Wednesday 27 April 2016

Korupsi Meruntuhkan Societas: Korupsi dalam konsep keadilan Thomas Aquinas



Korupsi Meruntuhkan Societas:
Korupsi dalam konsep keadilan Thomas Aquinas
Oleh Ivan Sampe Buntu

                                                                       Abstrak
Korupsi adalah salah satu penyakit di negeri ini, penyakit yang seperti virus mematikan menjangkiti setiap pejabat. Di hadapan para koruptor, keadilan diputar balikkan. Celakanya bahwa rakyat seperti mengafirmasi kelakuan para koruptor. Pejabat yang telah divonis oleh pengadilan sebagai perampok uang negara, justru bangkit dan kemudian terpilih kembali sebagai bupati atau legislatif. Sedangkan mereka yang jujur justru tidak diberi tempat, bahkan kemudian akan dijebak dalam berbagai kasus. Keadilan dengan demikian tidak lagi diberi ruang, karena ketidakadilan justru mendapat tempat terhormat. Bukankah korupsi adalah bentuk ketidakadilan yang telah merampas hak-hak rakyat. Karena itulah korupsi telah meruntuhkan societas. Dengan pandangan Thomas Aquinas, kita akan melihat bagaimana korupsi telah menjadi ruang-ruang terjadinya ketidakadilan dalam masyarakat.       
Kata Kunci
Keadilan, hak kodrati, hak positif,  keadilan distributif, keadilan komutatif, korupsi, hasrat, societas, proporsional, yang lain.
Pengantar
            “Keadilan (iustitia) bagi Santo Thomas Aquinas merupakan salah satu dari empat keutamaan moral pokok (virtus cardinalis) yang menjadi prasyarat bila orang ingin hidup bahagia dan sejahtera.”[1] Tidak ada  kebahagiaan tanpa mengusahakan keadilan, karena keadilan adalah salah satu syarat memperoleh kebahagiaan. “sebuah kebajikan keutamaan manusia adalah salah satu yang membuat tindakan manusia dan manusia itu sendiri menjadi baik".[2] Tindakan korupsi, jelas tidak mugkin akan memberi kebahagiaan, karena tindakan ini jelas bertentangan dengan keadilan. Sekalipun mereka yang korup terlihat menikmati hasil korupsinya, tetapi mereka akan selalu di hakimi oleh nurani mereka. Karena itu hidup para koruptor tidak akan pernah tenang, sekalipun mereka tersenyum ketika tertangkap tangan oleh KPK. Mengapa mereka tidak akan pernah tenang? Karena pada dasarnya setiap orang adalah baik (kodrat manusia adalah baik), sehingga ketika dia melakukan kesalahan, maka dia akan dihakimi oleh dirinya (nuraninya) sendiri.
            Keadilan tidak bisa hanya dipahami dalam konsep asas manfaat seperti diungkapkan oleh kaum utilitarianisme, tetapi keadilan harus dilihat sebagai keutamaan.
Aristoteles bersama gurunya Plato (keduanya disebut bapak filsafat politik), tidak hanya menyebut keadilan sebagai kebajikan utama. Lebih dari itu, ia berpendapat bahwa keadilan begitu utamanya sehingga “di dalam keadilan termuat semua kebajikan”. Dengan demikian keadilan bagi Aristoteles merupakan kebajikan yang lengkap dalam arti seutuhnya karena keadilan bukanlah nilai yang harus dimilki dan berhenti pada taraf memilikinya bagi diri sendiri; melainkan juga “pelaksanaan aktif”, dalam arti harus diwujudkan dalam relasi dengan orang lain.[3]
Keadilan dengan demikian tidak hanya bicara tentang manfaat apa yang saya dapatkan dari sebuah tindakan, tetapi dia menunjukkan pada sebuah relasi dengan yang lain. Artinya keadilan juga berbicara tentang relasionalitas manusia. Keadilan dengan demikian harus nyata dalam tindakan eksternal manusia. Di mana tindakan tersebut bukan sekedar tindakan, tetapi sebuah tindakan yang orientasinya terarah pada kebaikan yang lain, atau kebaikan bersama. Seperti dikutip Thomas Aquinas dalam Summa bahwa "seorang manusia dikatakan menjadi manusia hanya karena ia menghormati hak-hak dari orang lain."[4] Penghormatan terhadap yang lain dengan demikian begitu penting dalam pandangan Thomas Aquinas. Manusia berkeutamaan baru bisa disebut manusia ketika dia mampu menghargai atau menghormati milik orang lain.
Keadilan dan hak menjadi sesuatu yang tidak terpisahkan dalam pandangan Aquinas. Keadilan rasanya tidak bermakna, tanpa penghargaan milik yang lain.  Bagaimana supaya hal ini bisa terjadi? Tentu hal ini harus menjadi habitus dalam diri manusia. Artinya penghargaan terhadap yang lain itu harus menjadi sebuah kebiasaan manusia.
Keadilan Thomas Aquinas
            Sebelum Thomas Aquinas membicarakan tentang keadilan, maka dia mengawalinya dengan memberi penjelasan tentang hak. Hak merupakan sesuatu yang menjadi milik seseorang, yang diberikan kepadanya sebanding dengan kapasitasnya. Sesuatu bisa menjadi hak seseorang tidak datang begitu saja, tetapi di sana ada hak kodrati (natural right) dan hak positif (positive right). Apa itu hak kodrati? Hak kodrati dalam pandangan Aquinas adalah hak yang hakiki ada pada setiap orang dan tidak boleh dirampas daripadanya. Hak untuk hidup oleh setiap makhluk adalah hak kodrati. Hak kodrati inilah yang menjadi cikal bakal dari hak asasi manusia. Sedangkan hak positif, adalah hasil kesepakatan antara manusia. Kesepakatan ini kemudian menjadi sebuah norma yang harus ditaati oleh semua orang.[5] Hak positif ini mencoba menerjemahkan apa yang adil dalam pandangan setiap orang. Sedangkan hak kodrati tidak perlu diterjemahkan karena dia hakiki melekat dalam diri manusia.
            Hak positif, telah diterjemahkan dalam hukum-hukum positif, yang dijalankan oleh yudikatif. Tentu saja hak positif tidak boleh bertentangan dengan hak kodrati, karena jika ini bertentangan, maka itu tidak bisa dijadikan sebagai pegangan dalam melaksanakan hukum. Hukum itu akan menjadi pincang dan tidak adil jika dia bertentangan dengan hukum kodrati. Misalnya, pembunuhan atas nama apapun, tidak boleh dijadikan alasan untuk menjadikannya sebagai hukum positif. Atau seorang yang mencuri karena lapar, ini tidak dapat menjadi alasan untuk menjadikan tindakan mencuri sebagai alasan menjadikannya hukum positif. Karena kedua alasan ini bertentangan dengan hukum kodrat, di mana setiap orang tidak akan pernah menginginkan nyawanya dicabut atau barang-barangnya dicuri oleh yang lain.
            Hak kodrati sendiri merupakan hak yang universal menjadi milik semua orang, bahkan semua makhluk. Santo Thomas Aquinas menyebut bahwa, “: karenanya hak yang kita sebut hak kodrati adalah umum untuk kita dan hewan lainnya sesuai dengan jenis pertama commensuration.”[6]  Hak kodrati, seperti hak untuk melahirkan adalah sesuatu yang alami dimiliki oleh semua makhluk. Pertanyaanya adalah darimanakah datangnya hak kodrati tersebut? Jika menyimak secara baik apa yang dikatakan Thomas Aquinas dalam Summa, maka Thomas akan mengatakan sebagai seorang teolog bahwa:
Hukum kodrat (ius natural) sendiri jangan dipahami sebagai hukum alam. Hukum kodrat menurut Aquinas, merupakan hukum moral yang adalah partisipasi rasional manusia atas hukum ilahi (participation legis eternae in rationali creatura);berkat anugerah akal budi (lumen naturalis).”[7]
            Hak kodrati dengan demikian secara alami dimiliki semua makhluk. Hak kodrati juga berdampak pada hal lain misalnya, pada hal penguasaan akan tanah. “Di mana setiap orang akan berusaha menguasai tanah sebagai tempat untuk menanam padi atau sayuran untuk bisa mempertahankan hidup. Artinya hak hidup sebagai hak kodrati manusia mempunyai dampak langsung dalam penguasaan akan sesuatu dalam hidupnya.”[8]
            Selain keadilan yang dapat dilihat dalam hak, yakni: Hak kodrati dan hak positif. Keadilan juga dapat kita mengerti dalam relasionalitasnya, seperti telah disampaikan diatas.  Di mana keadilan dapat terlihat dalam relasi dengan yang lain. Relasi dengan yang lain ini bisa dalam relasi dengan individu atau relasi dengan orang lain secara umum. Relasi ini bisa relasi dengan orang yang dekat dengan kita, misalnya saudara, anak dll. Tetapi relasi ini bisa juga relasi dengan orang yang tidak kita kenal yang adalah sesama warga. Karena itulah semua tindakan kebajikan yang mengarah pada kebaikan adalah keadilan hukum. [9] Dalam hal ini setiap individu selalu diarahkan pada kebaikan bersama (bonum commune). Karena itulah setiap individu dalam masyarakat harus melakukan tindakan baik untuk menuju pada kesejahteraan umum.
Dalam hal ini pun Thomas Aquinas melarang untuk melakukan tindakan yang dapat melukai diri sendiri. Karena tindakan itu akan dianggap sebagai tindakan yang melahirkan ketidakadilan bagi yang lain. Mengapa disebut tindakan tidak adil bagi masyarakat? Karena di dalam keadilan ada sebuah relasi yang dibangun untuk menuju kebaikan bersama (bonum commune). Sehingga sangat logis jika tindakan bunuh diripun dilarang oleh Aquinas. Seperti diungkapkannya dalam Summa dengan menyitir Aristoteles bahwa, “karena setiap bagian, seperti, milik bersama. Karena itu sekarang setiap orang adalah bagian dari masyarakat, dan sebagainya, karena itu, ia milik masyarakat. Oleh karena itu dengan membunuh dirinya sendiri ia melukai masyarakat, Seperti dikatakan Sang Filsuf Aristotelese (Etika v., 11).”[10] Dengan demikian setiap individu mempunyai tangunggjawab keadilan terhadap masyarakat di mana dia ada. Tindakan pribadi seperti bunuh diri, dianggap sebagai tidak adil untuk yang lain. Tidak adil, karena dia melukai komunitasnya sebagai bagian dari hidupnya.
Keadilan dengan demikian selalu berkaitan dengan yang lain. Artinya keadilan tidak dapat dilepaskan dari relasi dengan yang lain. Relasi ini mengandaikan adanya keadilan. Karena dalam relasi ini, ada keterhubungan yang membuat manusia menuju pada kebaikan bersama. Relasi pada kebaikan bersama inilah yang menunjukkan adanya keadilan. Ketidakadilan sama dengan melawan kodrat dalam diri manusia sebagai makhluk yang diciptakan baik adanya, dan sekaligus sebagai makhluk sosial (animal sociale et politicum).
Pada sisi lain kita tidak boleh melupakan spesies dari keadilan itu sendiri yakni: Keadilan distributif dan keadilan komutatif. Di mana kita bisa melihat bahwa keadilan distributif berkaitan dengan relasi individu dalam masyarakat atau (negara). Di sana prinsip proporsionalitas menjadi hal yang tidak boleh diabaikan. Seorang buruh yang bekerja satu hari, tidak boleh disamakan gajinya dengan buruh lainnya yang hanya bekerja setengah hari. Ini akan dianggap timpang atau tidak adil, karena tidak proporsional. Kesetaraan dalam hal ini tidak kemudian ditentukan oleh kuantitasnya tetapi lebih oleh proporsinya.[11]
Keadilan komutatif sendiri berbicara tentang keadilan yang mengurai tentang relasi timbal balik antara individu. Prinsip kesetaraan yang berlaku disini adalah prinsip kesetaraan aritmetik. Atau prinsip kesetaraan kuantitatif. Prinsip ini biasanya banyak berlaku dalam jual beli antara dua pihak. Sekalipun kedua bela pihak tidak saling mengenal, tetapi masing-masing berhak menerima dan menyerahkan apa yang harus ditukarkan.[12]
Dari prinsip-prinsip keadilan yang telah diuraikan dalam pandangan Thomas Aquinas, maka semua yang adil itu akan tercermin dalam tindakan manusia. Artinya menilai adil atau tidak, tidak hanya bisa diandaikan dalam pikiran, tetapi keadilan harus selaras antara rasionalitas dengan tindakan manusia. Seorang menyebut dirinya adil, tidak hanya dapat dilihat dalam apa yang dikatakan, tetapi dalam tindakan-tindakannya dalam relasi dengan yang lain. Meskipun demikian manusia tetap harus diandaikan sebagai makhluk yang akan bertindak adil, karena manusia diciptakan dalam kebaikan.
Korupsi dan Rapuhnya Societas
            Korupsi secara etimologis berasal dari kata latin corruptus, yang berarti tindakan yang merusak, atau tindakan yang menghancurkan. Pertanyaannya adalah, apakah semua tindakan merusak atau menghancurkan dapat disebut sebagai tindakan korupsi? Pertanyaan ini nampaknya sederhana tetapi tidak mudah untuk menjawabnya. Apakah seekor gajah yang mengamuk dan menghancurkan sebuah rumah dapat dikategorikan tindakan korupsi? Dengan muda kita akan menjawab bahwa itu bukanlah tindakan korupsi? Mengapa? Karena seekor gajah tidak pernah sadar terhadap apa yang dilakukannya. Korupsi dengan demikian akan kita kaitkan dengan tindakan moral, dan tindakan moral selalu terkait dengan kehendak bebas manusia. Andang Binawan menyebut bahwa: “Dalam pemahaman baru, hanya manusia, yang nota bene punya kekuasaan dan kebebasan, yang bisa melakukan korupsi. Tikus tidak!”[13]    
            Korupsi dengan demikian terkait dengan kesadaran manusia dalam melakukan tindakan busuk, atau tindakan merusak. Dalam filsafat klasik, “korupsi dianggap segala yang bertentangan dengan kemurnian. Dalam arti ini jiwa adalah sesuatu yang murni, sementara tubuh dan semua materi fisik, adalah hal-hal yang korup.”[14] Apakah ini berarti jiwa yang terpenjara oleh tubuh (soma sema) tidak pernah salah, tetapi yang salah adalah tubuh material? Saya tentu tidak akan membahas konsep trilogi jiwa atau pemisahan tubuh dan jiwa dalam pandangan Platon. Tetapi saya akan mengurai makna dari tindakan yang korup. Sebuah tindakan merusak yang dilakukan dengan kesadaran. Tindakan yang kemudian memberi ruang ketidakadilan bagi yang lain.  
            Korupsi adalah tindakan yang selalu terkait dengan hasrat untuk memiliki sesuatu yang bukan haknya. Tindakan seperti ini tentu dapat dikategorikan sebagai suatu tindakan yang tidak sosial. Mengapa? Karena tindakan ini sama sekali tidak memandang yang lain sebagai bagian dari dirinya. Artinya tindakan korupsi tidak lagi memberi ruang relasionalitas. Bahkan dapat dikatakan bahwa tindakan korupsi adalah tindakan orang yang tidak rasional. Mengapa tidak rasional? Karena dia telah melawan kodrat kebaikan dalam dirinya sendiri. Bukankah manusia adalah makhluk yang pada dasarnya adalah baik. Sehingga ketika dia melakukan tindakan korup, maka ini sama dengan melawan kodratnya sendiri.
            Pada sisi lain manusia sebagai makhluk rasional, selalu bertindak berdasarkan rasionalitasnya. Artinya dia bertindak dalam sebuah kesadaran. Tidak ada manusia yang bertindak diluar dari kesadarannya. Sehingga tindakan korupsi pun adalah suatu tindakan yang dapat dilihat sebagai sebuah tindakan yang dilakukan dengan kesadaran. Karena itulah manusia dalam hal ini membutuhkan keutamaan kebaikan, di mana tindakannya selaras dengan nalar. Selaras dengan nalar berarti manusia membutuhkan tiga hal yakni:
(1). Nalar sehat (recta ratio). (2). Tindakan yang selaras dengan nalar adalah tindakan yang dibawah dalam relasi, diungkapkan dengan tata perilaku. (3). Manusia harus menghilangkan halangan yang menghambat kesehatan nalar. Apa halangan itu? Halangan ada dua: pertama, kehendak dipengaruhi oleh suatu kecenderungan instingtif kita untuk mencari kepuasan fisik berkaitan dengan seks, dan makan minum. Kedua, dipengaruhi oleh ketakutan, atau kecemasan.”[15]
Tindakan korupsi dengan demikian adalah tindakan yang dilakukan tidak lagi selaras dengan nalar. Mengapa tidak selaras dengan nalar? Karena para koruptor bertindak dengan nalar yang sakit, dan tidak lagi memperhitungkan relasionalitas dengan yang lain. Ketika dia tidak mampu memperlihatkan relasionalitasnya, maka dia akan menjadikan yang lain sebagai subaltern. Sehingga tindakan-tindakannya tidak lagi di bawah bimbingan nalar sehat. Dalam hal ini tindakan manusia telah berada dibawah kendali, kehendak yang dipengaruhi oleh kecenderungan instingtif yang selalu ingin mencari kepuasan fisik (hasrat akan makan, minum, uang dan seks). Pada sisi lain dia berada dalam sebuah ketakutan/kecemasan. Ketakutan membuat dia menjadi orang yang serakah dan tamak. Sehingga tidak lagi mempunyai rasa malu untuk menjadi korup.
Ketika seorang koruptor tertangkap tangan misalnya. Mereka masih bisa tersenyum didepan layar tv. Seolah tindakan mereka adalah tindakan yang sah dan dapat diterima. Bahkan merekapun cenderung membela diri mereka sebagai orang yang tidak pernah salah. Hasrat akan uang dan ketakutan telah membuat mereka menjadi orang-orang yang tidak lagi mempunyai keutamaan dalam dirinya. Tidak ada perilaku terpuji yang tersisa, di mana kita dapat melihat keadilan. Artinya perilaku terpuji dari subjek pelaku, terhadap subjek yang lain telah hilang. Karena bagaimanapun keutamaan keadilan tidak hanya terlihat pada subjek pelaku, tetapi juga pada subjek yang lain. Di sana kita akan melihat keadilan dalam sebuah kesederajatan manusia. Keadilan selalu mengandaikan adanya hubungan subjek yang setara.
Tentu saja kita tidak akan bisa melihat adanya kesetaraan dalam tindakan korupsi. Karena di sana kita tidak melihat keadilan pada subjek yang lain. Di mana keadilan hanya bisa terlihat dari penghargaan terhadap hak yang lain. Dalam hal itu hak dapat dilihat sebagai objek dari keadilan. Sehingga ketika aku tidak lagi menghargai hak orang lain, maka aku tidak dapat dikatakan berlaku adil. Karena aku telah mengabaikan objek dari keadilan. Thomas Aquinas menyebut bahwa kesetaraan sendiri dapat dilihat dengan dua cara yakni: “(1). Karena telah ditentukan sendiri oleh Allah (2). Karena kesepakatan atau norma-norma umum.”[16]
Apa yang telah ditetapkan oleh Allah dan apa yang telah disepakati bersama, mestinya menjadi pegangan untuk tidak melakukan tindakan korup. Tindakan korup jelas merugikan yang lain, karena dalam tindakan tersebut, secara paksa kita telah merampas hak orang lain. Merampas hak yang tentu saja bukan milik kita. Sehingga sangat tidak rasional ketika seseorang melakukan tindakan korupsi. Ini bukan hanya sekedar rasa malu, tetapi ini menyangkut kodrat manusia sebagai yang baik. Kodrat manusia untuk tidak mencurangi sesamanya hanya karena hasrat dalam dirinya. Mestinya keadilan menjadi tabiat bagi manusia untuk menghargai hak-hak orang lain.
Tindakan korupsi dengan demikiann akan berdampak luas, di mana korupsi pasti akan membuat societas menjadi sangat rapuh. Karena ketika hak seseorang tidak lagi dihargai, maka dia bisa bertindak diluar batas kewajaran. Atau dia akan bertindak tidak rasional. Karena dia berada dalam suatu ancaman ketakutan. Di mana kita telah melihat, bahwa ketakutan adalah salah satu yang membuat manusia mempunyai nalar yang sakit. Tidak terbayangkan, ketika semua orang berada dalam sebuah ketakutan, karena haknya tidak dihargai, maka setiap orang akan berusaha untuk mempertahankan hak-haknya.
Dampak dari semua ketakutan ini, akhirnya berimbas pada konflik. Berimbas pada “lahirnya gerakan-gerakan fundamentalis atas nama agama dan ideologi”[17]. Semua ini lahir akibat dari perlakuan tidak adil yang mereka alami. Tidak mengherankan ketika Papua terus saja bergolak dengan berbagai penembakan yang dilakukan oleh OPM. Semua ini terjadi bukan tanpa alasan. Tetapi ini terjadi akibat dari adanya kesenjangan sosial yang begitu lebar, ditambah dengan tindakan korupsi oleh sekelompok orang yang jelas-jelas telah mengambil hak orang lain. Semua tindakan ini telah membuat kerapuhan dari societas.
            Kerapuhan societas dengan demikian, tidak perlu kita cari akar-akarnya pada doktrin agama-agama, atau pada ideologi-ideologi kiri atau kanan. Tetapi semua berawal ketika manusia telah kehilangan rasionalitasnya. Ya, kehilangan rasionalitas karena mereka terlalu menghasrati apa yang bukan haknya. Sebab setiap orang yang menghasrati apa yang bukan haknya, maka dia pasti terjatuh pada nalar yang sakit. Mungkin kita bisa juga mengatakan bahwa tindakan seperti ini adalah tindakan orang-orang yang tidak mengenal dirinya sendiri. Di mana “Know your self” adalah langkah pertama perjalanan manusia menggapai kebenaran.”[18] Tidak mengenal dirinya karena dia telah bertindak diluar kehendak dari nalar. Kerapuhan societas dengan demikian terjadi karena manusia tidak lagi memberi ruang untuk rasionalitasnya. Sehingga hasratnya telah mengalahkan rasionalitasnya.
            Rapuhnya societas dengan demikian pertama-tama lahir dari tidak sehatnya nalar. Kondisi seperti inilah yang membuat manusia menjadi seriga bagi sesamanya (homo homini lupus). Orang yang tidak lagi memakai nalar sehatnya, akan bertindak tidak rasional. Tetapi tindakan ini bukan karena dia tidak tahu, tetapi karena hasrat yang mengalahkan rasionalitasnya. Karena dalam pandangan Thomas Aquinas sendiri, tidak ada sesuatu yang dikerjakan manusia diluar dari kesadarannya. Artinya tindakan korupsi tidak dilakukan diluar ketidak tahuannya, tetapi semua dilakukan secara sadar. Sehingga tidak ada alasan sama sekali untuk membenarkan tindakan mereka.
Apakah orang-orang seperti itu masih layak disebut sebagai manusia, ketika mereka telah kehilangan identitasnya sebagai manusia, yakni kehilangan rasionalitasnya? Bukankah mereka tidak ada lagi bedanya dengan binatang. Tidak ada bedanya, karena pembeda itu telah hilang yakni rasionalitas. Yang lebih mengerikan bahwa yang melakukan tindakan korupsi adalah mereka yang disebut sebagai orang-orang “terpelajar”. Kaum “terpelajar” inilah yang banyak kita lihat tertangkap tangan oleh KPK. Tetapi menyedihkan bahwa tindakan korupsi di negeri ini, seperti mendapat dukungan secara tidak langsung dari masyarakat. Salah satu contoh paling kongkret yang dapat kita lihat misalnya: “Seorang siswa SD pada tahun 2011 yang dipaksa gurunya memberi contekan pada teman-temannya, tetapi justru murid tersebut tidak menuruti perintah guru, tetapi naas justru murid mendapat kecaman, bahkan diusir oleh warga dari desanya bersama dengan keluarganya.”[19]
Gambaran seperti ini memperlihatkan, betapa jujur di negeri ini menjadi begitu mahal. Semua orang seperti telah kehilangan rasionalitas, sehingga dengan mudah menghakimi mereka yang jujur. Sama seperti yang dialami oleh Sudirman Said menteri SDM, dalam melaporkan rekaman Setya Novanto ketua DPR, yang meminta saham kepada freeport. Tetapi justru dalam pemeriksaan oleh badan kehormatan DPR, sepertinya terlihat si pelapor yang malah dipojokkan dengan berbagai pertanyaan yang tidak mendasar. Dengan kata lain, BK DPR terkesan justru melindungi perampok daripada subjek pelapor. Semua logika berpikir seperti ini membuat kita terhenyak, betapa negeri ini telah berada dalam ketidak pastian kebenaran. Mereka yang diharapkan mewakili rakyat, justru secara perlahan bersekongkol melawan kebenaran.
Semua fenomena tersebut di atas, adalah tanda-tanda rapuhnya societas. Sebuah tanda betapa rasionalitas manusia telah dikalahkan oleh hasrat akan sebuah kepentingan. Manusia tidak lagi mencintai dirinya, sehingga membuat relasi dengan yang lain pun menjadi sangat rapuh. Rapuh karena hidup tidak lagi mengarah pada sebuah kebaikan bersama. Kebaikan bersama dalam hal ini tidak lagi mempunyai tempat.
Keadilan versus Tindakan Korup
            Prinsip keadilan seperti telah dijelaskan sebelumnya akan terlihat dalam tindakan manusia sebagai makhluk rasional. Keadilan terlihat dari bagaimana manusia menunjukkan penghargaan terhadap hak-hak yang lain. Bukan justru mempretelinya satu persatu. Keadilan adalah kodrat yang melekat dalam diri setiap orang, dan dimiliki oleh semua manusia. Mereka yang berbuat tidak adil, dengan demikian masih mempunyai kesempatan untuk kembali pada kodrat asalinya sebagai makhluk yang baik. Semua manusia dengan demikian diandaikan baik, sehingga ketika dia melakukan tindakan jahat, maka tidak berarti itu adalah kodratnya. Tetapi Aquinas akan melihat atau memaknai sebagai ketidak hadiran kebaikan.
            Seorang koruptor dengan demikian dapat dikatakan sebagai orang yang telah bertindak diluar kodratnya. Dengan demikian koruptor masih dapat kembali pada posisi awalnya, sebagai makhluk yang diciptakan baik. Dalam bahasa iman kita akan menyebutnya sebagai proses pertobatan. Meskipun sering kali, pertobatan justru telah menjadi tempat bersembunyi bagi mereka yang korup. Bahwa mereka berbuat kejahatan, karena pintu pertobatan masih sangat terbuka. Hari ini bertindak korup, besok bisa bertobat. Seolah kejahatan dan kebaikan itu telah direncanakan secara matang.
            Jika kembali melihat pandangan Thomas Aquinas tentang keadilan, maka keadilan itu adalah suatu habitus yang dilakukan manusia bebas berdasarkan kehendaknya sendiri. “Keadilan adalah Habit dimana seorang manusia dikatakan mampu melakukan hal tindakan sesuai dengan pilihannya."[20] Dengan demikian tindakan keadilan mestinya menjadi sebuah kebiasaan dalam diri manusia (habitus). Habitus yang membuat setiap orang dapat konsisten untuk bertindak adil. Sebaliknya jika dia tidak menjadi habitus, maka sulit untuk melihat keadilan terjadi dalam diri manusia. Karena keadilan selalu terkait dengan hak setiap individu. Di mana setiap individu harus dihargai hak-haknya sehingga tercipta sebuah keadilan.
            Keadilan selalu akan menjadi lawan dari ketidakadilan. Atau dengan kata lain, bahwa keadilan akan menjadi lawan dari tindakan-tindakan korup oleh manusia. Karena tindakan korup adalah tindakan yang merusak tatanan hidup manusia, bahkan dapat dikatakan bahwa tindakan ini telah menghancurkan relasi cinta kasih dengan yang lain. Jika relasi ini dirusak oleh tindakan korup, maka dapat dipastikan bahwa manusia tidak lagi akan bertindak sosial dalam hidupnya. Sehingga dia telah menyangkal dirinya sebagai makhluk sosial. Penyangkalan ini akan berdampak luas, di mana manusia pada akhirnya akan saling mencurigai satu dengan yang lain.
Dalam konsep Thomas Aquinas sebagai seorang teolog, maka salah satu penyangkalan yang terlihat jelas dalam tindakan korup adalah, penyangkalan akan Allah. “Agama (religio) pun, misalnya, menurut Aquinas merupakan suatu bentuk keutamaan keadilan, sebab dalam tindakan beragama manusia memberikan kepada Allah apa yang menjadi hak Allah.”[21] Hak Allah dalam hal ini, tentu harus dipahami dalam tindakan cinta. Di mana setiap orang berhak untuk melakukan tindakan cinta pada yang lain untuk menyatakan keadilan Allah. Dengan demikian ketika seseorang tidak menyatakan cintanya pada yang lain, ia sama dengan menyangkal kodratnya sebagai makhluk yang diciptakan dalam cinta. Karena itulah Thomas Aquinas menyebut bahwa, “mencuri adalah tindakan yang bertentangan dengan keadilan karena itu mencuri adalah dosa.”[22]
Tindakan mencuri dalam hal di atas dianggap bertentangan atau melawan keadilan. Dia tidak hanya bertentangan dengan kodrat manusia, tetapi sekaligus dia bertentangan dengan hukum Allah. Sehingga korupsi sebenarnya tidak mempunyai tempat dalam hidup manusia. Tidak ada ruang bagi mereka yang bertindak korup. Korupsi sama saja dengan berbuat tidak adil pada sesama, karena dia telah merampas apa yang bukan haknya.
Melihat lebih dekat kebusukan-kebusukan dalam masyarakat yang menampak dalam penderitaan dan ketidakadilan, kita dapat berkata bahwa manusia tidak sepenuhnya mengakar dalam rasionya. Manusia cenderung rapuh tetapi sekaligus berkuasa: manusia adalah aktor-aktor pembusukan yang sangat ampuh dan lihai.[23]
dari pandangan ini, dapat kita katakan bahwa tidak setiap manusia menjadikan rasionalitasnya sebagai dasar pertimbangan dalam bertindak. Pernyataan ini akan sangat mudah kita dapatkan bukti-buktinya dalam kehidupan masyarakat. Di mana kita akan melihat berbagai tindakan yang tidak rasional yang dilakukan oleh manusia. Meskipun sering kali kebenaran diputar balikkan untuk suatu tindakan yang tidak jelas. Fondasi kebenaran menjadi tidak jelas, dan kabur, atau sengaja dikaburkan oleh manusia. Inilah yang membuat keadilan sebagai salah satu keutamaan Kardinal tidak lagi diberi tempat dalam diri manusia yang korup.
Fondasi kebenaran yang mestinya mengakar dalam diri manusia, dalam rasionalitasnya, kini telah berubah total. Hasrat sepertinya telah menjadi acuan bagi manusia untuk bertindak. Hasrat akan uang, makan minum dan seks, sepertinya justru menjadi sebuah tren baru dalam hidup keseharian manusia. Kenikmatan badaniah telah mengalahkan rasionalitas manusia. Ketika rasionalitas tersingkir, maka kita dapat melihat bahwa keutamaan pun tersingkir bersama dengan tersingkirnya rasionalitas manusia. Dengan demikian salah satu keutamaan manusia yakni keadilan pun ikut tersingkirkan. Keadilan tentu tidak mungkin ditegakkan tanpa difondasikan dalam rasionalitas manusia.
Dengan demikian rasionalitas menjadi sesuatu yang sangat penting dalam diri manusia. Karena itu tepatlah apa yang dikatakan Aristoteles bahwa, salah satu pembeda manusia dan makhluk yang lain adalah rasionalitasnya. Thomas Aquinas menyebut bahwa sejak manusia lahir, dia telah memiliki intelektus agen sebagai pembeda dari yang lain. Dengan demikian, jika manusia bertindak selaras dengan rasionya, maka sebenarnya dia tidak akan melakukan tindakan korupsi. Karena dia telah memiliki intelektus agen dalam dirinya.
Pada sisi yang lain, ketika kita merujuk pada keadilan distributif dan keadilan komutatif, maka kita akan dengan mudah melihat bahwa sesungguhnya baik keadilan distributif pun keadilan komutatif tidak memberi ruang bagi tindakan korup. Meskipun kedua keadilan ini menganut asas berbeda dalam memahami keadilan. Di mana yang satu memahami keadilan secara proporsional dan yang satu memahami keadilan secara kuantitatif. Ketika korupsi diperhadapkan pada kedua keadilan ini, maka asas proporsional dan kuantitatif akan bertentangan dengan keduanya. Mengapa? Karena, proporsional akan menganggap seorang yang mengambil lebih dari yang tidak dia kerjakan adalah tindakan tidak adil.
Demikianpun dengan keadilan distributif, akan menganggap tidak adil jika seseorang mengambil lebih dari yang tidak dia kerjakan. Seseorang hanya bisa menerima haknya berdasarkan apa yang dia kerjakan (proporsional). Atau dengan kata lain, seseorang tidak boleh menghasrati kekuasaan atau kekayaan melebihi kerja-kerja yang dia lakukan. Adil jika dia menerima haknya berdasarkan proporsi yang telah ditetapkan. Sehingga ketika dia telah menerima haknya, maka dia tidak lgi berhak mengambil apa yang bukan haknya.   
            Dari pandangan-pandangan diatas, maka dapat dikatakan bahwa, tindakan korupsi akan selalu bertentangan dengan keadilan. Karena dia akan merusak prinsip-prinsip dari keadilan. Tindakan korupsi ini jelas telah membuat manusia tidak hanya membuat kerugian bagi orang lain, tetapi juga akan merusak tatanan relasionalitas diantara manusia. Hak-hak setiap orang akan dilanggar oleh tindakan-tindakah korupsi, atau dengan kata lain, hak yang lain dirampas secara paksa oleh para koruptor.  Alangkah menyedihkan ketika ketimpangan sosial di alami oleh sebuah negara yang kaya raya. Di mana kekayaan alam hanya dinikmati oleh mereka yang korup. Sementara seorang anak miskin, untuk makan dalam sehari saja mereka tidak mampu.
Ketimpangan Ketidakadilan
Ketika yang kaya telah berpikir makanan apa (direstoran mana) mereka akan makan malam, sementara si miskin sedang berpikir apa yang akan mereka makan (apa mereka masih bisa makan atu tidak). Yang satu berpikir, tentang ketersediaan yang melimpah sedang yang lain berpikir tentang sesuatu yang tidak jelas. Inilah gambaran dari ketimpangan sosial yang terjadi dalam ketidakadilan di bangsa ini. Di mana yang kaya menjadi semakin kaya, sehingga ketersediaan sumber daya alam seperti tidak lagi mencukupi untuk setiap orang. Di mana, apa yang telah disiapkan oleh alam, harusnya mencukupi untuk semua manusia. Ketidak cukupan, tentu saja tidak terjadi karena alam ini tidak menyediakan makanan, tetapi lebih karena hasrat yang tidak terbatas pada diri manusia. Artinya semua ini terjadi oleh karena ketidakadilan yang dilakukan oleh manusia.
Dari pandangan-pandangan yang ada, maka dapat dikatakan bahwa ketimpangan yang terjadi selalu berawal dari manusia, dan bukan karena persediaan dari alam telah berkurang. Ketimpangan selalu berawal dari diri manusia, dari ketidak mampuan mereka dalam mengontrol diri mereka. Ketidak mampuan mengontrol diri ini, terlihat dari keserakahan manusia yang berdampak pada, hak yang lain tidak diberikan. Dalam hal ini sisi kemanusiaan manusia yang dilihat dalam rasionalitasnya menjadi sangat dipertanyakan. Manusia dalam hal ini tidak ada bedanya dengan binatang ketika dia hanya menggunakan hasratnya untuk kepentingan dirinya. Tanpa kontrol terhadap apa yang ada, maka manusia akan selalu dikuasai oleh hasrat.                  
Refleksi Filosofis
            Keadilan harus dilihat dalam keselarasan Pikiran dan tindakan, seperti halnya karya seorang seniman dikatakan benar jika sesuai atau selaras dengan seni. Keadilan dengan demikian juga terkait dengan tindakan yang benar. Seperti hukum Allah yang telah menetapkan keselarasan dengan aturan-aturan kebijaksanaan-Nya.[24] Selarasnya pikiran dan tindakan adalah cermin dari perbuatan adil. Karena itulah keadilan selalu terkait dengan habitus. Bahwa habitus akan mencerminkan keadilan dari diri setiap orang.
            Adil adalah sesuatu yang melekat dalam diri manusia sebagai salah satu keutamaan. Seperti halnya “iman dan akal mudi tidak mungkin bertentangan karena keduanya berasal dari Allah.”[25] Karena itulah sejahat apapun setiap orang, pada satu titik akan kembali menyadari kesalahannya. Kejahatan bukanlah hakikat dari manusia, tetapi kejahatan dapat terjadi jika kebaikan tidak dihadirkan. Keadilan mestinya juga menjadi sebuah refleksi atas kecintaan pada sang Ada. Di mana keadilan dihadirkan bukan karena sebuah tuntutan dari luar, tetapi dia harus menjadi sesuatu yang dilakukan karena dia merupakan keutamaan. Artinya keadilan terjadi bukan karena kita dipaksa untuk berbuat adil, tetapi mestinya keadilan itu terjadi karena kita memang harus bertindak adil.
            Keadilan menunjukkan adanya suatu tanggungjawab terhadap yang lain. Sedangkan ketidakadilan menunjukkan hal sebaliknya. Karena itulah tindakan korupsi menunjukkan bahwa kita tidak mempunyai tanggungjawab terhadap yang lain. Bahkan dapat dikatakan bahwa dengan tindakan korupsi, maka sesungguhnya kita sedang menyangkal kemanusiaan kita. Mengapa? Karena dengan demikian rasionalitas telah disingkirkan dan yang tersisa hanya hasrat yang tidak terkendali. Itu berarti bahwa kita sama sekali tidak berbeda dengan binatang. Relasionalitas pun menjadi hilang.             
             















DAFTAR PUSTAKA
1.      A.A. Wattimena, Reza, FILSAFAT ANTI-KORUPSI-Membedah Hasrat Kuasa, Pemburuan Kenikmatan, dan Sisi Hewani Manusia di Balik Korupsi. Yogyakarta: Kanisius, 2011.
2.      Andang L. Binawan, Al, Korupsi (dalam cakrawala) Kemanusiaan, dalam Korupsi Kemanusiaan. Jakarta: Kompas 2006.
3.      Ata Ujan, Andre, Keadilan dan Demokrasi: Telaah filsafat politik John Rawls. Yogyakarta: Kanisius 2001.
4.      Aquinas, Thomas, Summa Theologiae, II-II, Questionis 58, artikel 3
5.      Dwi Kristanto,H, Thomas Aquinas: Keutamaan Berkehendak dan Bertindak. Basis, nomor 05-06, tahun ke 64, 2015.  
6.      Inggried (ed), Ibu Siami, Si Jujur yang Malah Ajur. Kompas.com. 15 Juni 2011
7.      L. Tjahjadi, Simon Petrus, Petualangan Intelektual: Konfrontasi dengan para filsuf dari zaman Yunani hingga zaman modern. Yogyakarta: Kanisius, 2004
8.      Riyanto, Armada, dkk (edit), Aku dan Liyan-Kata Filsafat dan Sayap. Malang: Widya Sasana Publication 2011.
9.      Saeng, Valentinus. Kuliah: Filsafat Thomas Aquinas, 2015.
10.  Wahid, Abdurrahman (ed), Ilusi Negara Islam: Ekspansi Gerakan Islam Transnasional di Indonesia dalam Ahmad Syafii Maarif, Masa Depan Islam DI Indonesia. Jakarta: The Wahid Institute, 2009


 



[1] H.Dwi Kristanto, Thomas Aquinas: Keutamaan Berkehendak dan Bertindak. Basis, nomor 05-06, tahun ke 64, 2015. Hlm. 28  
[2] Thomas Aquinas, Summa Theologiae, II-II, Questionis 58, artikel 3. Hlm. 4917
[3] Andre Ata Ujan, Keadilan dan Demokrasi: Telaah filsafat politik John Rawls. Yogyakarta: Kanisius 2001. Hlm.23
[4] Thomas Aquinas. Op.cit. II-II, q, 58.1 terjemahan aslinya sebagai berikut "a man is said to be just because he respects the rights [jus] of others."
[5] Bdk. Thomas Aquinas. Ibid. II-II, Q. 57.a.2. I answer that, As stated above (Article 1) the "right" or the "just" is a work that is adjusted to another person according to some kind of equality. Now a thing can be adjusted to a man in two ways: first by its very nature, as when a man gives so much that he may receive equal value in return, and this is called "natural right." In another way a thing is adjusted or commensurated to another person, by agreement, or by common consent, when, to wit, a man deems himself satisfied, if he receive so much. This can be done in two ways: first by private agreement, as that which is confirmed by an agreement between private individuals; secondly, by public agreement, as when the whole community agrees that something should be deemed as though it were adjusted and commensurated to another person, or when this is decreed by the prince who is placed over the people, and acts in its stead, and this is called "positive right."
[6] Ibid. II-II, q.57.a.3.
[7] H. Dwi Kristanto. Op.cit. Hlm. 30
[8] Bdk. Valentinus. Kuliah: Filsafat Thomas Aquinas, 2015. 
[9] Bdk. Thomas Aquinas, II-II, q.58.a.5. I answer that, Justice, as stated above (Article 2) directs man in his relations with other men. Now this may happen in two ways: first as regards his relation with individuals, secondly as regards his relations with others in general, in so far as a man who serves a community, serves all those who are included in that community. Accordingly justice in its proper acceptation can be directed to another in both these senses. Now it is evident that all who are included in a community, stand in relation to that community as parts to a whole; while a part, as such, belongs to a whole, so that whatever is the good of a part can be directed to the good of the whole. It follows therefore that the good of any virtue, whether such virtue direct man in relation to himself, or in relation to certain other individual persons, is referable to the common good, to which justice directs: so that all acts of virtue can pertain to justice, in so far as it directs man to the common good. It is in this sense that justice is called a general virtue. And since it belongs to the law to direct to the common good, as stated above (FS, Question 90, Article 2), it follows that the justice which is in this way styled general, is called "legal justice," because thereby man is in harmony with the law which directs the acts of all the virtues to the common good.
[10] Ibid. II-II, q.64.a. 5 dalam terjemahan asli: , because every part, as such, belongs to the whole. Now every man is part of the community, and so, as such, he belongs to the community. Hence by killing himself he injures the community, as the Philosopher declares (Ethic. v, 11).   
[11] Bdk. Ibid. II-II, q.61. a.1, dan 2.
[12] Bdk. Ibid. II-II, q.61. a.1, dan 2
[13] Al.Andang L. Binawan. Korupsi (dalam cakrawala) Kemanusiaan, dalam Korupsi Kemanusiaan. Jakarta: Kompas 2006. Hlm. xiii
[14] Reza A.A. Wattimena, FILSAFAT ANTI-KORUPSI-Membedah Hasrat Kuasa, Pemburuan Kenikmatan, dan Sisi Hewani Manusia di Balik Korupsi. Yogyakarta: Kanisius. Hlm. 9
[15] Valentinus, Catatan Kuliah s2, Filsafat Thomas Aquinas, 2015
[16] ibid
[17] bdk. Abdurrahman Wahid (ed), Ilusi Negara Islam: Ekspansi Gerakan Islam Transnasional di Indonesia dalam Ahmad Syafii Maarif, Masa Depan Islam DI Indonesia. Jakarta: The Wahid Institute, 2009. Hlm. 8-9
[18] Armada Riyanto dkk (edit), Aku dan Liyan-Kata Filsafat dan Sayap. Malang: Widya Sasana Publication 2011. Hlm.25

[19] Bdk. Inggried (ed), Ibu Siami, Si Jujur yang Malah Ajur. Kompas.com. 15 Juni 2011

[20] Thomas Aquinas.Op.cit. II-II, q.58.a.1 
[21] H.Dwi Kristanto. Op.cit. Hlm.32
[22] Thomas Aquinas.Op.cit. II-II, q.66.a.5. I answer that, If anyone consider what is meant by theft, he will find that it is sinful on two counts. First, because of its opposition to justice, which gives to each one what is his, so that for this reason theft is contrary to justice, through being a taking of what belongs to another. Secondly, because of the guile or fraud committed by the thief, by laying hands on another's property secretly and cunningly. Wherefore it is evident that every theft is a sin.

[23] Hlm.75
[24] Bdk. Thomas Aquinas, First Part. Q. 21. a.2. I answer that, Truth consists in the equation of mind and thing, as said above (Question 16, Article 1). Now the mind, that is the cause of the thing, is related to it as its rule and measure; whereas the converse is the case with the mind that receives its knowledge from things. When therefore things are the measure and rule of the mind, truth consists in the equation of the mind to the thing, as happens in ourselves. For according as a thing is, or is not, our thoughts or our words about it are true or false. But when the mind is the rule or measure of things, truth consists in the equation of the thing to the mind; just as the work of an artist is said to be true, when it is in accordance with his art.
Now as works of art are related to art, so are works of justice related to the law with which they accord. Therefore God's justice, which establishes things in the order conformable to the rule of His wisdom, which is the law of His justice, is suitably called truth. Thus we also in human affairs speak of the truth of justice.
[25] Simon Petrus L. Tjahjadi, Petualangan Intelektual: Konfrontasi dengan para filsuf dari zaman Yunani hingga zaman modern. Yogyakarta: Kanisius, 2004. Hlm. 135

Teodise (Pembenaran Tuhan): Dialog dengan Leibniz di Masa Pandemi Covid-1

Pertanyaan tentang realitas kejahatan di dunia bukanlah pertanyaan yang baru muncul di dunia post modern. Pertanyaan ini pertama kali ditany...