Sebuah Refleksi Dari Lingkar Gunung Kelud
Tidak seperti
biasanya, pagi itu saya bangun sekitar jam 03.00, hari itu adalah hari Minggu,
tgl 2 Nopember 2014. Saya mulai mempersiapkan peralatan yang akan kami bawa
dalam rangka penelitian di lingkar Gunung Kelud, tepatnya di daerah Satak dan
Sukomoro. Sekitar jam 04.20, saya mulai melangkahkan kaki keluar rumah menuju
Biara SVD untuk berangkat bersama dengan Fr.Yan ke Biara Seminari Tinggi CM Badut
(Biara CM Badut). Cuaca pagi itu terasa sangat dingin, tetapi itu tidak menjadi
halangan untuk terus melangkahkan kaki sampai ke biara SVD. Saya sungguh bersyukur
bahwa Fr. Yan berangkat bersama saya, karena saya sendiri belum melihat Biara CM
Badut, tempat kami akan berkumpul untuk berangkat bersama ke lingkar Gunung Kelud.
Kami berangkat dari biara SVD setelah saya menungguh Fr.Yan beberapa menit, dan
akhirnya tepat pukul 04.35. Kami berjalan ke Biara CM Badut, dan kira-kira 15
sampai 20 menit akhirnya kami sampai di Biara. Saya melihat di luar biara sudah
ada Fr.Nasip yang menjadi pimpinan rombongan, telah menunggu di luar biara,
karena saat itu pintu gerbang biara belum terbuka.
Setelah jam
05.00 akhirnya pintu biara terbuka, dibuka oleh seorang Frater, saya sendiri
tidak mengenal Frater tersebut. Kami pun masuk di biara, dan saya melihat
Fr.Feri dan Fr.Roni sedang mempersiapkan makanan yang akan kami bawah untuk bekal
penelitian. Saya tidak melihat Rm. Armada yang juga tinggal di biara tersebut.
Rm.Armada merupakan penggagas/perancang dari penelitian yang akan kami lakukan di
lingkar Gunung Kelud. Tidak beberapa lama kami menunggu saya melihat Rm.Armada
telah siap untuk berangkat, dan nampaknya mobil L300 yang akan kami pakai juga
telah siap untuk membawah kami menuju lingkar Kelud. Kami berangkat dari Biara CM
Badut, sekitar jam 05.10 menuju ke lingkar Gunung Kelud.
Perjalanan kami
menjadi sebuah perjalanan yang menarik, karena dalam perjalanan teman-teman
mulai mencairkan suasana, dengan menceritakan pengalaman-pengalaman lucu di
dalam biara, ketika masih kuliah S1. Saya bersama dengan Fr. Feri dan Rohim
yang duduk paling belakang hanya menyimak apa yang teman-teman ceritakan,
sambil sesekali menimpali dengan pertanyaan. Saya melihat Rm. Armada seperti
sedang melanjutkan tidurnya, yang duduk tepat berada di belakang sopir.
Kira-kira jam 06.30, mobil berhenti di sebuah tempat untuk istirahat, sekaligus
kami akan menikmati sarapan bersama yang telah dipersiapkan oleh Fr.Nasip
bersama dengan teman di biara. Rohim nampak sangat gembira, ketika mobil
berhenti, karena sejak tadi dia menekan-nekan perutnya karena lapar. Setelah
kira-kira setengah jam kami istirahat, akhirnya perjalanan dilanjutkan ke
Pare.
Kami tiba di
pare, tepatnya di gedung Gereja Katolik Pare. Saya lihat misa sementara
berlangsung. Tidak berapa lama kami menunggu, akhirnya orang yang akan
mengantar kami nampak telah siap dengan mobilnya untuk membawah kami ke lereng
Kelud. Kami sampai di Gedung Gereja Stasi Satak dan setibahnya di gereja nampak beberapa orang telah ada di
sana menunggu kedatangan kami. Setelah kami turun dari mobil, kami dipersilakan
masuk ke ruangan di samping gereja. Setelah saya dan rombongan menyalami satu
persatu umat yang dari tadi menunggu kedatanga kami. Tidak berapa lama kami pun
mulai mempersiapkan untuk wawancara sebelum misa, karena nampaknya Rm.Armada
juga harus mempersiapkan diri memimpin misa.
Kami memulai
wawancara dengan beberapa narasumber yang berlangsung sekitar satu jam lebih.
Setelah wawancara selesai, saya juga mulai mempersiapkan diri untuk beribadah
bersama dengan umat. Ketika saya masuk gereja, saya melihat sahabat saya Rohim
yang non kristen juga ikut masuk dan duduk tepat di samping saya. Kami pun
mengikuti kebaktian bersama dengan umat yang ada di sana. Saya melihat Rohim
yang ada di samping saya juga ikut mengikuti semua liturgi, ketika umat
berdiri, dia ikut berdiri, sambil sesekali bertanya pada saya. Nampak Rohim tidak
ada kekakuan sama sekali dalam mengikuti semua akta. Gereja yang kami tempati,
merupakan salah satu gereja yang baru direnovasi pasca letusan Gunung Kelud.
Karena gereja itu mengalami kerusakan berat pasca letusan.
Cerita Dari Satak
Tepat jam 07.40.
kami memulai wawancara di Satak, dengan beberapa orang yang ada disitu, yang
telah dihubungi sebelumnya. Rm. Armada memulai dengan memperkenalkan kami satu
persatu, yang dimulai dari saya yang tepat berada di sampingnya. Setelah itu
Rm. Armada mulai menjelaskan maksud dari kedatangan kami di lereng Gunung Kelud.
Daerah Satak berjarak 11 Km dari puncak Gunung Kelud. Ketua Stasi mulai
menceritakan kronologis peristiwa 13 Pebruari 2014 tepatnya pada hari kamis,(malam
jumat) sekitar pukul 22.30. Di mana, malam itu terdengar suara letusan keras,
yang membuat situasi menjadi panik, ditambah dengan gelapnya malam, sehingga
yang nampak kelihatan adalah puncak Gunung Kelud yang menyemburkan api, lahar
dingin dan lemparan batu-batu panas. Seperti disampaikan bahwa :
Letusannya waduh, yg pertama itu
lemparan batu, kemudian hujan debu naik keatas diikuti bara api,kelihatan jelas
sekali, putih-putih bara api naik keatas…sampai diatas seperti kembang api itu,
cuar,cuar,cuar. Seperti bunyi genteng itu keras sekali,… arahnya kesana
termasuk ke Suko Moro,Kebun Duren,Malang Ngantang itu arah kesana[1].
Situasi
malam itu dipenuhi dengan rasa takut yang luar biasa, istri ketua stasi yang
awalnya dipenuhi rasa penasaran untuk mau melihat letusan Gunung Kelud, malam
itu menjadi sangat ketakutan ketika dia telah melihat letusan yang begitu dahsyat
tersebut. “ternyata seperti itu dahsyatnya
letusan Kelud”. Situasi ketakutan membuat suasana semakin panik. Malam itu
menjadi malam yang mencekam penuh kegentaran. Semua orang berlari untuk mencari
tempat berlindung yang aman dari lemparan batu panas dan terjangan lahar dingin
dari puncak Gunung Kelud. Lemparan batu panas tersebut, akan menghancurkan apa
saja yang terkena,bahkan genteng rumah pun bocor akibat lemparan batu panas
tersebut. Kita tidak dapat membayangkan jika yang terkena lemparan batu panas
itu adalah kepala manusia. Ditambah dengan hujan debu dan semburan pasir yang
menambah suasana batin menjadi semakin tegang.
Malam
itu semua penduduk yang ada di lingkar Gunung Kelud mengungsi ke tempat yang telah
ditetapkan sebelumnya yakni disebuah pabrik. Seperti yang disampaikan nara
sumber bahwa: “Di Status siaga itu pihak desa suda menyiapkan titik
kumpul… Sehingga evakuasi warga ini memakan waktu 10 sampai 30
menit,semuanya terevakuasi.”
Dalam waktu yang cepat, semua warga telah berhasil
dievakuasi oleh para relawan yang sebagiannya adalah warga sekitar lingkar Gunung
Kelud, yang tergabung dalam “Jangkar Kelud”[2]
dan “Karina”[3]. Meskipun mereka menjadi
korban, tetapi tidak berarti mereka berhenti untuk memberi perhatian pada
sesama warga lain yang membutuhkan pertolongan. Ketakutan, telah digantikan
oleh rasa kemanusiaan yang dalam, sehingga membuat mereka tidak berhenti untuk
saling menolong satu dengan yang lainnya. Tidak ada lagi sekat primordialisme,
tidak ada sekat agama, kaya, miskin yang ada hanya rasa untuk saling memberi
pertolongan. Levinas menyebutnya sebagai relasi intersubyektif yang bersifat
asimetris. Relasi Simetris tersebut dapat dipahami sebagai berikut yakni:
Artinya,
etika atau ‘yang etis’ harus mulai dari satu relasi (1) antara satu orang dan
seorang yang lain, dan bukan dari sebuah prinsip moral universal yang mengikat
semua manusia; (2) yang bersifat asimetris, yakni bahwa sang Aku memiliki
tanggung jawab tak terbatas terhadap orang lain. Apapun yang saya lakukan
terhadap orang lain sebagai bentuk tanggung jawab saya tidak akan pernah cukup.[4]
Semua
orang berkumpul seperti satu keluarga dalam lingkar Gunung Kelud. Gunung Kelud
yang telah mengancam jiwa anak manusia, dan meluluhlantakkan tanah pertanian,
rumah, ternak dll, telah membuat warga menjadi satu kesatuan. Mereka berbagi
makanan, air, meskipun mereka sama-sama membutuhkan makanan. Seperti yang
dialami oleh beberapa warga ketika mereka mengantar makanan, mobil mereka
dicegat oleh pengungsi yang lain untuk meminta makanan.
Tidak ada
konflik karena harus berebut makanan, mereka semua seperti saudara yang saling
memahami satu dengan yang lainnya. Seperti pertanyaan Rm. Armada, Apakah ada konflik ketika mendistribusikan
makanan?
“oh
nda ada, jadi, ya kalau diminta (makanannya) ya dikasikan, setelah itu kita sampaikan,
bahwa yang disana juga membutuhkan makanan.” Dalam
situasi lapar dan kondisi psikologi yang hancur, mereka tetaplah orang-orang
beradab yang saling memberi perhatian. Mereka seperti bersedia menahan lapar
demi untuk saudara mereka yang lain, yang juga membutuhkan makanan. Tidak
seperti yang biasa kita lihat dalam pembagian sembako yang sering kali justru menelan
korban jiwa.
Letusan
Gunung Kelud nampaknya tidak bijak, jika kita hanya melihatnya dalam kondisi
korban yang membutuhkan bantuan. Kelud meluluhlantakkan tetapi sekaligus mengingatkan
masyarakat yang ada dilerengnya untuk tetap mengedepankan tanggung jawab
terhadap sesama yang lain. Kita boleh menjadi korban, tetapi tidak berarti
menghilangkan rasa kemanusiaan kita terhadap yang lainnya. Seperti diungkapkan
oleh nara sumber bahwa: “mereka saling
bergotong royong dalam memperbaiki rumah…bahkan sering mereka tidak tahu,
tiba-tiba rumah mereka telah diperbaiki.” Tanggung jawab terhadap yang lain,
membuat mereka melupakan kepentingan pribadi. Karena kepentingan kelompok
menjadi sesuatu yang sangat penting. Menolong yang lain sama dengan menolong
diri sendiri.
Sayang
sekali bahwa di tengah situasi itu, ada saja kelompok-kelompok relawan yang
tidak tulus dalam memberi pertolongan, ini ditandai dengan bendera-bendera yang
mereka bawah. Bahkan ada relawan yang datang, hanya mau membantu yang satu
agama dengan mereka. Tetapi warga setempat yang berada di lingkar Kelud, yang
terkena erupsi Kelud, justru menjadi masyarakat yang memperlihatkan
persaudaraan di antara sesama warga yang berbeda agama. Ini tentu menunjukkan
bahwa perbedaan bukanlah penghalang bagi mereka untuk saling menolong, tetapi
yang membatasi dan membuat sekat-sekat justru lahir dari sebagian relawan yang
datang dengan membawa simbol-simbol agama tertentu.
Letusan
Kelud disebut oleh narasumber sebagai siklus 8 (delapan) tahunan. “Ketika tidak meletus pada tahun ke delapan,
maka 16 tahun berikutnya, kalau tidak meletus, maka 24 tahun berikutnya, kalau
juga belum meletus maka 32 tahun berikut.” Meskipun menurut mereka letusan Kelud
sangat sulit diprediksi, seperti yang terjadi pada pebruari 2014, di mana sulit
memprediksi akhirnya kita sedikit kesulitan dalam evakuasi, terutama evakuasi ternak.
Hampir semua ternak ditinggalkan oleh pemiliknya, karena tidak lagi sempat
untuk mengevakuasinya. Seperti disampaikan bahwa “karena
sangat singkatnya waktu dari siaga ke awas itu akhirnya kalang kabut juga”. Perubahan
status dari siaga ke awas yang begitu cepat, membuat warga tidak lagi
mempedulikan barang ataupun ternak, yang paling penting waktu itu adalah
bagaimana menyelamatkan diri dari terjangan erupsi. Akhirnya sekitar 30 menit,
warga semua telah dievakuasi ke sebuah pabrik yang sebelumnya telah disiapkan.
Cerita Dari Sukomoro
Kisah
ini kami dapatkan ketika kami berada di Gedung Gereja Katolik Sukomoro. Di sana
ada beberapa orang narasumber yang telah siap menyambut kedatangan kami. Kami
waktu itu langsung dipersilakan masuk ke dalam gedung gereja. Saya melihat
gedung gerejanya seperti baru selesai di renovasi. Kami memulai perbicangan
dengan beberapa orang narasumber. Percakapan dimulai dari salah seorang warga,
yang menceritakan pengalamannya menghadapi letusan Gunung Kelud yakni pada
tahun 1990 dan pada pebruari 2014. Pa Jono, demikian sapaan akrab dari salah
satu narasumber yang kami wawancara. Dia mengisahkan bahwa sebelum erupsi,
mereka telah mendapatkan arahan-arahan dari relawan, baik dari Karina pun dari
Jangkar Kelud. Ke mana warga harus mengungsi ketika terjadi bencana, apa yang
harus dibawah dll. Tetapi semua itu menjadi buyar, ketika letusan Kelud terjadi
pada Pebruari 2014. Seperti diungkapkan pa Jono bahwa:
suda ada beberapa titik yang kami
putuskan untuk nanti menjadi tempat pegungsian, tetapi semuanya buyar, tidak
terduga sama sekali. Karena diperkirakan Sukomoro sini yang arahnya mengungsi
ke Sumber Suko sekitar lima kilo, tapi justru sona amannya ya 20 kilo, jadi
kami harus mengungsi. Letusan pertama, ya besar sekali, langsung mengeluarkan
api, maka kami malam itu panik.Apalagi kejadiannya malam, lampu mati
semua…akhirnya kami tidak memikirkan lagi tempat pegungsian yang telah
ditetapkan. Kami tersebar ke mana-mana.[5]
Situasi malam itu sangat mendebarkan. Mereka menghindar
dari lemparan batu yang panas di tengah gelapnya malam. Mereka berlari mencari
tempat perlindungan yang aman dari terjangan lahar dingin dan lemparan batu
panas dari puncak Kelud. Akhirnya, ditengah situasi yang menegangkan itu, yang
diperkirakan terjadi sekitar pukul 22.30, akhirnya kami berlari ke gedung gereja.
Kami berkumpul sekitar 70 (tuju puluh) orang di dalam gedung gereja, tetapi,
karena ketakutan dan rasa tidak aman, mengingat gedung gereja yang suda tua,
akhirnya kami putuskan untuk berlari ke balai desa dengan menggunakan bangku gereja
sebagai pelindung kepala kami dari terjangan hujan debu dan batu-batu panas.
Tidak berapa lama, akhirnya kami
sampai di balai desa. Seperti cerita pa Jono, bahwa di tengah perjalanan ke
balai desa, mereka melihat pemandangan yang memiluhkan, di mana “banyak
orang tua yg suda lanjut usia ditinggal keluarganya dipinggir-pinggir jalan”.
Orang-orang tua (lansia) ini menangis dan berteriak minta tolong di pinggir
jalan, mereka tidak tahu harus ke mana meminta pertolongan, mereka ketakutan
yang luar biasa. Pa Jono bersama dengan beberapa orang yang baru saja sampai di
balai desa, yang juga sedang mencari pertolongan untuk dievakuasi, melihat
situasi yang memiluhkan ini, langsung menarik orang-orang tua tersebut untuk
melakukan evakuasi bersama-sama. Kebetulan, waktu itu masih ada satu mobil truk
yang tersisa, akhirnya para lansia tersebut dinaikkan ke truk untuk di evakuasi
ke sebuah Sekolah Katolik dan Paroki yang terdekat, sambil pa Jono dan beberapa
orang lainnya menunggu mobil lain untuk mengevakuasi mereka.
Di sana tidak ada lagi pertanyaan
siapa yang harus mereka tolong! Atau agama apa yang mereka harus tolong! Yang
ada hanyalah perasaan tanggung jawab terhadap sesama anak manusia. Tanggung jawab ini membuat mereka tergerak dan melepas
semua atribut dan sekat-sekat primordialisme yang sering kali membentengi
manusia dalam relasi dengan orang lain. Yang ada hanyalah relasi tanggung jawab
terhadap sesamanya. Para lansia akan berterima kasih mendapatkan pertolongan,
demikianpun si penolong akan bersyukur karena masih diberi kesempatan untuk
mendapatkan tanggung jawab tak terbatas dalam relasi dengan yang lain. Pa Jono
bersama dengan beberapa warga menjadi orang terakhir yang di evakuasi dari Kelud.
Lingkar Kelud pada waktu itu seperti
desa mati, yang tidak berpenghuni. Semua warga mencari tempat yang aman bersama
dengan keluarganya masing-masing. Peristiwa malam itu, nampaknya juga
mengingatkan warga di lingkar Kelud, bahwa tidak ada yang lebih berharga dari
nyawa seorang manusia. Barang berharga mereka tinggalkan, ternak tidak lagi
dipedulikan, yang penting waktu itu adalah bagaimana nyawa bisa selamat.
Beberapa hari setelah kejadian,
warga mulai berani untuk naik mengambil ternak yang juga telah kelaparan karena
tidak diberi makanan. Pa Jono menambahkan bahwa letusan Kelud pada 13 Pebruari
lalu, lebih dahsyat dari letusan pada tahun 1990. Seperti yang dia ungkapkan “Pengalaman Saya ini suda dua kali pertama tahun 1990
dan yang kedua, kemarin Pebruari 2014. Kalau
tahun 1990 tidak separah ini,
tetapi pada tahun 2014 pada tanggal 13 Pebruari itu memang saya rasakan, memang
sangat dahsyat sekali letusannya”. Situasi ini tentu saja akan membuat
siapapun yang ada disekitar lingkar Kelud akan mengalami ketakutan dan
kepanikan yang luar biasa.
Pada sisi yang lain, warga
masyarakat tetap menghargai kearifan lokal yang ada. hal ini nampak kelihatan
ketika erupsi terjadi. Sebagian besar warga dari beberapa perkampungan yakni
dari Parangagung, Margomoyo, Prapatan, Sukomoro, mengungsi ke wilayah Sumber
Suko, tepatnya di daerah yang mereka sebuat sebagai “Majapahit Lama”. Daerah
tersebut dianggap sebagai daerah yang tidak akan dapat dikena erupsi Kelud.
Meskipun jarak dari Majapahit Lama ke puncak Kelud bisa dikatakan masih cukup
dekat, kira-kira 12 kilo dari puncak Kelud. Kearifan lokal mempercayai bahwa
daerah tersebut tidak akan dapat kena bencana. Karena itulah ratusan tenda
pengungsi di buat di daerah tersebut. Para penduduk yang ada diwilayah
tersebut, membiarkan tanah mereka di tempati untuk dipasangi tenda para
pengungsi. Tidak ada yang keberatan ketika tenda pengungsi mulai di didirikan
di tanah mereka.
Relasi Asimetris
kenapa kok tidak ada pencurian,
padahal kesempatan begitu besar? kalau mencuri milik temannya sama dengan
mencuri milik sendiri. Seandainya saya mencuri
(kepunyaan bapak) sama dengan mencuri kepunyaan saya sendiri![6]
Nampak
sang aku memperlihatkan sebuah relasi yang dalam dengan sesamanya. Relasi itu
hanya terbangun, jika setiap orang mampu merasakan apa yang dirasakan oleh
sesamanya. Relasi ini muncul dari sebuah kesadaran, melihat orang lain bagian
dari diri sendiri. Etika wajah nampak hadir dalam ruang yang begitu menakutkan
akibat erupsi Kelud yang meluluhlantakkan beberapa desa yang ada di lerengnya.
Persis dalam situasi ini societas yang ada dilereng Kelud, memperlihatkan
sesuatu yang berbeda, di mana mereka melihat wajah yang lain sebagai bagian
dari dirinya. Tidak ada lagi pertanyaan siapa yang harus mereka tolong, atau
agama apa yang harus ditolong! “kehadiran manusia bukanlah kehadiran entitas,
melainkan kehadiran nilai-nilai. Dan, yang disebut manusia menurut Levinas
adalah kehadiran wajah.”[7]
Kehadiran
wajah yang lain, menunjukkan sebuah hubungan tanggungjawab. Mereka nampak tidak
hanya melihat kehadiran manusia dalam kehadiran fisiknya, tetapi jauh melampaui
itu. Kehadiran wajah yang lain dipandang dalam kehadiran nilai-nilai. “wajah
adalah produsen nilai-nilai keluhuran manusia. Wajah menjadi representasi
martabat.”[8] Sikap menghormati kehadiran yang lain,
bukanlah sebuah kepura-puraan, bukan pula dibalut oleh kepentingan tertentu,
seperti yang dilakukan oleh beberapa relawan yang membawa bendera tertentu. Tetapi
sikap menghargai yang lain sebagai bagian dari rasa tanggung jawab mereka
terhadap sesamanya. Tanggunga jawab tak terbatas ini, benar-benar ditunjukkan
dalam tanggungjawab bersama dalam saling membantu. Seperti diungkapkan dalam
wawancara bahwa:
“Kerjasamanya pada saat setelah erupsi yang jelas,
untuk warga masyarakat disini suda tidak membeda-bedakan lagi, untuk agama (apa
agamanya). Kalau malam ya ronda bareng-bareng, kalau ada yang nga punya air
saling memberi.”
Kehidupan
menjadi sebuah relasi tak terbatas dengan orang lain. Setiap orang nampak
menunjukkan orang lain adalah saudaranya, sehingga sekat-sekat primordial telah
diputuskan oleh erupsi Kelud. Siapapun dilihat sebagai bagian dari diri
sendiri. Sehingga kehadiran yang lain selalu mengugah hati nurani untuk
memberinya pertolongan. Kehadiran yang lain selalu membuat seseorang terusik
rasa kemanusiaannya. Situasi seperti ini bukanlah situasi yang dibuat-buat,
tetapi sebuah kondisi yang terjadi secara alami. Di mana setiap warga yang ada
dilingkar Kelud merasa tergugah rasa kemanusiaannya untuk memberi pertolongan
pada sesamanya. Meskipun mereka sama-sama korban dari erupsi Kelud, yang
sama-sama membutuhkan pertolongan, tetapi justru mereka menunjukkan tanggung
jawab besar terhadap sesamanya.
Situasi ini
misalnya terjadi dalam beberapa hal, misalnya: rumah warga yang di tinggal kosong, tidak ada yang kecurian. Ini karena
seubuah filosofi, bahwa mencuri kepunyaan tetangga sama dengan mencuri milik
sendiri. Rasa kepedulian yang sangat besar terhadap sesamanya menjadikan mereka
benar-benar menjadi satu keluarga. Tidak ada yang mengkuatirkan barang yang
ditinggalkan akan dicuri. Mereka semua sepertinya saling mempercayai satu
dengan yang lain.
Refleksi Filofosis Teologis
Erupsi Gunung Kelud menghajar
dan mengajar! Mungkin ini kalimat yang tepat untuk menggambarkan
situasi yang terjadi di lereng Gunung Kelud pasca erupsi. Bahwa erupsi Kelud,
pada satu sisi menghancurkan semua yang ada di lerengnya, tetapi pada sisi lain
mengajar mereka yang mau belajar. Wajah Kelud seperti berwajah ganda, disatu
sisi nampak sangar dan menakutkan, ketika memuntahkan api dan lahar dingin. Tetapi
pada sisi lain dia menjadi sangat ramah, dengan memberi kehidupan baru dengan kesuburan
tanah bagi mereka yang ada di bawah lereng Kelud. Jauh lebih dalam dari itu,
dia meninggalkan pelajaran berharga bagi manusia yang ingin belajar tentang
relasi hidup dengan sesamanya.
Di lingkar Kelud, ada sebuah
pelajaran berharga, bagaimana relasi persaudaraan telah meruntuhkan
tembok-tembok primordialisme. Persaudaraan menjadi sesuatu yang sangat berharga,
sehingga yang lain rela memberi tempat bagi keselamatan yang lain demi untuk
persaudaraan. Seperti yang diperlihatkan oleh beberapa orang, yang merelakan
mobil untuk evakuasi dipakai oleh saudaranya yang lain untuk mengevakuasi
mereka yang lebih tua (lansia). Mungkin ini dapat dimengerti dalam konsep sense of belonging. Seperti diutarakan
dalam buku Aku dan Liyan bahwa:
Ia rela
memberikan apa yang dibutuhkan oleh saudaranya tanpa mengharapkan balasan. Di
sini bukan lagi masalah take ang give
(mengambil dan memberi) sebagaimana prinsip khalayak umum dalam pertimbangan
untuk memberikan sesuatu kepada orang lain, melainkan give and get (memberi dan mendapat). …Ketika aku memberi sesuatu
untuk saudaraku, aku tidak mengambil atau meminta apapun darinya. Justru aku
mendapatkan sesuatu dari perbuatanku, yaitu terjalinnya ikatan persaudaraan
yang semakin erat dengan orang lain. Tindakan memberi menjadi sebuah aksi yang
semata-mata hanya demi cinta dan kasih bagi saudarnya yang lain.[9]
Memberi pertolongan kepada yang lain,
tidak lagi dimaknai dalam konsep, akan mendapatkan sesuatu dari hasil
pertolongannya. Karena yang ada adalah, manusia yang lain dilihat sebagai
bagian dari diri sendiri. Di mana hal sama terungkap dari ungkapan salah
seorang warga, yang memaknai bahwa mengambil barang yang lain sama dengan
mengambil miliknya. Atau dengan kata lain, menyakiti yang lain sama dengan
menyakiti dirinya sendiri. Relasi asimetris sungguh-sungguh telah menjadi hidup
di tengah-tengah societas yang mengalami bencana erupsi Kelud. Bahkan para
relawan yang datang dengan konsep take
and give, nampaknya harus belajar pada mereka yang dianggap korban.
Sehingga kembali dengan sebuah pandangan filosofis yang baru give and get.
Relasi asimetris yang dihidupi oleh
masyarkat lingkar Kelud, telah menampar mereka yang hidup dalam sikap
primordialisme. Mungkin di sanalah contoh societas
yang sesungguhnya. Di sana tidak ada kemunafikan, tetapi yang ada hanyalah
ketulusan. Persaudaraan menjadi bagian hidup yang benar-benar hidup. Hidup
tidak hanya dalam kata, tetapi dalam sikap dan tindakan kongkret. Di sana tidak
ada objek, karena yang ada hanyalah hubungan tidak terpisah antara aku dan
engkau. Hubungan yang begitu dekat tanpa sekat. Sebuah gambaran societas yang benar-benar hidup dalam
sebuah persaudaraan dan sebuah tanggung jawab terhadap yang lain. Wajah yang
lain telah menampilkan nilai baru yang melampaui wajah itu sendiri. Wajah yang
lain itu dipandang sebagai cerminan kehadiran diri sendiri. Karena itulah,
dapat dimengerti ketika mereka saling menolong, maka tidak ada kepentingan di
balik semua pertolongan yang diberikan. Mereka tulus melakukan semuanya, karena
yang lain adalah bagian dari diri mereka sendiri. Yang lain tidaklah dipandang
sebagai objek, tetapi dipandang dalam relasi yang sangat dalam, di mana
kata-kata pun tidak cukup untuk mengungkapkannya. Relasi itu disebut oleh
Levinas sebagai relasi asimetris.
Relasi yang dibangun ini, juga telah
menampar mereka yang menyebut diri hidup dalam persaudaraan se-iman. Bahkan
tidak salah jika penulis mengatakan telah mempermalukan mereka yang melihat
saudara hanya dalam bingkai se-agama. Wajah Yesus pun hadir di sana dan
mengingatkan kita, bahwa yang disebut saudara, bukan hanya mereka yang satu
agama dengan kita, bukan hanya mereka yang satu suku, tetapi jauh melampaui
semuanya itu (bdk.Lukas 10 25-37. Perumpamaan orang Samaria yang murah hati).
Mereka yang disebut saudara adalah mereka yang lemah, tertindas dan sedang
membutuhkan uluran tangan kita.
Kelud telah
memberi sebuah pelajaran berharga dalam melihat sesama. Di sanalah persaudaraan
dan persahabatan yang sejati, karena dibangun atas dasar kemanusiaan. Armada
Riyanto dalam buku Katolisitas Dialogal menyebut “…persahabatan langsung
merujuk pada keutamaan manusiawi. Persahabatan mencetuskan kesetiakawanan,
kebersamaan, kerukunan, kekerabatan, ketetanggaan, kekeluargaan dan yang
sejenisnya.”[10] Societas lingkar Kelud memperlihatkan semua
jenis persahabatan tersebut. Karena mereka memulainya dalam sudut pandang,
wajah yang lain adalah bagian dari kehidupan mereka. Mereka telah
memperlihatkan dan mengajar kita bagaimana harus membangun relasi asimetris.
Kepustakaan:
1. Armada
Riyanto, E. Befilsafat Politik,
Yogyakarta, Kanisius 2011.
______________, Katolisitas
Dialogal, Ajaran Sosial katolik.
Yogyakarta, Kanisius 2014.
______________, dkk (editor). Aku dan Liyan, Kata Filsafat dan Sayap.
Malang, Widya Sasana Publication, 2011.
2.
Hidya Tjaya,Thomas. Enigma Wajah Orang Lain, menggali pemikiran Emmanuel Levinas.
Jakarta, Keputakaan Populer Gramedia (KPG) 2012.
[1]
Wawancara dengan ketua stasi di Satak
[2]
Jangkar Kelud adalah organisasi yang dibentuk oleh organisasi kapal layar
Indonesia dari Yogya, yang bertujuan untuk memberi pelatihan-pelatihan kebencanaan
(manajemen bencana) kepada warga sekitar lingkar Kelud. (Informasi dari salah
seorang anggota lingkar Kelud yang ada di Satak).
[3]
Karina:Caritas Indonesia, adalah organisasi yang bergerak dalam memberi
dukungan bagi masyarakat yang mengalami tekanan, bencana, kemiskinan dan
sejenisnya.
[4]
Thomas Hidya Tjaya. Enigma Wajah Orang
Lain, menggali pemikiran Emmanuel Levinas. Jakarta: Keputakaan Populer
Gramedia (KPG), 2012. Hlm. 95
[5]
Wawancara dengan Pa Jono di Gedung Gereja katolik Sukomoro
[6]
Wawancara dengan salah satu nara sumber di Satak pada minggu 2 Nopember 2014
[7] E.
Armada Riyanto, Befilsafat Politik,
Yogyakarta: Kanisius, 2011, hlm 78
[8]
Ibid hlm 78
[9]
Armada Riyanto dkk (Editor), Aku dan
Liyan,Kata Filsafat dan Sayap.Malang : Widya Sasana Publication,2011, Hlm 172
[10]
Armada Riyanto. Katolisitas Dialogal,
Ajaran Sosial katolik. Yogyakarta: Kanisius 2014. Hlm 125