila harus ada kepastian bahwa setiap orang tidak mendapatkan diskriminasi.

            Tidak adanya penghargaan terhadap kepelbagaian, sesungguhnya dapat dikategorikan sebagai sikap tidak memahami Pancasila. Pancasila jelas merupakan sebuah nilai yang mau membangun keutuhan bangsa dengan menunjukkan relasi antara sesama anak bangsa yang berbeda agama, suku, dan ras. Adanya relasi tersebut menjadi sebuah pengandaian bahwa tatanan hidup masyarakat berada dalam keharmonisan. Sebaliknya hilangnya relasi mengandaikan hancurnya nilai-nilai Pancasila. Kondisi sekarang ini memerlihatkan bahwa relasi dengan yang lain menjadi kabur, dan ini dapat terlihat dari masih adanya tindakan kekerasan yang mengatasnamakan agama. Pancasila menjadi sakti bukan karena dia menjadi kekuatan pemaksa untuk membuat persatuan semu, tetapi ketika setiap masyarakat memahami nilai-nilai kearifan dari pancasila.

            Indonesia telah mengalami distorsi yang panjang di zaman orde baru, di mana Pancasila menjadi alat kekuasaan untuk memertahankan kekuasaan. Mereka yang berbeda pandangan/ideologi dihilangkan. Bahkan kelompok yang bersikap kritis terhadap negara dianggap makar, karena itu menghilangkan nyawa mereka adalah legal. Pancasila mengalami penyimpangan untuk membenarkan tindakan sekelompok orang. Mereka yang disebut Pancasilais adalah mereka yang tunduk pada kepentingan kekuasaan, sekalipun itu menindas dan tidak memberi ruang kebebasan. Pancasilais sekalipun tidak memberi ruang atas kemanusiaan. Semua ini merefleksikan betapa Pancasila hanya akan menjadi sakti jika negara senantiasa memberi ruang untuk berbagai perbedaan dan senantiasa mengedepankan kemanusiaan. Perbedaaan adalah sebuah keniscayaan yang tidak mungkin dihindari, karena itu setiap orang harus selalu menghargai perbedaan yang ada.  

 

 

 

 

 

 

 

 

DAFTAR PUSTAKA

 

 

            Buku:

Armada Riyanto, Berfilsafat Politik, Yogyakarta: Kanisius, 2011.

______________(Ed), Kearifan Lokal Pancasila: Butir-butir filsafat keindonesiaan, Yogyakarta: Kanisius, 2015.

Franz Magnis Suseno, Kebangsaan, Demokrasi, Pluralisme, Jakarta: Kompas, 2015.

Saafroedin Bahar dkk (peny), Risalah Sidang Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI), Jakarta: Sekretariat Negara Republik Indonesia, 1995.

Soekarno, Di bawah bendera revolusi, vol.1. Jakarta: Panitia di bawah bendera revolusi, 1964.

________, Filsafat Pancasila menurut Bung Karno,Yogyakarta: Media Pressindo, 2006.

________,  Revolusi Indonesia: Nasionalisme, Marhaen, dan Pancasila, (Penyunting: Pamoe Rahardjo dan Islah Gusmian), Yogyakarta: Galang Press, 2002.

Soerjanto Poespowardojo, FIlsafata Pancasila: Sebuah Pendekatan Sosio-Budaya, Jakarta: Gramedia, 1989.

Yudi Latif, Negara Paripurna: Historisitas, rasionalitas, dan aktualitas Pancasila. Jakarta: Gramedia, 2011.

_________, Mata Air Keteladanan: Pancasila Dalam Perbuatan, Jakarta: Mizan, 2014.

 

Berita Online:

Heyder Affan, Syaratkan hafal Alquran untuk beasiswa, Jabar 'diskriminatif, www.bbc.com/indonesia, 3 Oktober 2016.

Reni Susanti. Unpad Tawarkan Beasiswa Salah Satu Syaratnya Tuai Kontroversi, Kompas.com, 5 Oktober 2016.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 



[1]Sukarno, Revolusi Indonesia: Nasionalisme, Marhaen, dan Pancasila, (Penyunting: Pamoe Raharjo dan Islah Gusmian), Yogyakarta: Galang Press, 2002, hlm. 108.

[2]Soekarno, Filsafat Pancasila menurut Bung Karno,Yogyakarta: Media Pressindo, 2006, hlm. 108-109.

[3]Soerjanto Poespowardojo, FIlsafat Pancasila: Sebuah Pendekatan Sosio-Budaya, Jakarta: Gramedia, 1989, hlm. 5.

[4]Ibid., hlm. 108-109.

[5] Saafroedin Bahar dkk (peny), Risalah Sidang Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI), Jakarta: Sekretariat Negara Republik Indonesia, 1995, hlm. 82.

[6] Yudi Latif, Negara Paripurna: Historisitas, rasionalitas, dan aktualitas Pancasila. Jakarta: Gramedia, 2011, hlm. 41.

[7]Saafroedin Bahar, Op.Cit., hlm. 80.

[8] Yudi Latif, Mata Air Keteladanan: Pancasila Dalam Perbuatan, Jakarta: Mizan, 2014, hlm. 4.

[9]Armada Riyanto, Berfilsafat Politik, Yogyakarta: Kanisius, 2011, hlm. 135.

[10]Ibid., hlm. 137.

[11] Armada Riyanto, Kearifan Lokal Pancasila Butir-Butir Filsafat “Keindonesiaan”, dalam Kearifan Lokal Pancasila: Butir-butir filsafat keindonesiaan. (Armada Riyanto dkk. Ed), Yogyakarta: Kanisius, 2015, hlm. 18.

[12] Yudi Latif, Air Mata Keteladanan, Op.Cit., hlm. 68-69.

[13]Ibid., hlm. 69-70.

[14]Soekarno, Di bawah bendera revolusi, vol.1. Jakarta: Panitia di bawah bendera revolusi, 1964, hlm. 4.

[15]Ibid., hlm. 5-6.

[16]Ibid., hlm.4.

[17] Reni Susanti, Unpad Tawarkan Beasiswa Salah Satu Syaratnya Tuai Kontroversi, diakses dari: http://regional.kompas.com/read/2016/10/05/14451171/unpad.tawarkan.beasiswa.salah.satu.syaratnya.tuai.kontroversi dan Heyder Affan, Syaratkan hafal Alquran untuk beasiswa, Jabar'diskriminatif,diakses dari:http://www.bbc.com/indonesia/berita_indonesia/2016/10/161002_indonesia_beasiswa_alquran

[18] Franz Magnis Suseno, Kebangsaan, Demokrasi, Pluralisme, Jakarta: Kompas, 2015, hlm. 46.

[19]Ibid., hlm. 103.

[20]Ibid., hlm. 106.

[21] Armada Riyanto, Op.Cit., hlm. 135-136.

[22] Franz Magnis Suseno, Op.Cit., hlm. 82-93.

No comments:

Post a Comment

Teodise (Pembenaran Tuhan): Dialog dengan Leibniz di Masa Pandemi Covid-1

Pertanyaan tentang realitas kejahatan di dunia bukanlah pertanyaan yang baru muncul di dunia post modern. Pertanyaan ini pertama kali ditany...