Korupsi Meruntuhkan
Societas:
Korupsi dalam konsep keadilan Thomas Aquinas
Oleh
Ivan Sampe Buntu
Abstrak
Korupsi
adalah salah satu penyakit di negeri ini, penyakit yang seperti virus mematikan
menjangkiti setiap pejabat. Di hadapan para koruptor, keadilan diputar
balikkan. Celakanya bahwa rakyat seperti mengafirmasi kelakuan para koruptor. Pejabat
yang telah divonis oleh pengadilan sebagai perampok uang negara, justru bangkit
dan kemudian terpilih kembali sebagai bupati atau legislatif. Sedangkan mereka
yang jujur justru tidak diberi tempat, bahkan kemudian akan dijebak dalam
berbagai kasus. Keadilan dengan demikian tidak lagi diberi ruang, karena
ketidakadilan justru mendapat tempat terhormat. Bukankah korupsi adalah bentuk
ketidakadilan yang telah merampas hak-hak rakyat. Karena itulah korupsi telah
meruntuhkan societas. Dengan pandangan Thomas Aquinas, kita akan melihat
bagaimana korupsi telah menjadi ruang-ruang terjadinya ketidakadilan dalam
masyarakat.
Kata Kunci
Keadilan, hak kodrati, hak positif,
keadilan distributif, keadilan komutatif, korupsi, hasrat, societas,
proporsional, yang lain.
Pengantar
“Keadilan
(iustitia) bagi Santo Thomas Aquinas
merupakan salah satu dari empat keutamaan moral pokok (virtus cardinalis) yang menjadi prasyarat bila orang ingin hidup
bahagia dan sejahtera.”[1] Tidak ada kebahagiaan
tanpa mengusahakan keadilan, karena keadilan adalah salah satu syarat
memperoleh kebahagiaan. “sebuah kebajikan keutamaan manusia adalah salah satu
yang membuat tindakan manusia dan manusia itu sendiri menjadi baik".[2] Tindakan korupsi, jelas tidak mugkin akan memberi
kebahagiaan, karena tindakan ini jelas bertentangan dengan keadilan. Sekalipun
mereka yang korup terlihat menikmati hasil korupsinya, tetapi mereka akan
selalu di hakimi oleh nurani mereka. Karena itu hidup para koruptor tidak akan
pernah tenang, sekalipun mereka tersenyum ketika tertangkap tangan oleh KPK. Mengapa
mereka tidak akan pernah tenang? Karena pada dasarnya setiap orang adalah baik
(kodrat manusia adalah baik), sehingga ketika dia melakukan kesalahan, maka dia
akan dihakimi oleh dirinya (nuraninya) sendiri.
Keadilan
tidak bisa hanya dipahami dalam konsep asas manfaat seperti diungkapkan oleh
kaum utilitarianisme, tetapi keadilan harus dilihat sebagai keutamaan.
Aristoteles
bersama gurunya Plato (keduanya disebut bapak filsafat politik), tidak hanya
menyebut keadilan sebagai kebajikan utama. Lebih dari itu, ia berpendapat bahwa
keadilan begitu utamanya sehingga “di dalam keadilan termuat semua kebajikan”.
Dengan demikian keadilan bagi Aristoteles merupakan kebajikan yang lengkap
dalam arti seutuhnya karena keadilan bukanlah nilai yang harus dimilki dan
berhenti pada taraf memilikinya bagi diri sendiri; melainkan juga “pelaksanaan
aktif”, dalam arti harus diwujudkan dalam relasi dengan orang lain.[3]
Keadilan dengan demikian tidak hanya bicara tentang
manfaat apa yang saya dapatkan dari sebuah tindakan, tetapi dia menunjukkan
pada sebuah relasi dengan yang lain. Artinya keadilan juga berbicara tentang
relasionalitas manusia. Keadilan dengan demikian harus nyata dalam tindakan
eksternal manusia. Di mana tindakan tersebut bukan sekedar tindakan, tetapi
sebuah tindakan yang orientasinya terarah pada kebaikan yang lain, atau
kebaikan bersama. Seperti dikutip Thomas Aquinas dalam Summa bahwa "seorang manusia dikatakan menjadi
manusia hanya karena ia menghormati hak-hak dari orang lain."[4] Penghormatan terhadap yang lain dengan demikian begitu
penting dalam pandangan Thomas Aquinas. Manusia berkeutamaan baru bisa disebut
manusia ketika dia mampu menghargai atau menghormati milik orang lain.
Keadilan dan hak menjadi sesuatu yang tidak terpisahkan
dalam pandangan Aquinas. Keadilan rasanya tidak bermakna, tanpa penghargaan
milik yang lain. Bagaimana supaya hal
ini bisa terjadi? Tentu hal ini harus menjadi habitus dalam diri manusia.
Artinya penghargaan terhadap yang lain itu harus menjadi sebuah kebiasaan
manusia.
Keadilan Thomas Aquinas
Sebelum
Thomas Aquinas membicarakan tentang keadilan, maka dia mengawalinya dengan
memberi penjelasan tentang hak. Hak merupakan sesuatu yang menjadi milik
seseorang, yang diberikan kepadanya sebanding dengan kapasitasnya. Sesuatu bisa
menjadi hak seseorang tidak datang begitu saja, tetapi di sana ada hak kodrati (natural right) dan hak positif (positive right). Apa itu hak kodrati? Hak
kodrati dalam pandangan Aquinas adalah hak yang hakiki ada pada setiap orang
dan tidak boleh dirampas daripadanya. Hak untuk hidup oleh setiap makhluk
adalah hak kodrati. Hak kodrati inilah yang menjadi cikal bakal dari hak asasi manusia.
Sedangkan hak positif, adalah hasil kesepakatan antara manusia. Kesepakatan ini
kemudian menjadi sebuah norma yang harus ditaati oleh semua orang.[5] Hak positif ini mencoba menerjemahkan apa yang adil dalam
pandangan setiap orang. Sedangkan hak kodrati tidak perlu diterjemahkan karena
dia hakiki melekat dalam diri manusia.
Hak
positif, telah diterjemahkan dalam hukum-hukum positif, yang dijalankan oleh
yudikatif. Tentu saja hak positif tidak boleh bertentangan dengan hak kodrati,
karena jika ini bertentangan, maka itu tidak bisa dijadikan sebagai pegangan
dalam melaksanakan hukum. Hukum itu akan menjadi pincang dan tidak adil jika
dia bertentangan dengan hukum kodrati. Misalnya, pembunuhan atas nama apapun,
tidak boleh dijadikan alasan untuk menjadikannya sebagai hukum positif. Atau
seorang yang mencuri karena lapar, ini tidak dapat menjadi alasan untuk
menjadikan tindakan mencuri sebagai alasan menjadikannya hukum positif. Karena
kedua alasan ini bertentangan dengan hukum kodrat, di mana setiap orang tidak
akan pernah menginginkan nyawanya dicabut atau barang-barangnya dicuri oleh
yang lain.
Hak
kodrati sendiri merupakan hak yang universal menjadi milik semua orang, bahkan
semua makhluk. Santo Thomas Aquinas menyebut bahwa, “: karenanya hak yang
kita sebut hak kodrati adalah umum untuk kita dan hewan lainnya sesuai dengan
jenis pertama commensuration.”[6] Hak kodrati,
seperti hak untuk melahirkan adalah sesuatu yang alami dimiliki oleh semua
makhluk. Pertanyaanya adalah darimanakah datangnya hak kodrati tersebut? Jika
menyimak secara baik apa yang dikatakan Thomas Aquinas dalam Summa, maka Thomas
akan mengatakan sebagai seorang teolog bahwa:
Hukum kodrat (ius natural) sendiri jangan dipahami
sebagai hukum alam. Hukum kodrat menurut Aquinas, merupakan hukum moral yang
adalah partisipasi rasional manusia atas hukum ilahi (participation legis eternae in rationali creatura);berkat anugerah
akal budi (lumen naturalis).”[7]
Hak kodrati
dengan demikian secara alami dimiliki semua makhluk. Hak kodrati juga berdampak
pada hal lain misalnya, pada hal penguasaan akan tanah. “Di mana setiap orang
akan berusaha menguasai tanah sebagai tempat untuk menanam padi atau sayuran
untuk bisa mempertahankan hidup. Artinya hak hidup sebagai hak kodrati manusia
mempunyai dampak langsung dalam penguasaan akan sesuatu dalam hidupnya.”[8]
Selain
keadilan yang dapat dilihat dalam hak, yakni: Hak kodrati dan hak positif.
Keadilan juga dapat kita mengerti dalam relasionalitasnya, seperti telah
disampaikan diatas. Di mana keadilan
dapat terlihat dalam relasi dengan yang lain. Relasi dengan yang lain ini bisa
dalam relasi dengan individu atau relasi dengan orang lain secara umum. Relasi
ini bisa relasi dengan orang yang dekat dengan kita, misalnya saudara, anak dll.
Tetapi relasi ini bisa juga relasi dengan orang yang tidak kita kenal yang
adalah sesama warga. Karena itulah semua tindakan kebajikan yang mengarah pada
kebaikan adalah keadilan hukum. [9] Dalam hal ini setiap individu selalu diarahkan pada
kebaikan bersama (bonum commune). Karena
itulah setiap individu dalam masyarakat harus melakukan tindakan baik untuk
menuju pada kesejahteraan umum.
Dalam hal ini pun Thomas Aquinas melarang untuk melakukan
tindakan yang dapat melukai diri sendiri. Karena tindakan itu akan dianggap
sebagai tindakan yang melahirkan ketidakadilan bagi yang lain. Mengapa disebut tindakan
tidak adil bagi masyarakat? Karena di dalam keadilan ada sebuah relasi yang
dibangun untuk menuju kebaikan bersama (bonum
commune). Sehingga sangat logis jika tindakan bunuh diripun dilarang oleh
Aquinas. Seperti diungkapkannya dalam Summa dengan menyitir Aristoteles bahwa,
“karena setiap bagian, seperti, milik bersama. Karena itu sekarang setiap orang
adalah bagian dari masyarakat, dan sebagainya, karena itu, ia milik masyarakat.
Oleh karena itu dengan membunuh dirinya sendiri ia melukai masyarakat, Seperti
dikatakan Sang Filsuf Aristotelese (Etika v., 11).”[10] Dengan demikian setiap individu mempunyai tangunggjawab
keadilan terhadap masyarakat di mana dia ada. Tindakan pribadi seperti bunuh
diri, dianggap sebagai tidak adil untuk yang lain. Tidak adil, karena dia
melukai komunitasnya sebagai bagian dari hidupnya.
Keadilan dengan demikian selalu berkaitan dengan yang
lain. Artinya keadilan tidak dapat dilepaskan dari relasi dengan yang lain. Relasi
ini mengandaikan adanya keadilan. Karena dalam relasi ini, ada keterhubungan
yang membuat manusia menuju pada kebaikan bersama. Relasi pada kebaikan bersama
inilah yang menunjukkan adanya keadilan. Ketidakadilan sama dengan melawan
kodrat dalam diri manusia sebagai makhluk yang diciptakan baik adanya, dan
sekaligus sebagai makhluk sosial (animal
sociale et politicum).
Pada sisi lain kita tidak boleh melupakan spesies dari
keadilan itu sendiri yakni: Keadilan distributif dan keadilan komutatif. Di
mana kita bisa melihat bahwa keadilan distributif berkaitan dengan relasi individu
dalam masyarakat atau (negara). Di sana prinsip proporsionalitas menjadi hal
yang tidak boleh diabaikan. Seorang buruh yang bekerja satu hari, tidak boleh
disamakan gajinya dengan buruh lainnya yang hanya bekerja setengah hari. Ini
akan dianggap timpang atau tidak adil, karena tidak proporsional. Kesetaraan
dalam hal ini tidak kemudian ditentukan oleh kuantitasnya tetapi lebih oleh
proporsinya.[11]
Keadilan komutatif sendiri berbicara tentang keadilan
yang mengurai tentang relasi timbal balik antara individu. Prinsip kesetaraan
yang berlaku disini adalah prinsip kesetaraan aritmetik. Atau prinsip
kesetaraan kuantitatif. Prinsip ini biasanya banyak berlaku dalam jual beli
antara dua pihak. Sekalipun kedua bela pihak tidak saling mengenal, tetapi
masing-masing berhak menerima dan menyerahkan apa yang harus ditukarkan.[12]
Dari prinsip-prinsip keadilan yang telah diuraikan dalam
pandangan Thomas Aquinas, maka semua yang adil itu akan tercermin dalam
tindakan manusia. Artinya menilai adil atau tidak, tidak hanya bisa diandaikan
dalam pikiran, tetapi keadilan harus selaras antara rasionalitas dengan
tindakan manusia. Seorang menyebut dirinya adil, tidak hanya dapat dilihat
dalam apa yang dikatakan, tetapi dalam tindakan-tindakannya dalam relasi dengan
yang lain. Meskipun demikian manusia tetap harus diandaikan sebagai makhluk yang
akan bertindak adil, karena manusia diciptakan dalam kebaikan.
Korupsi dan Rapuhnya Societas
Korupsi
secara etimologis berasal dari kata latin corruptus,
yang berarti tindakan yang merusak, atau tindakan yang menghancurkan.
Pertanyaannya adalah, apakah semua tindakan merusak atau menghancurkan dapat
disebut sebagai tindakan korupsi? Pertanyaan ini nampaknya sederhana tetapi
tidak mudah untuk menjawabnya. Apakah seekor gajah yang mengamuk dan
menghancurkan sebuah rumah dapat dikategorikan tindakan korupsi? Dengan muda
kita akan menjawab bahwa itu bukanlah tindakan korupsi? Mengapa? Karena seekor
gajah tidak pernah sadar terhadap apa yang dilakukannya. Korupsi dengan
demikian akan kita kaitkan dengan tindakan moral, dan tindakan moral selalu
terkait dengan kehendak bebas manusia. Andang Binawan menyebut bahwa: “Dalam
pemahaman baru, hanya manusia, yang nota bene punya kekuasaan dan kebebasan,
yang bisa melakukan korupsi. Tikus tidak!”[13]
Korupsi dengan demikian
terkait dengan kesadaran manusia dalam melakukan tindakan busuk, atau tindakan
merusak. Dalam filsafat klasik, “korupsi dianggap segala yang bertentangan
dengan kemurnian. Dalam arti ini jiwa adalah sesuatu yang murni, sementara
tubuh dan semua materi fisik, adalah hal-hal yang korup.”[14] Apakah ini berarti jiwa yang terpenjara oleh tubuh (soma sema) tidak pernah salah, tetapi yang salah adalah tubuh
material? Saya tentu tidak akan membahas konsep trilogi jiwa atau pemisahan
tubuh dan jiwa dalam pandangan Platon. Tetapi saya akan mengurai makna dari
tindakan yang korup. Sebuah tindakan merusak yang dilakukan dengan kesadaran.
Tindakan yang kemudian memberi ruang ketidakadilan bagi yang lain.
Korupsi adalah tindakan
yang selalu terkait dengan hasrat untuk memiliki sesuatu yang bukan haknya.
Tindakan seperti ini tentu dapat dikategorikan sebagai suatu tindakan yang tidak
sosial. Mengapa? Karena tindakan ini sama sekali tidak memandang yang lain sebagai
bagian dari dirinya. Artinya tindakan korupsi tidak lagi memberi ruang
relasionalitas. Bahkan dapat dikatakan bahwa tindakan korupsi adalah tindakan
orang yang tidak rasional. Mengapa tidak rasional? Karena dia telah melawan
kodrat kebaikan dalam dirinya sendiri. Bukankah manusia adalah makhluk yang
pada dasarnya adalah baik. Sehingga ketika dia melakukan tindakan korup, maka
ini sama dengan melawan kodratnya sendiri.
Pada sisi lain manusia
sebagai makhluk rasional, selalu bertindak berdasarkan rasionalitasnya. Artinya
dia bertindak dalam sebuah kesadaran. Tidak ada manusia yang bertindak diluar
dari kesadarannya. Sehingga tindakan korupsi pun adalah suatu tindakan yang
dapat dilihat sebagai sebuah tindakan yang dilakukan dengan kesadaran. Karena
itulah manusia dalam hal ini membutuhkan keutamaan kebaikan, di mana
tindakannya selaras dengan nalar. Selaras dengan nalar berarti manusia
membutuhkan tiga hal yakni:
(1). Nalar sehat (recta ratio). (2). Tindakan yang selaras dengan nalar
adalah tindakan yang dibawah dalam relasi, diungkapkan dengan tata perilaku. (3).
Manusia harus menghilangkan halangan yang menghambat kesehatan nalar. Apa
halangan itu? Halangan ada dua: pertama, kehendak dipengaruhi oleh suatu
kecenderungan instingtif kita untuk mencari kepuasan fisik berkaitan dengan
seks, dan makan minum. Kedua, dipengaruhi oleh ketakutan,
atau kecemasan.”[15]
Tindakan korupsi dengan demikian
adalah tindakan yang dilakukan tidak lagi selaras dengan nalar. Mengapa tidak
selaras dengan nalar? Karena para koruptor bertindak dengan nalar yang sakit,
dan tidak lagi memperhitungkan relasionalitas dengan yang lain. Ketika dia tidak
mampu memperlihatkan relasionalitasnya, maka dia akan menjadikan yang lain
sebagai subaltern. Sehingga tindakan-tindakannya tidak lagi di bawah bimbingan
nalar sehat. Dalam hal ini tindakan manusia telah berada dibawah kendali,
kehendak yang dipengaruhi oleh kecenderungan instingtif yang selalu ingin
mencari kepuasan fisik (hasrat akan makan, minum, uang dan seks). Pada sisi
lain dia berada dalam sebuah ketakutan/kecemasan. Ketakutan membuat dia menjadi
orang yang serakah dan tamak. Sehingga tidak lagi mempunyai rasa malu untuk
menjadi korup.
Ketika seorang koruptor
tertangkap tangan misalnya. Mereka masih bisa tersenyum didepan layar tv.
Seolah tindakan mereka adalah tindakan yang sah dan dapat diterima. Bahkan
merekapun cenderung membela diri mereka sebagai orang yang tidak pernah salah. Hasrat
akan uang dan ketakutan telah membuat mereka menjadi orang-orang yang tidak
lagi mempunyai keutamaan dalam dirinya. Tidak ada perilaku terpuji yang
tersisa, di mana kita dapat melihat keadilan. Artinya perilaku terpuji dari
subjek pelaku, terhadap subjek yang lain telah hilang. Karena bagaimanapun
keutamaan keadilan tidak hanya terlihat pada subjek pelaku, tetapi juga pada
subjek yang lain. Di sana kita akan melihat keadilan dalam sebuah kesederajatan
manusia. Keadilan selalu mengandaikan adanya hubungan subjek yang setara.
Tentu saja kita tidak akan bisa
melihat adanya kesetaraan dalam tindakan korupsi. Karena di sana kita tidak
melihat keadilan pada subjek yang lain. Di mana keadilan hanya bisa terlihat
dari penghargaan terhadap hak yang lain. Dalam hal itu hak dapat dilihat
sebagai objek dari keadilan. Sehingga ketika aku tidak lagi menghargai hak
orang lain, maka aku tidak dapat dikatakan berlaku adil. Karena aku telah
mengabaikan objek dari keadilan. Thomas Aquinas menyebut bahwa kesetaraan
sendiri dapat dilihat dengan dua cara yakni: “(1). Karena telah ditentukan
sendiri oleh Allah (2). Karena kesepakatan atau norma-norma umum.”[16]
Apa yang telah ditetapkan oleh
Allah dan apa yang telah disepakati bersama, mestinya menjadi pegangan untuk
tidak melakukan tindakan korup. Tindakan korup jelas merugikan yang lain,
karena dalam tindakan tersebut, secara paksa kita telah merampas hak orang
lain. Merampas hak yang tentu saja bukan milik kita. Sehingga sangat tidak
rasional ketika seseorang melakukan tindakan korupsi. Ini bukan hanya sekedar
rasa malu, tetapi ini menyangkut kodrat manusia sebagai yang baik. Kodrat
manusia untuk tidak mencurangi sesamanya hanya karena hasrat dalam dirinya. Mestinya
keadilan menjadi tabiat bagi manusia untuk menghargai hak-hak orang lain.
Tindakan korupsi dengan demikiann
akan berdampak luas, di mana korupsi pasti akan membuat societas menjadi sangat
rapuh. Karena ketika hak seseorang tidak lagi dihargai, maka dia bisa bertindak
diluar batas kewajaran. Atau dia akan bertindak tidak rasional. Karena dia
berada dalam suatu ancaman ketakutan. Di mana kita telah melihat, bahwa ketakutan
adalah salah satu yang membuat manusia mempunyai nalar yang sakit. Tidak
terbayangkan, ketika semua orang berada dalam sebuah ketakutan, karena haknya
tidak dihargai, maka setiap orang akan berusaha untuk mempertahankan
hak-haknya.
Dampak dari semua ketakutan ini,
akhirnya berimbas pada konflik. Berimbas pada “lahirnya gerakan-gerakan
fundamentalis atas nama agama dan ideologi”[17]. Semua ini lahir akibat dari
perlakuan tidak adil yang mereka alami. Tidak mengherankan ketika Papua terus
saja bergolak dengan berbagai penembakan yang dilakukan oleh OPM. Semua ini
terjadi bukan tanpa alasan. Tetapi ini terjadi akibat dari adanya kesenjangan
sosial yang begitu lebar, ditambah dengan tindakan korupsi oleh sekelompok
orang yang jelas-jelas telah mengambil hak orang lain. Semua tindakan ini telah
membuat kerapuhan dari societas.
Kerapuhan
societas dengan demikian, tidak perlu kita cari akar-akarnya pada doktrin
agama-agama, atau pada ideologi-ideologi kiri atau kanan. Tetapi semua berawal
ketika manusia telah kehilangan rasionalitasnya. Ya, kehilangan rasionalitas
karena mereka terlalu menghasrati apa yang bukan haknya. Sebab setiap orang
yang menghasrati apa yang bukan haknya, maka dia pasti terjatuh pada nalar yang
sakit. Mungkin kita bisa juga mengatakan bahwa tindakan seperti ini
adalah tindakan orang-orang yang tidak mengenal dirinya sendiri. Di mana “Know your self” adalah langkah pertama
perjalanan manusia menggapai kebenaran.”[18] Tidak mengenal dirinya karena dia telah bertindak diluar kehendak dari
nalar. Kerapuhan societas dengan demikian terjadi karena manusia tidak lagi
memberi ruang untuk rasionalitasnya. Sehingga hasratnya telah mengalahkan
rasionalitasnya.
Rapuhnya societas dengan
demikian pertama-tama lahir dari tidak sehatnya nalar. Kondisi seperti inilah
yang membuat manusia menjadi seriga bagi sesamanya (homo homini lupus). Orang yang tidak lagi memakai nalar sehatnya,
akan bertindak tidak rasional. Tetapi tindakan ini bukan karena dia tidak tahu,
tetapi karena hasrat yang mengalahkan rasionalitasnya. Karena dalam pandangan
Thomas Aquinas sendiri, tidak ada sesuatu yang dikerjakan manusia diluar dari
kesadarannya. Artinya tindakan korupsi tidak dilakukan diluar ketidak
tahuannya, tetapi semua dilakukan secara sadar. Sehingga tidak ada alasan sama
sekali untuk membenarkan tindakan mereka.
Apakah orang-orang seperti itu masih layak disebut sebagai manusia, ketika
mereka telah kehilangan identitasnya sebagai manusia, yakni kehilangan
rasionalitasnya? Bukankah mereka tidak ada lagi bedanya dengan binatang. Tidak
ada bedanya, karena pembeda itu telah hilang yakni rasionalitas. Yang lebih
mengerikan bahwa yang melakukan tindakan korupsi adalah mereka yang disebut
sebagai orang-orang “terpelajar”. Kaum “terpelajar” inilah yang banyak kita
lihat tertangkap tangan oleh KPK. Tetapi menyedihkan bahwa tindakan korupsi di
negeri ini, seperti mendapat dukungan secara tidak langsung dari masyarakat.
Salah satu contoh paling kongkret yang dapat kita lihat misalnya: “Seorang
siswa SD pada tahun 2011 yang dipaksa gurunya memberi contekan pada
teman-temannya, tetapi justru murid tersebut tidak menuruti perintah guru,
tetapi naas justru murid mendapat kecaman, bahkan diusir oleh warga dari
desanya bersama dengan keluarganya.”[19]
Gambaran seperti ini memperlihatkan, betapa jujur di negeri ini menjadi begitu
mahal. Semua orang seperti telah kehilangan rasionalitas, sehingga dengan mudah
menghakimi mereka yang jujur. Sama seperti yang dialami oleh Sudirman Said
menteri SDM, dalam melaporkan rekaman Setya Novanto ketua DPR, yang meminta
saham kepada freeport. Tetapi justru dalam pemeriksaan oleh badan kehormatan
DPR, sepertinya terlihat si pelapor yang malah dipojokkan dengan berbagai
pertanyaan yang tidak mendasar. Dengan kata lain, BK DPR terkesan justru
melindungi perampok daripada subjek pelapor. Semua logika berpikir seperti ini
membuat kita terhenyak, betapa negeri ini telah berada dalam ketidak pastian
kebenaran. Mereka yang diharapkan mewakili rakyat, justru secara perlahan
bersekongkol melawan kebenaran.
Semua fenomena tersebut di atas, adalah tanda-tanda rapuhnya societas.
Sebuah tanda betapa rasionalitas manusia telah dikalahkan oleh hasrat akan
sebuah kepentingan. Manusia tidak lagi mencintai dirinya, sehingga membuat
relasi dengan yang lain pun menjadi sangat rapuh. Rapuh karena hidup tidak lagi
mengarah pada sebuah kebaikan bersama. Kebaikan bersama dalam hal ini tidak
lagi mempunyai tempat.
Keadilan versus Tindakan Korup
Prinsip keadilan seperti
telah dijelaskan sebelumnya akan terlihat dalam tindakan manusia sebagai
makhluk rasional. Keadilan terlihat dari bagaimana manusia menunjukkan
penghargaan terhadap hak-hak yang lain. Bukan justru mempretelinya satu
persatu. Keadilan adalah kodrat yang melekat dalam diri setiap orang, dan
dimiliki oleh semua manusia. Mereka yang berbuat tidak adil, dengan demikian
masih mempunyai kesempatan untuk kembali pada kodrat asalinya sebagai makhluk
yang baik. Semua manusia dengan demikian diandaikan baik, sehingga ketika dia
melakukan tindakan jahat, maka tidak berarti itu adalah kodratnya. Tetapi Aquinas
akan melihat atau memaknai sebagai ketidak hadiran kebaikan.
Seorang koruptor dengan
demikian dapat dikatakan sebagai orang yang telah bertindak diluar kodratnya. Dengan
demikian koruptor masih dapat kembali pada posisi awalnya, sebagai makhluk yang
diciptakan baik. Dalam bahasa iman kita akan menyebutnya sebagai proses
pertobatan. Meskipun sering kali, pertobatan justru telah menjadi tempat
bersembunyi bagi mereka yang korup. Bahwa mereka berbuat kejahatan, karena
pintu pertobatan masih sangat terbuka. Hari ini bertindak korup, besok bisa
bertobat. Seolah kejahatan dan kebaikan itu telah direncanakan secara matang.
Jika kembali melihat
pandangan Thomas Aquinas tentang keadilan, maka keadilan itu adalah suatu habitus
yang dilakukan manusia bebas berdasarkan kehendaknya sendiri. “Keadilan
adalah Habit dimana seorang manusia dikatakan mampu melakukan hal tindakan
sesuai dengan pilihannya."[20] Dengan demikian tindakan keadilan mestinya menjadi sebuah
kebiasaan dalam diri manusia (habitus). Habitus yang membuat setiap orang dapat
konsisten untuk bertindak adil. Sebaliknya jika dia tidak menjadi habitus, maka
sulit untuk melihat keadilan terjadi dalam diri manusia. Karena keadilan selalu
terkait dengan hak setiap individu. Di mana setiap individu harus dihargai
hak-haknya sehingga tercipta sebuah keadilan.
Keadilan
selalu akan menjadi lawan dari ketidakadilan. Atau dengan kata lain, bahwa
keadilan akan menjadi lawan dari tindakan-tindakan korup oleh manusia. Karena
tindakan korup adalah tindakan yang merusak tatanan hidup manusia, bahkan dapat
dikatakan bahwa tindakan ini telah menghancurkan relasi cinta kasih dengan yang
lain. Jika relasi ini dirusak oleh tindakan korup, maka dapat dipastikan bahwa manusia
tidak lagi akan bertindak sosial dalam hidupnya. Sehingga dia telah menyangkal
dirinya sebagai makhluk sosial. Penyangkalan ini akan berdampak luas, di mana
manusia pada akhirnya akan saling mencurigai satu dengan yang lain.
Dalam konsep Thomas Aquinas sebagai seorang teolog, maka
salah satu penyangkalan yang terlihat jelas dalam tindakan korup adalah,
penyangkalan akan Allah. “Agama (religio) pun, misalnya, menurut Aquinas
merupakan suatu bentuk keutamaan keadilan, sebab dalam tindakan beragama
manusia memberikan kepada Allah apa yang menjadi hak Allah.”[21] Hak Allah dalam hal ini, tentu harus dipahami dalam
tindakan cinta. Di mana setiap orang berhak untuk melakukan tindakan cinta pada
yang lain untuk menyatakan keadilan Allah. Dengan demikian ketika seseorang
tidak menyatakan cintanya pada yang lain, ia sama dengan menyangkal kodratnya
sebagai makhluk yang diciptakan dalam cinta. Karena itulah Thomas Aquinas
menyebut bahwa, “mencuri adalah tindakan yang bertentangan dengan keadilan
karena itu mencuri adalah dosa.”[22]
Tindakan mencuri
dalam hal di atas dianggap bertentangan atau melawan keadilan. Dia tidak hanya
bertentangan dengan kodrat manusia, tetapi sekaligus dia bertentangan dengan hukum
Allah. Sehingga korupsi sebenarnya tidak mempunyai tempat dalam hidup manusia. Tidak
ada ruang bagi mereka yang bertindak korup. Korupsi sama saja dengan berbuat
tidak adil pada sesama, karena dia telah merampas apa yang bukan haknya.
Melihat
lebih dekat kebusukan-kebusukan dalam masyarakat yang menampak dalam
penderitaan dan ketidakadilan, kita dapat berkata bahwa manusia tidak sepenuhnya
mengakar dalam rasionya. Manusia cenderung rapuh tetapi sekaligus berkuasa:
manusia adalah aktor-aktor pembusukan yang sangat ampuh dan lihai.[23]
dari pandangan ini, dapat kita katakan bahwa tidak setiap
manusia menjadikan rasionalitasnya sebagai dasar pertimbangan dalam bertindak.
Pernyataan ini akan sangat mudah kita dapatkan bukti-buktinya dalam kehidupan
masyarakat. Di mana kita akan melihat berbagai tindakan yang tidak rasional
yang dilakukan oleh manusia. Meskipun sering kali kebenaran diputar balikkan
untuk suatu tindakan yang tidak jelas. Fondasi kebenaran menjadi tidak jelas,
dan kabur, atau sengaja dikaburkan oleh manusia. Inilah yang membuat keadilan
sebagai salah satu keutamaan Kardinal tidak lagi diberi tempat dalam diri
manusia yang korup.
Fondasi kebenaran yang mestinya mengakar dalam diri
manusia, dalam rasionalitasnya, kini telah berubah total. Hasrat sepertinya
telah menjadi acuan bagi manusia untuk bertindak. Hasrat akan uang, makan minum
dan seks, sepertinya justru menjadi sebuah tren baru dalam hidup keseharian
manusia. Kenikmatan badaniah telah mengalahkan rasionalitas manusia. Ketika
rasionalitas tersingkir, maka kita dapat melihat bahwa keutamaan pun tersingkir
bersama dengan tersingkirnya rasionalitas manusia. Dengan demikian salah satu
keutamaan manusia yakni keadilan pun ikut tersingkirkan. Keadilan tentu tidak
mungkin ditegakkan tanpa difondasikan dalam rasionalitas manusia.
Dengan demikian rasionalitas menjadi sesuatu yang sangat
penting dalam diri manusia. Karena itu tepatlah apa yang dikatakan Aristoteles
bahwa, salah satu pembeda manusia dan makhluk yang lain adalah rasionalitasnya.
Thomas Aquinas menyebut bahwa sejak manusia lahir, dia telah memiliki intelektus
agen sebagai pembeda dari yang lain. Dengan demikian, jika manusia bertindak
selaras dengan rasionya, maka sebenarnya dia tidak akan melakukan tindakan
korupsi. Karena dia telah memiliki intelektus agen dalam dirinya.
Pada sisi yang lain, ketika kita merujuk pada keadilan
distributif dan keadilan komutatif, maka kita akan dengan mudah melihat bahwa
sesungguhnya baik keadilan distributif pun keadilan komutatif tidak memberi
ruang bagi tindakan korup. Meskipun kedua keadilan ini menganut asas berbeda
dalam memahami keadilan. Di mana yang satu memahami keadilan secara
proporsional dan yang satu memahami keadilan secara kuantitatif. Ketika korupsi
diperhadapkan pada kedua keadilan ini, maka asas proporsional dan kuantitatif
akan bertentangan dengan keduanya. Mengapa? Karena, proporsional akan
menganggap seorang yang mengambil lebih dari yang tidak dia kerjakan adalah
tindakan tidak adil.
Demikianpun dengan keadilan distributif, akan menganggap
tidak adil jika seseorang mengambil lebih dari yang tidak dia kerjakan. Seseorang
hanya bisa menerima haknya berdasarkan apa yang dia kerjakan (proporsional). Atau
dengan kata lain, seseorang tidak boleh menghasrati kekuasaan atau kekayaan
melebihi kerja-kerja yang dia lakukan. Adil jika dia menerima haknya
berdasarkan proporsi yang telah ditetapkan. Sehingga ketika dia telah menerima
haknya, maka dia tidak lgi berhak mengambil apa yang bukan haknya.
Dari
pandangan-pandangan diatas, maka dapat dikatakan bahwa, tindakan korupsi akan
selalu bertentangan dengan keadilan. Karena dia akan merusak prinsip-prinsip
dari keadilan. Tindakan korupsi ini jelas telah membuat manusia tidak hanya
membuat kerugian bagi orang lain, tetapi juga akan merusak tatanan
relasionalitas diantara manusia. Hak-hak setiap orang akan dilanggar oleh
tindakan-tindakah korupsi, atau dengan kata lain, hak yang lain dirampas secara
paksa oleh para koruptor. Alangkah
menyedihkan ketika ketimpangan sosial di alami oleh sebuah negara yang kaya
raya. Di mana kekayaan alam hanya dinikmati oleh mereka yang korup. Sementara
seorang anak miskin, untuk makan dalam sehari saja mereka tidak mampu.
Ketimpangan Ketidakadilan
Ketika yang kaya telah berpikir makanan apa (direstoran
mana) mereka akan makan malam, sementara si miskin sedang berpikir apa yang
akan mereka makan (apa mereka masih bisa makan atu tidak). Yang satu berpikir,
tentang ketersediaan yang melimpah sedang yang lain berpikir tentang sesuatu
yang tidak jelas. Inilah gambaran dari ketimpangan sosial yang terjadi dalam
ketidakadilan di bangsa ini. Di mana yang kaya menjadi semakin kaya, sehingga
ketersediaan sumber daya alam seperti tidak lagi mencukupi untuk setiap orang. Di
mana, apa yang telah disiapkan oleh alam, harusnya mencukupi untuk semua
manusia. Ketidak cukupan, tentu saja tidak terjadi karena alam ini tidak
menyediakan makanan, tetapi lebih karena hasrat yang tidak terbatas pada diri
manusia. Artinya semua ini terjadi oleh karena ketidakadilan yang dilakukan
oleh manusia.
Dari pandangan-pandangan yang ada, maka dapat dikatakan
bahwa ketimpangan yang terjadi selalu berawal dari manusia, dan bukan karena
persediaan dari alam telah berkurang. Ketimpangan selalu berawal dari diri
manusia, dari ketidak mampuan mereka dalam mengontrol diri mereka. Ketidak
mampuan mengontrol diri ini, terlihat dari keserakahan manusia yang berdampak
pada, hak yang lain tidak diberikan. Dalam hal ini sisi kemanusiaan manusia
yang dilihat dalam rasionalitasnya menjadi sangat dipertanyakan. Manusia dalam
hal ini tidak ada bedanya dengan binatang ketika dia hanya menggunakan
hasratnya untuk kepentingan dirinya. Tanpa kontrol terhadap apa yang ada, maka
manusia akan selalu dikuasai oleh hasrat.
Refleksi Filosofis
Keadilan harus dilihat dalam keselarasan Pikiran dan
tindakan, seperti halnya karya seorang seniman dikatakan benar jika sesuai atau
selaras dengan seni. Keadilan dengan demikian juga terkait dengan tindakan yang
benar. Seperti hukum Allah yang telah menetapkan keselarasan dengan
aturan-aturan kebijaksanaan-Nya.[24] Selarasnya pikiran dan
tindakan adalah cermin dari perbuatan adil. Karena itulah keadilan selalu
terkait dengan habitus. Bahwa habitus akan mencerminkan keadilan dari diri
setiap orang.
Adil adalah sesuatu yang melekat dalam diri manusia
sebagai salah satu keutamaan. Seperti halnya “iman dan akal mudi tidak mungkin
bertentangan karena keduanya berasal dari Allah.”[25] Karena itulah
sejahat apapun setiap orang, pada satu titik akan kembali menyadari
kesalahannya. Kejahatan bukanlah hakikat dari manusia, tetapi kejahatan dapat
terjadi jika kebaikan tidak dihadirkan. Keadilan mestinya juga menjadi sebuah
refleksi atas kecintaan pada sang Ada. Di mana keadilan dihadirkan bukan karena
sebuah tuntutan dari luar, tetapi dia harus menjadi sesuatu yang dilakukan
karena dia merupakan keutamaan. Artinya keadilan terjadi bukan karena kita
dipaksa untuk berbuat adil, tetapi mestinya keadilan itu terjadi karena kita
memang harus bertindak adil.
Keadilan menunjukkan adanya suatu tanggungjawab terhadap
yang lain. Sedangkan ketidakadilan menunjukkan hal sebaliknya. Karena itulah
tindakan korupsi menunjukkan bahwa kita tidak mempunyai tanggungjawab terhadap
yang lain. Bahkan dapat dikatakan bahwa dengan tindakan korupsi, maka
sesungguhnya kita sedang menyangkal kemanusiaan kita. Mengapa? Karena dengan
demikian rasionalitas telah disingkirkan dan yang tersisa hanya hasrat yang
tidak terkendali. Itu berarti bahwa kita sama sekali tidak berbeda dengan binatang.
Relasionalitas pun menjadi hilang.
DAFTAR PUSTAKA
1. A.A.
Wattimena, Reza, FILSAFAT
ANTI-KORUPSI-Membedah Hasrat Kuasa, Pemburuan Kenikmatan, dan Sisi Hewani
Manusia di Balik Korupsi. Yogyakarta: Kanisius, 2011.
2. Andang
L. Binawan, Al, Korupsi (dalam cakrawala)
Kemanusiaan, dalam Korupsi
Kemanusiaan. Jakarta: Kompas 2006.
3. Ata
Ujan, Andre, Keadilan dan Demokrasi:
Telaah filsafat politik John Rawls. Yogyakarta: Kanisius 2001.
4. Aquinas,
Thomas, Summa Theologiae, II-II,
Questionis 58, artikel 3
5. Dwi
Kristanto,H, Thomas Aquinas: Keutamaan
Berkehendak dan Bertindak. Basis, nomor 05-06, tahun ke 64, 2015.
6. Inggried
(ed), Ibu
Siami, Si Jujur yang Malah Ajur. Kompas.com.
15 Juni 2011
7. L. Tjahjadi, Simon Petrus, Petualangan Intelektual: Konfrontasi dengan
para filsuf dari zaman Yunani hingga zaman modern. Yogyakarta: Kanisius,
2004
8. Riyanto,
Armada, dkk (edit), Aku dan Liyan-Kata
Filsafat dan Sayap. Malang: Widya Sasana Publication 2011.
9. Saeng,
Valentinus. Kuliah: Filsafat Thomas Aquinas, 2015.
10. Wahid, Abdurrahman (ed), Ilusi Negara Islam: Ekspansi Gerakan Islam Transnasional di Indonesia
dalam Ahmad Syafii Maarif, Masa Depan
Islam DI Indonesia. Jakarta: The Wahid Institute, 2009
[1] H.Dwi Kristanto, Thomas Aquinas: Keutamaan
Berkehendak dan Bertindak. Basis, nomor 05-06, tahun ke 64, 2015. Hlm.
28
[2] Thomas Aquinas, Summa Theologiae,
II-II, Questionis 58, artikel 3. Hlm. 4917
[3] Andre Ata Ujan, Keadilan dan
Demokrasi: Telaah filsafat politik John Rawls. Yogyakarta: Kanisius 2001.
Hlm.23
[4] Thomas Aquinas. Op.cit.
II-II, q, 58.1 terjemahan aslinya sebagai berikut "a man is said to be just because he respects
the rights [jus] of others."
[5] Bdk. Thomas Aquinas. Ibid. II-II, Q.
57.a.2. I answer that, As stated above
(Article 1) the "right" or the "just" is a work that is
adjusted to another person according to some kind of equality. Now a thing can
be adjusted to a man in two ways: first by its very nature, as when a
man gives so much that he may receive equal value in return, and this is called
"natural right." In another way a thing is adjusted or commensurated
to another person, by agreement, or by common consent, when, to wit, a man
deems himself satisfied, if he receive so much. This can be done in two ways:
first by private agreement, as that which is confirmed by an agreement between
private individuals; secondly, by public agreement, as when the whole community
agrees that something should be deemed as though it were adjusted and
commensurated to another person, or when this is decreed by the prince who is
placed over the people, and acts in its stead, and this is called "positive
right."
[6] Ibid. II-II, q.57.a.3.
[7] H. Dwi Kristanto. Op.cit.
Hlm. 30
[8] Bdk. Valentinus. Kuliah: Filsafat Thomas Aquinas, 2015.
[9] Bdk. Thomas Aquinas, II-II, q.58.a.5. I answer that, Justice, as stated above (Article 2) directs man in his
relations with other men. Now this may happen in two ways: first as regards his
relation with individuals, secondly as regards his relations with others in
general, in so far as a man who serves a community, serves all those who are
included in that community. Accordingly justice in its proper acceptation can
be directed to another in both these senses. Now it is evident that all who are
included in a community, stand in relation to that community as parts to a
whole; while a part, as such, belongs to a whole, so that whatever is the good
of a part can be directed to the good of the whole. It follows therefore that
the good of any virtue, whether such virtue direct man in relation to himself,
or in relation to certain other individual persons, is referable to the common
good, to which justice directs: so that all acts of virtue can pertain to
justice, in so far as it directs man to the common good. It is in this sense
that justice is called a general virtue. And since it belongs to the law to
direct to the common good, as stated above (FS, Question 90, Article 2), it
follows that the justice which is in this way styled general, is called
"legal justice," because thereby man is in harmony with the law which
directs the acts of all the virtues to the common good.
[10] Ibid. II-II, q.64.a. 5 dalam terjemahan asli: , because every part, as such, belongs to the whole. Now every man is part
of the community, and so, as such, he belongs to the community. Hence by killing himself he
injures the community, as the Philosopher declares (Ethic. v, 11).
[11] Bdk. Ibid. II-II, q.61. a.1, dan 2.
[12] Bdk. Ibid. II-II, q.61. a.1, dan 2
[13] Al.Andang L. Binawan. Korupsi
(dalam cakrawala) Kemanusiaan, dalam Korupsi
Kemanusiaan. Jakarta: Kompas 2006. Hlm. xiii
[14] Reza A.A. Wattimena, FILSAFAT
ANTI-KORUPSI-Membedah Hasrat Kuasa, Pemburuan Kenikmatan, dan Sisi Hewani
Manusia di Balik Korupsi. Yogyakarta: Kanisius. Hlm. 9
[15] Valentinus, Catatan Kuliah s2, Filsafat Thomas Aquinas, 2015
[16] ibid
[17] bdk. Abdurrahman Wahid (ed),
Ilusi Negara Islam: Ekspansi Gerakan
Islam Transnasional di Indonesia dalam Ahmad Syafii Maarif, Masa Depan Islam DI Indonesia. Jakarta:
The Wahid Institute, 2009. Hlm. 8-9
[18] Armada Riyanto dkk (edit), Aku
dan Liyan-Kata Filsafat dan Sayap. Malang: Widya Sasana Publication 2011.
Hlm.25
[19] Bdk. Inggried (ed), Ibu Siami, Si Jujur yang Malah Ajur. Kompas.com. 15 Juni 2011
[20] Thomas Aquinas.Op.cit.
II-II, q.58.a.1
[21] H.Dwi Kristanto. Op.cit. Hlm.32
[22] Thomas Aquinas.Op.cit. II-II, q.66.a.5. I answer that, If anyone consider what is meant
by theft, he will find that it is sinful on two counts. First, because of its
opposition to justice, which gives to each one what is his, so that for this
reason theft is contrary to justice, through being a taking of what belongs to
another. Secondly, because of the guile or fraud committed by the thief, by
laying hands on another's property secretly and cunningly. Wherefore it is
evident that every theft is a sin.
[23] Hlm.75
[24] Bdk. Thomas Aquinas, First Part. Q. 21.
a.2. I answer that, Truth consists
in the equation of mind and thing, as said above (Question 16, Article 1). Now
the mind, that is the cause of the thing, is related to it as its rule and
measure; whereas the converse is the case with the mind that receives its
knowledge from things. When therefore things are the measure and rule of the
mind, truth consists in the equation of the mind to the thing, as happens in
ourselves. For according as a thing is, or is not, our thoughts or our words
about it are true or false. But when the mind is the rule or measure of things,
truth consists in the equation of the thing to the mind; just as the work of an
artist is said to be true, when it is in accordance with his art.
Now
as works of art are related to art, so are works of justice related to the law
with which they accord. Therefore God's justice, which establishes things in
the order conformable to the rule of His wisdom, which is the law of His
justice, is suitably called truth. Thus we also in human affairs speak of the
truth of justice.
[25] Simon Petrus L. Tjahjadi, Petualangan
Intelektual: Konfrontasi dengan para filsuf dari zaman Yunani hingga zaman
modern. Yogyakarta: Kanisius, 2004. Hlm. 135