Pertanyaan tentang realitas kejahatan di dunia bukanlah pertanyaan yang baru muncul di dunia post modern. Pertanyaan ini pertama kali ditanyakan oleh Filosof Epikuros (341-270 Sm). Pertanyaan Epikuros, Jika Tuhan itu Mahakuasa dan Mahabaik, mengapa Ia tidak menghilangkan kejahatan dari muka bumi?
Tongkonan Indonesiana
Tuesday, 25 January 2022
Teodise (Pembenaran Tuhan): Dialog dengan Leibniz di Masa Pandemi Covid-1
Monday, 17 January 2022
Dasar Ontologis Pancasila
Tetapi secara esensial Pancasila
telah berada dalam ranah mendalam
jiwa hati manusia-manusia Indonesia
yang kaya akan tradisi luhur jauh sebelum itu.
Pancasila adalah identitas
filosofis–kultural jiwa bangsa.
(Armada Riyanto, Berfilsafat
Politik, 134)
Di
kampung saya mereka yang masih berada dalam aliran kepercayaan (aluk todolo), masih melakukan ritual
penyembahan kepada yang ilahi. Mereka tidak mempunyai kuil sebagai tempat
khusus untuk pelaksanaan ritual, karena kosmos bagi mereka adalah simbol
kehadiran yang ilahi. Saya ingin menunjukkan bahwa Pancasila sebagai nilai,
telah ada dalam jiwa hati nurani bangsa Indonesia. Berketuhanan yang
berkebudayaan telah dipahami sejak dulu oleh orang-orang yang ada di nusantara.
Artinya, Pancasila telah lama dihidupi dalam keseharian masyarakat sebelum ada
yang bernama Indonesia. Sayangnya, Pancasila hari ini hanya dipandang sebagai
ideologi, bahkan sebagian orang menyebutnya sebagai hasil kompromi dari
berbagai pertarungan ideologi yang muncul. Ada tiga kelompok besar yang sering
kali menjadi rujukan dari munculnya Pancasila yakni kelompok Nasionalisme,
Islamisme, dan Marxisme.
Pertanyaan serius adalah, apakah
pancasila memang lahir dari hasil kompromi berbagai ideologi? Melihat manusia
Indonesia yang hidup dalam keanekaragaman budaya, rasanya terlalu sederhana
untuk menyatakan bahwa pancasila adalah kompromi dari berbagai ideologi. Secara
mendalam dapat dikatakan bahwa pancasila adalah sebuah refleksi filosofis yang
telah melahirkan identitas yang mewakili semua golongan, suku dan ras.
Tulisan ini akan mengurai Pancasila
sebagai sebuah penemuan luar biasa yang mampu memersatukan bukan hanya
ideologi, tetapi berbagai perbedaan yang ada di nusantara. Artinya pancasila
tidak hanya sekadar ideologi, tetapi melampaui, karena dia lahir dari tradisi
yang telah ada. Pancasila tidak lahir dari apa yang tidak ada, tetapi apa yang
telah dihidupi oleh masyarakat yang ada di nusantara.
Lahir dari Pencarian yang Dalam
Pancasila lahir dari sebuah pencarian yang dalam, yang tidak
hanya mewakili golongan tertentu, tetapi mewakili seluruh bangsa. Soekarno
secara tegas menyatakan bahwa pencarian ini sangat dalam.
Jadi. Saya menggali itu dalam sekali, sampai ke saf pra-Hindu. Datang saf zaman Hindu, yang di dalam bidang
politik berupa negara Taruma, negara Kalingga, negara Mataram kesatu, negaranya
Sanjaya, negara Empu Sendok, negara Kutai, berupa Sriwijaya dan lain
sebagainya. Datang saf lagi, saf zaman kita mengenal agama Islam,
yang di dalam bidang politik berupa negara Demak Bintoro, negara Pajang, negara
Mataram kedua, dan seterusnya. Datang saf
lagi, saf yang kita kontak dengan
Eropa, yaitu saf imperialis. Saya
lantas gogo (gogo itu seperti mencari ikan, di lobang kepiting)
sedalam-dalamnya sampai menembus zaman imperialis, menembus zaman Islam,
menembus zaman Hindu, masuk ke dalam zaman pra-Hindu.[1]
Pencarian
yang dalam membuat Pancasila dapat mewakili semua golongan di nusantara.
Pencarian yang dalam ini tidak melahirkan sebuah identitas primordial yang
hanya mewakili kelompok mayoritas secara agama atau suku, tetapi pencarian yang
dalam telah melahirkan sebuah konsep filosofis yang menjadi identitas bersama.
Pancasila sebagai identitas masyarakat Indonesia datang dari apa yang telah
dihidupi dalam kearifan lokal masyarakat. Pancasila tidak lahir dari apa yang
tidak ada, tetapi lahir dari apa yang telah ada dalam keseharian masyarakat
nusantara. Soekarno menyebut bahwa:
Kalau kita mau masukkan elemen-elemen yang tidak ada dalam
jiwa Indonesia tak mungkin dijadikan dasar untuk duduk di atasnya. Misalnya,
kalau kita ambil elemen-elemen dari alam pikiran Eropa atau alam pikiran
Afrika, itu adalah elemen asing bagi kita yang tidak in concordantie dengan jiwa kita sendiri. Tak akan bisa menjadi
dasar yang sehat, apalagi dasar yang harus mempersatukan.[2]
Soekarno memerjelas bahwa dasar yang sehat hanya terdapat
dalam jiwa bangsa Indonesia sendiri, bukan dari alam berpikir yang asing bagi
bangsa. Pancasila berasal dari alam berpikir bangsa Indonesia, karena itu
Pancasila tidak asing dan menjadi dasar yang sehat. Pancasila lahir dari budaya
bangsa dari kearifan-kearifan lokal yang ada di nusantara.
Demikian pula secara kultural dasar-dasar pemikiran dan
orientasi Pancasila pada hakikatnya bertumpu pada budaya bangsa. Nilai-nilai
Pancasila pada dasarnya terdapat secara fragmentaris dan sporadis dalam
kebudayaan bangsa yang tersebar di seluruh Kepulauan Nusantara, baik pada
abad-abad sebelumnya, maupun pada abad kedua puluh, di mana masyarakat
Indonesia telah mendapatkan kesempatan untuk berkomunikasi dan berakulturasi
dengan kebudayaan lain. oleh karena itu Pancasila mencerminkan nilai-nilai
budaya, baik tradisional maupun modern.[3]
Pandangan ini memberi pengakuan terhadap
nilai-nilai Pancasila yang telah ada dalam hidup keseharian masyarakat.
Nilai-nilai yang tersebar dalam budaya lokal masyarakat menjadi dasar untuk
membentuk konsep yang disebut Pancasila. Nilai-nilai tersebut kemudian
dirumuskan dalam lima konsep yakni:
Ketuhanan, Kebangsaaan,
Perikemanusiaan, Kedaulatan Rakyat, Keadilan Sosial, saya lantas berkata: kalau
ini saya pakai sebagai dasar statis dan Leitstar
dinamis, insyaallah, seluruh rakyat Indonesia bisa menerima, dan di atas dasar
meja statis dan Leitstar dinamis itu
rakyat Indonesia seluruhnya bisa bersatu padu.[4]
Kelima
sila di atas, telah ada dalam masyarakat nusantara sebelumnya. Kelima sila
menjadi fondasi dan tujuan hidup bangsa Indonesia, yang disebut oleh Soekarno
dalam satu sila yakni gotong royong. “Jikalau saya peras yang lima menjadi
tiga, dan yang tiga menjadi satu, maka dapatlah saya satu perkataan Indonesia
yang tulen, yaitu perkataan ‘gotong royong’.”[5] Sila-sila ini statis
sekaligus dinamis. Statis karena dia menjadi fondasi yang tidak boleh berubah,
dan dinamis karena dia menjadi tujuan untuk mencapai Indonesia yang lebih
beradab. “Pancasila adalah dasar statis yang mempersatukan sekaligus bintang
penuntun (leitstar) yang dinamis,
yang mengarahkan bangsa dalam mencapai tujuannya.”[6] Sila ketuhanan yang
berkebudayaan misalnya, telah lama dimaknai oleh masyarakat tradisional dalam
relasi dengan yang ilahi. Soekarno menyebut dalam pidato 1 Juni 1945 bahwa:
Bukan saja bangsa Indonesia
ber-Tuhan, tetapi masing-masing orang Indonesia hendaknya ber-Tuhan. Tuhannya
sendiri. Yang Kristen menyembah Tuhan menurut petunjuk Isa al Masih, yang belum
ber-Tuhan menurut petunjuk Nabi Muhammad saw, orang Buddha menjalankan
ibadatnya menurut kitab-kitab yang ada padanya. Tetapi marilah kita semuanya ber-Tuhan.
Hendaknya Negara Indonesia ialah negara yang tiap-tiap orangnya dapat menyembah
Tuhannya dengan cara yang leluasa. Segenap rakyat hendaknya ber-Tuhan secara
kebudayaan, yakni dengan tiada “egoisme-agama”.[7]
Setiap
orang ber-Tuhan berdasarkan kepercayaannya, dan membangun relasi dengan
Tuhannya dengan cara mereka masing-masing. Yudi Latif menyebut bahwa: “Yang
ditekankan di sini bukan tuhannya apa-karena itu urusan keyakinan agama
masing-masing, melainkan “ketuhanannya”, yakni sikap “menuhan”; berproses
meniru, mendekati, dan menjiwai sifat cinta kasih Tuhan.”[8] Sila ketuhanan tidak seperti
yang telah ditafsirkan secara keliru oleh orde baru dengan memberi pengakuan
terhadap lima agama, dan tidak memberi ruang pada aliran-aliran kepercayaan.
Penafsiran tersebut telah meruntuhkan fondasi nilai dari Pancasila. Runtuhnya
fondasi nilai, adalah rapuhnya masyarakat. Masyarakat tidak mungkin dipaksakan
untuk hidup dalam nilai palsu yang tidak merefleksikan hidup mereka.
Pancasila
sebagai nilai yang dihidupi oleh masyarakatnya tidak mungkin untuk diberi
tafsir baru berdasarkan kepentingan politik. Menafsirnya berdasarkan
kepentingan politik, akan membuatnya menjadi rapuh. Kerapuhan nilai sama dengan
kerapuhan masyarakat, bangsa dan negara. Pancasila menjadi hidup ketika setiap
manusia mampu menunjukkan identitasnya, bukan dipaksa dalam keseragaman.
Seragam cara berpikirnya, seragam budayanya, dll. Perbedaan yang ada justru
menunjukkan fondasi nilai Pancasila yang sejati. Pancasila tidak lahir dari
sebuah kesamaan agama, budaya atau ideologi, tetapi lahir dari perbedaan.
Perbedaan yang ada justru telah melahirkan identitas sebuah bangsa dengan
memfondasikan diri pada Pancasila. Keunikan Pancasila justru terletak pada
sikap untuk memberi ruang terhadap perbedaan yang ada. Mengapa? Karena
Pancasila lahir dari ruang yang penuh dengan kepelbagaian.
Bisa
dikatakan bahwa yang tidak memberi ruang terhadap perbedaan, adalah mereka yang
tidak memahami nilai-nilai Pancasila. Pertanyaannya adalah, apakah ruang
perbedaan ini berlaku bagi para kelompok yang menebar teror? Ruang perbedaan
yang ada, adalah ruang yang masih menjadikan kemanusiaan sebagai nilai
tertinggi. Seperti diungkapkan Soekarno ketika mengafirmasi apa yang dikatakan
Gandi bahwa, saya seorang nasionalis, tetapi nasionalisme saya adalah
perikemanusiaan (my nationalism is
humanity). Kelompok-kelompok radikal yang menebar teror dengan demikian
tidak bisa diberi ruang untuk hidup di negara Pancasila. Kelompok-kelompok
radikal tidak sesuai dengan roh Pancasila yang menerima perbedaan. Pancasila
yang lahir dari nilai-nilai gotong royong, tentu menolak tindakan radikal yang
mengancam keutuhan bangsa.
Pancasila bukan Kompromi Ideologi
Apakah pancasila adalah kompromi
ideologi? Pancasila sebagai jiwa bangsa yang lahir dari nilai-nilai kearifan
lokal, tidak tepat disebut sebagai kompromi dari berbagai ideologi. Tidak
tepat, karena Pancasila lahir dari nilai-nilai yang telah dihidupi oleh
masyarakat nusantara.
Dalam arti ini, Pancasila tidak pernah merupakan produk kompromi
kelompok-kelompok apa pun. Dalam makna sebagaimana dimaksudkan oleh
pencetusnya, Pancasila bukan pertama-tama sebuah ideologi (semacam “agama”
negara) melainkan identitas dan fondasi ontologis-eksistensial bangsa.
Pergumulan pencarian Soekarno sepenuhnya terarah kepada konsep filosofis
tradisi luhur yang menyatukan dan memerdekakan.[9]
Pancasila sebagai fondasi
ontologis-eksistensial melekat dalam diri bangsa Indonesia. Pancasila tidak
hanya sekadar konsep, tetapi telah dihidupi oleh masyarakat dalam budaya mereka
masing-masing. Pancasila tidak dilahirkan untuk mengakomodir golongan-golongan
tertentu, tetapi Pancasila ada untuk semua golongan tanpa sekat. Jika Pancasila
hanya hadir untuk mengakomodir perbedaan ideologi dari golongan/kelompok
tertentu, Pancasila menjadi rapuh. Rapuh karena dia lahir bukan dari pergulatan
batin atas nilai-nilai yang ada, tetapi lebih untuk memuaskan kepentingan
kelompok tertentu.
Pancasila bukan ideologi yang diimpor
dari luar atau datang dari langit, tetapi dari nilai-nilai yang telah ada dalam
masyarakat. Pancasila tidak terhisap oleh satu ideologi tertentu, karena
Pancasila adalah roh yang telah hidup dalam keseharian masyarakat sebelum
Indonesia ada.
Menurut Soekarno, kekacauan akan
terjadi bila bangsa ini memeluk secara buta ideologi-ideologi “importiran”.
Karena itu, ia menyebut Pancasila bukan individualisme. Bukan komunisme. Bukan
fasisme. Bukan pula Islamisme atau Kristianisme atau segala “isme” yang berkaitan
dengan ideologi/agama apa pun.[10]
Negara
ini mungkin telah lama hancur sekiranya dibangun atas dasar ideologi tertentu.
Ideologi yang tidak dihidupi oleh masyarakat akan menjadi rapuh. Rapuh karena
ideologi tersebut bisa mengkonstruksi identitas manusia yang hidup dalam
nilai-nilai tertentu. Pancasila tidak lagi mengkonstruksi manusia Indonesia
menurut ideologi Pancasila. Karena orang-orang Indonesia yang hidup dalam
ideologi Pancasila menghidupi Pancasila sejak dulu. Ini yang disebut oleh
Soekarno sebagai jiwa bangsa. “Dan, ‘jiwa’ inilah yang dia gali dari dalam diri
bangsa Indonesia itu sendiri, Kristalisasi ‘jiwa’ ini ialah sila–sila dalam
Pancasila. Tanpa Pancasila, Indonesia pasti menjadi bangsa yang tak punya
‘jiwa’.”[11]
Pancasila
adalah jiwa bangsa Indonesia, jiwa bangsa adalah itu yang menggerakkan manusia
menuju pada satu tatanan hidup berbangsa yang beradab. Negara tanpa jiwa adalah
negara yang rapuh, itu sebabnya negara harus dibangun jiwanya. Pancasila
sebagai jiwa bangsa, tidak hanya dilihat sebagai ideologi, tetapi melampaui
ideologi. Sebagai ideologi, maka Pancasila hanyalah ide/gagasan/cara berpikir
yang akan memaksa setiap individu untuk mengikuti ideologi tersebut. Pancasila
melampaui ideologi, karena dia bukan hanya ide/konsep/cara berpikir yang
mengarahkan setiap individu, tetapi dia adalah nilai yang hidup dan
menggerakkan setiap individu untuk bergerak bersama dalam mencapai tujuan.
Pancasila menjadi jiwa yang menggerakkan setiap orang pada satu tujuan. Tujuan
bersama ini tidak datang dari luar, tetapi datang dari dalam nilai-nilai bangsa
Indonesia. Nilai yang lahir dari dalam ini kita sebut sebagai jiwanya bangsa
Indonesia, karena jiwa ada di dalam bukan di luar.
Jiwa adalah penggerak dari dalam
bukan dari luar. Sesuatu yang menggerakkan dari luar, justru seringkali
bertentangan dengan apa yang dikehendaki jiwa. Itu sebabnya Pancasila tidak
bisa disebut sebagai kompromi ideologi, sebab dia tidak datang dari luar bangsa
Indonesia, tetapi datang dari dalam diri bangsa Indonesia. Karena itu Pancasila
disebut sebagai jiwanya bangsa Indonesia, karena Pancasila lahir dari refleksi
nilai-nilai yang ada di nusantara. Itu sebabnya mereka yang berbeda ideologi
tetap akan saling menghargai perbedaan-perbedaan yang ada. Yudi Latif dalam buku
“Mata Air Keteladanan” mengurai bagaimana Pancasila dihidupi oleh tokoh bangsa,
misalnya:
M. Natsir yang puritan dan tokoh
Islam dari Masyumi bisa minum teh bersama dengan tokoh Partai Komunis Indonesia
(PKI) D.N. Aidit di kantin parlemen. Bahkan setelah berdebat panas di
Konstituante, Natsir dan Aidit bisa makan sate bersama di kantin. Padahal paham
politik keduanya sangat berbeda tajam, ibarat minyak dan air. Tetapi sebagai
sesama manusia, keduanya saling menghormati dan menghargai dalam ikatan persahabatan.[12]
Apa yang ditunjukkan oleh para tokoh
bangsa ini memerlihatkan bahwa nilai-nilai Pancasila melekat dalam diri mereka.
Perbedaan pandangan tidak membuat mereka menjadi musuh, tetapi justru perbedaan
membuat mereka menjadi teman diskusi. Penghayatan mereka akan Pancasila,
memerlihatkan bahwa mereka tidak hanya melihat Pancasila sekadar sebuah
ideologi, tetapi melihatnya sebagai yang mewakili identitas mereka sebagai anak
bangsa. Pancasila sebagai nilai yang dihidupi membuat orang bisa berbeda, tetapi
tetap mengedepankan kemanusiaan sebagai yang utama. Seperti halnya dikutip oleh
Yudi Latif dalam tempo 2011:58-59:
Dalam mengembangkan sikap saling
menghargai, Kiai Hasjim bisa menentukan secara dewasa kapan bisa berbeda dan
kapan bisa tetap saudara. Urusan politik tidak dicampuradukkan dengan urusan
(hubungan) pribadi. Beliau pernah menegur istrinya, Solehah, karena menolak
memberi tumpangan kepada seorang anggota konstituante yang menyudutkan Kiai
Hasyim dalam sidang. Dengan jernih Pak Kiai mengingatkan istrinya. “urusan
pekerjaan dan pribadi tak bisa dicampur aduk,” ujarnya.[13]
Pandangan Kiai Hasjim ini, tidak
hanya memerlihatkan sikap tolerannya terhadap perbedaan, tetapi menunjukkan
betapa dia benar-benar memaknai Pancasila bukan sekadar ideologi pemersatu.
Pancasila yang mereka yakini, adalah Pancasila yang hidup dalam jiwa mereka,
bukan Pancasila yang hanya menekankan nasionalisme dan melupakan humanisme.
Para tokoh bangsa ini benar-benar menjadi panutan dalam memaknai Pancasila,
sehingga perbedaan pandangan tidak menghilangkan nilai kemanusiaan. Mereka
benar-benar telah menjadi kaum nasionalis yang mengedepankan kemanusiaan. Tidak
ada masalah antara kaum Nasionalis dengan kaum Islamis, atau antara kaum
Islamis dengan kaum Marxis. Mereka semua menyatu dalam satu kesatuan tanpa
peduli apa ideologi mereka. Mereka tidak dipersatukan karena ideologi mereka
diakomodir oleh Pancasila, tetapi karena nilai-nilai kearifan yang telah
membentuk mereka. Itu sebabnya mereka dapat bersatu, sekalipun berbeda ideologi.
Soekarno menyebut bahwa:
Apakah nasionalisme itu dalam
perdjoangan–djadjahan bisa bergandengan dengan islamisme jang dalam hakekatnja
tiada bangsa, dan dalam lahirnya dipeluk oleh bermatjam-matjam bangsa dan
bermatjam-matjam ras;-apakah Nasionalisme itu dalam politik kolonial bisa
rapat-diri dengan Marxisme jang internasional, interrasial itu? Dengan
ketetapan hati kita mendjawab: bisa![14]
Keyakinan Soekarno tentu didasarkan
pada sebuah keyakinan berdasarkan pengalaman eksistensialnya. Bahwa kelompok
nasionalis bisa menyatu dengan kelompok yang ber-ideologi berbeda adalah hal
yang bisa terjadi karena mereka sama–sama mencintai kemanusiaan. Kaum
nasionalis yang ada adalah kelompok nasionalis yang menghargai kemanusiaan, itu
yang memudahkan mereka dapat menyatu dengan kelompok lainnya. Soekarno menyebut
bahwa:
Nasionalis jang sedjati , jang
nasionalismenja itu bukan semata-mata suatu copie atau tiruan dari nasionalisme
Barat, akan tetapi timbul dari rasa tjinta akan manusia dan
kemanusiaan,-nasionalis jang menerima rasa-nasionalismenja itu sebagai suatu
wahju dan melaksanakan rasa itu sebagai suatu bakti, adalah terhindari dari
segala faham keketjilan dan kesempitan.[15]
Kecintaan pada kemanusiaan menjadi
fondasi untuk mengikat kebersamaan dalam perbedaan-perbedaan ideologi. Tidak
mengherankan jika kemudian Natsir dan Aidit masih bisa makan sate bersama
sekalipun tidak pernah berhenti berdebat karena perbedaan ideologi. Mereka
semua lebih mengedepankan kemanusiaan dan bukan kepentingan ideologi. Berbeda
dengan para politisi hari ini yang berdebat di parlemen dan keluar parlementer
dengan makian. Kemanusiaan menjadi hal yang tidak penting, tetapi yang paling
penting adalah kekuasaan. Sekalipun mereka berada dalam satu ideologi yang sama
yakni Pancasila, tetapi sikap mereka jauh dari sikap bersila (sesuai kata dan
tindakan). Politisi hari ini menjadi politisi oportunis yang tidak lagi
memahami nilai-nilai Pancasila, karena Pancasila hanya dijadikan alat
legitimasi kepentingan kelompok.
Rasa
Senasib adalah Fondasi Persatuan
Persatuan
bisa terjadi karena ada yang memersatukan, seperti halnya Pancasila bisa
diterima oleh semua golongan karena dia mampu mengakomodir berbagai nilai
kearifan yang ada. Rasa persatuan yang dialami oleh para tokoh bangsa tidak
lepas dari rasa senasib sebagai bangsa yang tertindas. Soekarno menyebut bahwa:
Maka tak boleh kita lupa, bahwa
manusia-manusia jang mendjadikan pergerakan Islamisme dan pergerakan Marxisme
di Indonesia-kita ini, dengan manusia-manusia yang mendjalankan pergerakan
Nasionalisme itu semuanja mempunjai “keinginan hidup mendjadi satu”;- bahwa
mereka dengan kaum Nasionalis itu merasa “satu golongan, satu bangsa”;-bahwa
segala fihak dari pergerakan kita ini, baik Nasionalis maupun Islamis, maupun
pula Marxis, beratus-ratus tahun lamanja ada “persatuan hal-ichwal”,
beratus-ratus tahun lamanja sama-sama bernasib tak merdeka! Kita tak boleh
lalai, bahwa teristimewa “persatuan hal-ichwal”, persatuan nasib, inilah jang
menimbulkan rasa “segolongan” itu.[16]
Soekarno
secara spesifik menyebut bahwa rasa senasib inilah yang menimbulkan rasa segolongan.
Senasib sebagai bangsa terjajah, membuat para tokoh bangsa mampu menyatu dalam
perbedaan-perbedaan yang ada. Rasa senasib ini menunjukkan sikap batin yang
sama, di mana mereka semua mempunyai kerinduan untuk merdeka. Perasaan se-nasib
dengan demikian bukan persoalan sederhana, tetapi mau menunjukkan sikap
terdalam dari diri manusia-manusia Indonesia, bahwa mereka mencintai
kemerdekaan. Mencintai kemerdekaan adalah mencintai nasionalisme, dan pencinta
nasionalisme hanyalah orang-orang yang memberi ruang untuk kemanusiaan. Ini
kemudian yang disebut Soekarno bahwa, rasa senasib menimbulkan rasa
“segolongan”. Itu sebabnya para tokoh bangsa tidak pernah memersoalkan
perbedaan-perbedaan yang ada, karena mereka sama-sama digerakkan oleh perasaan
senasib akan bangsa.
Sekalipun
para tokoh bangsa mempunyai pandangan ideologi yang berbeda, tetapi mereka
tetap menyatu dalam satu tujuan. Mereka berada dalam satu ruang yang sama, yang
menghargai dan mencintai kemanusiaan. Nasionalisme mereka bukan nasionalisme
yang sempit, tetapi nasionalisme yang memberi ruang untuk kemanusiaan.
Nasionalisme seperti ini yang kemudian sulit untuk kita temukan hari ini.
Nasionalisme hari ini, hanya menjadi nasionalisme yang menjadi alat legitimasi
untuk mengeksploitasi sumber daya alam dalam sebuah wilayah. Tidak heran jika
kemudian Papua bergejolak meminta untuk merdeka, karena merasa tidak diberi
perhatian oleh negara. Tidak ada lagi perasaan senasib, tetapi yang ada adalah
masing-masing menentukan nasibnya sendiri. Pancasila menjadi kehilangan roh,
karena Pancasila tidak lagi menjadi nilai yang membuat orang merasa mempunyai
perasaan yang sama dengan saudaranya yang menderita dan miskin.
Pada sisi yang lain, kesenjangan
sosial yang ada justru menjadi tontonan, dan bukan justru dilihat sebagai
sebuah masalah. Tontonan itu dipertontonkan untuk menjadi alat kepentingan
politik, yang membuat orang miskin dijadikan sebagai alat kepentingan politik.
Para politisi sampai LSM menjadikan orang miskin sebagai panggung untuk
kepentingan mereka. Situasi yang sangat berbeda dengan para tokoh bangsa yang
justru melihat berbagai fenomena sebagai bagian dari diri mereka untuk
diperjuangkan. Pancasila hanya akan menjadi sakti ketika, anak-anak bangsa
menjadikan rasa kemanusiaan sebagai yang utama. Bukan justru menjadi pejuang
kemanusiaan yang tidak manusiawi. Menjadi benar apa yang disampaikan Soekarno
bahwa, “perjuanganmu akan lebih sulit karena melawan bangsa sendiri.”
Persatuan kita menjadi rapuh, bukan
karena kita tidak punya ideologi, tetapi karena kita tidak lagi mau merasakan
apa yang dirasakan oleh yang lain. Rapuhnya Pancasila bukan karena banyaknya
paham/ideologi yang muncul, karena di era revolusi pun ada banyak perbedaan
ideologi, tetapi para tokoh bangsa ini masih bisa menyatu. Kerapuhan bangsa ini
salah satunya adalah, tidak ada perasaan senasib yang dimiliki oleh bangsa ini.
Para politisi bahkan melakukan korupsi secara berjamaah, dan tidak lagi
memikirkan nasib saudara-saudaranya yang miskin. Pancasila seperti tidak lagi
dihidupi sebagai sebuah nilai, tetapi dipandang sebagai ideologi yang tanpa
makna. Pancasila sekadar menjadi ritual-ritual dalam acara kenegaraan, tetapi
dia telah kehilangan rohnya. Kondisi ini membuat bangsa kita menjadi bangsa
yang rapuh, bangsa yang tidak lagi memiliki roh. Tidak heran jika para koruptor
masih dapat tersenyum ketika mereka memakai rompi oranye (rompi tahanan KPK).
Seperti tidak ada perasaan bersalah pada diri mereka yang telah membuat rakyat
menjadi sengsara.
Nilai gotong royong pun memudar akibat hilangnya perasaan
senasib sebagai anak-anak bangsa. Tidak adanya perasaan senasib membuat rakyat
tidak lagi memperdulikan apa yang dialami oleh saudara-saudaranya. Sepertinya
setiap orang hanya memerhatikan kelompoknya dan tidak peduli terhadap mereka
yang berbeda pandangan. Setiap orang seperti sedang memerjuangkan dirinya dan
kelompoknya. Tidak menjadi aneh ketika salah satu universitas ternama di
Indonesia yang dibiayai oleh negara (Universitas Padjadjaran Bandung) memberi
beasiswa dengan kriteria (prioritas) mampu membaca Al Qur-an minimal lima Juz.[17] Ini
jelas bertentangan dengan Pancasila, membuka ruang diskriminasi untuk kelompok
agama yang berbeda. Fenomena ini memerlihatkan betapa negara ini mengalami
kerapuhan dalam memaknai Pancasila. Pancasila seperti slogan kosong tanpa roh.
Bergesernya Nilai Pancasila
Melihat
fenomena yang ada sekarang ini, dapat dikatakan bahwa nilai-nilai Pancasila
telah bergeser jauh dari fondasinya. Pergeseran ini tidak hanya terlihat pada
sikap diskriminatif oleh kampus negeri seperti di atas, tetapi juga pada sikap
intoleran yang dilakukan oleh kelompok fundamental yang mengatasnamakan agama.
Pada 23 September 2016, Front
Pembela Islam (FPI) menyerbu Gereja Toraja Bunturannu di Makassar, karena
melarang untuk merenovasi gereja. Tiga hari kemudian, pada 25 September
2016, pukul 20.30 Wita, Gereja Toraja, Jalan Gunung Bawakaraeng-Makassar,
diserang orang tak dikenal. Pada tingkat nasional terlalu sering kita mendengar
partai dakwah seperti PKS yang justru tidak henti memerjuangkan syariat Islam.
Lebih memprihatinkan ketika Aceh yang merupakan bagian dari Republik diberi
kewenangan khusus oleh negara untuk menjalankan hukum syariat islam. “Orang
yang mau beribadat menurut cara yang tidak berkenan pada tetangganya dicaci
maki, diancam bahkan diusir.[18]
Fenomena yang ada ini, memerlihatkan
bahwa Pancasila berada dalam kerapuhan. Nilai-nilai gotong royong yang mestinya
diberi ruang sekarang justru menjadi sesuatu yang tidak jelas. Nilai-nilai ini
telah digantikan oleh doktrin-doktrin baru yang begitu mudahnya menebar
kebencian terhadap mereka yang berbeda pandangan. Kata “kafir” menjadi sesuatu
yang secara tajam mulai diangkat untuk membuat distingsi ber-Tuhan dan tidak
ber-Tuhan. Mereka yang menyebut diri sebagai tokoh bangsa pun justru terlibat
dalam pertarungan politik yang tidak sehat dengan ikut mengkafirkan mereka yang
berbeda keyakinan. Pluralisme terancam dalam situasi seperti ini. Keterancaman
ini adalah ancaman bagi Pancasila. “Bagi Indonesia yang begitu majemuk pluralisme
merupakan syarat eksistensinya.”[19]
Jika pluralisme adalah syarat
eksistensi, maka hidup dalam negara pancasila harus selalu memberi ruang bagi
setiap perbedaan. Di sana ada kesediaan untuk saling menerima perbedaan/
keunikan yang ada pada diri setiap individu. Mereka yang tidak menghargai
keunikan pada diri setiap orang, maka ini bertentangan dengan nilai-nilai
Pancasila. Karena Pancasila lahir dari kepelbagaian yang ada di nusantara.
Pancasila tidak lahir dari doktrin, atau pandangan tertentu, tetapi dia lahir
dari perbedaan. Kesediaan untuk hidup bersama dan menghargai keunikan menjadi
sesuatu yang penting. Franz Magnis Suseno menyatakan:
Maka aktualisasi nilai-nilai
Pancasila tak lain berarti aktualisasi kesediaan seluruh komponen masyarakat
yaitu: masyarakat/rakyat sendiri dari Sabang sampai Merauke maupun
lembaga/institusi/organisasi dalam masyarakat, baik yang bersifat politik,
termasuk semua partai politik, maupun civil
society, khususnya agama-agama dengan organisasi dan artikulasi lain mereka
untuk menerima kenyataan bahwa Indonesia itu sebuah pluralitas, artinya, saling
menerima dalam kekhasan masing-masing.[20]
Pluralitas
yang ada ini menjadi hal yang harus dihormati oleh mereka yang hidup dalam
negara Pancasila. Sikap tidak hormat terhadap berbagai keunikan yang ada,
menunjukkan ketidakpahaman terhadap nilai Pancasila, tetapi mereka yang
memahami akan memberi hormat terhadap perbedaan yang ada. Tidak menghargai
perbedaan sama dengan meruntuhkan fondasi Pancasila, karena Pancasila merupakan
fondasi untuk menata tatanan hidup menjadi lebih baik. Armada Riyanto menyebut
bahwa:
Pancasila identik dengan filsafat
emansipatoris (yang membebaskan) manusia-manusia Indonesia dalam konteks
kulturalitas dan religiusitas sendiri yang luar biasa plural. Pancasila adalah
fondasi tata hidup bersama yang menginspirasikan pembebasan dari alienasi satu
sama lain dalam lautan keanekaragaman suku, budaya, tradisi, agama yang kaya.[21]
Pancasila
sebagai fondasi filosofis bangsa, menuntun manusia-manusia yang ada di dalamnya
untuk selalu menempatkan perbedaan sebagai jalan menuju kebersamaan.
Perbedaan/keunikan bukan untuk dipertentangkan, siapa yang paling baik, tetapi
justru dari perbedaan kita belajar tentang kekurangan dan kelebihan yang lain.
Pancasila telah menyatukan perbedaan itu menjadi satu kekuatan untuk membangun
bangsa. Bergesernya nilai-nilai Pancasila salah satu penyebabnya karena manusia
yang ada di dalamnya tidak menghargai perbedaan. Ada kelompok-kelompok tertentu
yang menjadikan diri mereka sebagai tuhan atas sesamanya. Kelompok ini dengan
mudah melakukan kekerasan atas nama doktrin agama yang mereka yakini sebagai
kebenaran tunggal. Pancasila sesungguhnya terancam oleh kelompok-kelompok
fundamentalis yang sering memaksakan kehendak dan bertindak sendiri. Sebagian
kelompok yang merasa ter-diskriminasi merasa terancam berada dalam rumah mereka
sendiri. “Hanya kalau semua komponen di Indonesia merasa seperti di rumah
sendiri, apabila identitas mereka masing-masing terjamin, mereka akan bersama
terus.”[22]
Indonesia
adalah rumah bersama, bukan rumah segelintir orang. Ketika Pancasila dijadikan
sebagai dasar bersama, maka serempak kita sedang memberi pengakuan akan semua
identitas yang berbeda. Pengakuan akan perbedaan ini adalah nilai yang
sesungguhnya telah lama hidup dalam kearifan lokal masyarakat nusantara.
Sayangnya, kelompok-kelompok fundamental merusak nilai-nilai tersebut dengan
melakukan berbagai tindakan kekerasan atas nama agama. Pancasila yang menjadi
fondasi seperti kehilangan sayap untuk terbang, akibat dari nilai-nilai
kebersamaan tidak lagi dihargai.
Refleksi
Pancasila
adalah identitas bangsa Indonesia, identitas yang harusnya menjiwai aspek
keseharian masyarakat Indonesia. Mengapa identitas itu harus menjiwai
keseharian masyarakat? Identitas yang tidak menjiwai hidup keseharian
masyarakat menjadi identitas yang kabur. Jika masyarakat Indonesia hidup dalam
identitas yang jelas, hidup berbangsa dan bernegara menjadi lebih baik. Menjadi
baik karena tidak ada manusia–manusia yang mengklaim kebenarannya sendiri, dan
menganggap dirinya berhak untuk menjadi hakim bagi yang lain. Negara Pancasila
adalah negara yang selalu memberi ruang untuk pandangan yang berbeda, sejauh
pandangan yang berbeda itu tunduk pada penghargaan akan kemanusiaan. Artinya,
tidak semua pandangan berbeda dapat hidup di negara Pancasila, jika pandangan
itu akan menghancurkan tatanan hidup masyarakat. Kemanusiaan dengan demikian
menjadi sesuatu yang sangat penting untuk memaknai nilai-nilai Pancasila.
Memaknai nilai Pancasila berarti menghargai kemanusiaan, sebaliknya abai
terhadap kemanusiaan sama dengan tidak memberi tempat terhadap Pancasila.
Sikap
inklusif, menjadi hal penting dalam negara Pancasila, keterbukaan dan
penghargaan pada pandangan yang berbeda adalah keniscayaan. Pancasila yang
lahir dari nilai-nilai kearifan lokal, selalu memberi ruang untuk relasi dengan
yang lain. Relasi ini selalu mengandaikan adanya penghormatan bagi yang lain,
sekalipun di sana ada perbedaan-perbedaan pandangan. Sikap terbuka terhadap
yang lain menunjukkan sebuah sikap penghormatan terhadap kemanusiaan.
Menghormati kemanusiaan sama artinya menghormati Pancasila sebagai identitas
bangsa. Pancasila sebagai identitas bangsa selalu membuka ruang untuk setiap
perbedaan yang ada. Identitas Pancasila adalah menghargai perbedaan, sehingga
setiap manusia yang ada dalam bumi Indonesia mempunyai tanggung jawab untuk
menghadirkan kedamaian. Negara pun harus memastikan bahwa tidak ada kelompok
tertentu yang menebar kebencian atas nama agama atau ideologi. Dalam negara
Pancasila harus ada kepastian bahwa setiap orang tidak mendapatkan
diskriminasi.
Tidak
adanya penghargaan terhadap kepelbagaian, sesungguhnya dapat dikategorikan
sebagai sikap tidak memahami Pancasila. Pancasila jelas merupakan sebuah nilai
yang mau membangun keutuhan bangsa dengan menunjukkan relasi antara sesama anak
bangsa yang berbeda agama, suku, dan ras. Adanya relasi tersebut menjadi sebuah
pengandaian bahwa tatanan hidup masyarakat berada dalam keharmonisan.
Sebaliknya hilangnya relasi mengandaikan hancurnya nilai-nilai Pancasila.
Kondisi sekarang ini memerlihatkan bahwa relasi dengan yang lain menjadi kabur,
dan ini dapat terlihat dari masih adanya tindakan kekerasan yang
mengatasnamakan agama. Pancasila menjadi sakti bukan karena dia menjadi
kekuatan pemaksa untuk membuat persatuan semu, tetapi ketika setiap masyarakat
memahami nilai-nilai kearifan dari pancasila.
Indonesia
telah mengalami distorsi yang panjang di zaman orde baru, di mana Pancasila
menjadi alat kekuasaan untuk memertahankan kekuasaan. Mereka yang berbeda
pandangan/ideologi dihilangkan. Bahkan kelompok yang bersikap kritis terhadap
negara dianggap makar, karena itu menghilangkan nyawa mereka adalah legal.
Pancasila mengalami penyimpangan untuk membenarkan tindakan sekelompok orang.
Mereka yang disebut Pancasilais adalah mereka yang tunduk pada kepentingan
kekuasaan, sekalipun itu menindas dan tidak memberi ruang kebebasan.
Pancasilais sekalipun tidak memberi ruang atas kemanusiaan. Semua ini
merefleksikan betapa Pancasila hanya akan menjadi sakti jika negara senantiasa
memberi ruang untuk berbagai perbedaan dan senantiasa mengedepankan kemanusiaan.
Perbedaaan adalah sebuah keniscayaan yang tidak mungkin dihindari, karena itu
setiap orang harus selalu menghargai perbedaan yang ada.
DAFTAR PUSTAKA
Buku:
Armada Riyanto, Berfilsafat Politik, Yogyakarta: Kanisius, 2011.
______________(Ed), Kearifan Lokal Pancasila: Butir-butir
filsafat keindonesiaan, Yogyakarta: Kanisius, 2015.
Franz Magnis Suseno, Kebangsaan, Demokrasi, Pluralisme,
Jakarta: Kompas, 2015.
Saafroedin Bahar dkk (peny), Risalah Sidang Badan Penyelidik Usaha-usaha
Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), Panitia Persiapan Kemerdekaan
Indonesia (PPKI), Jakarta: Sekretariat Negara Republik Indonesia, 1995.
Soekarno, Di bawah bendera revolusi, vol.1. Jakarta: Panitia di bawah bendera
revolusi, 1964.
________, Filsafat Pancasila menurut Bung Karno,Yogyakarta: Media Pressindo,
2006.
________, Revolusi
Indonesia: Nasionalisme, Marhaen, dan Pancasila, (Penyunting: Pamoe Rahardjo
dan Islah Gusmian), Yogyakarta: Galang Press, 2002.
Soerjanto Poespowardojo, FIlsafata
Pancasila: Sebuah Pendekatan Sosio-Budaya, Jakarta: Gramedia, 1989.
Yudi Latif, Negara Paripurna: Historisitas, rasionalitas, dan aktualitas Pancasila.
Jakarta: Gramedia, 2011.
_________, Mata Air Keteladanan: Pancasila Dalam Perbuatan, Jakarta: Mizan, 2014.
Berita Online:
Heyder
Affan, Syaratkan hafal Alquran untuk
beasiswa, Jabar 'diskriminatif, www.bbc.com/indonesia,
3 Oktober 2016.
Reni Susanti. Unpad Tawarkan Beasiswa Salah Satu Syaratnya Tuai Kontroversi,
Kompas.com, 5 Oktober 2016.
[1]Sukarno, Revolusi
Indonesia: Nasionalisme, Marhaen, dan Pancasila, (Penyunting: Pamoe Raharjo
dan Islah Gusmian), Yogyakarta: Galang Press, 2002, hlm. 108.
[2]Soekarno, Filsafat
Pancasila menurut Bung Karno,Yogyakarta: Media Pressindo, 2006, hlm.
108-109.
[3]Soerjanto Poespowardojo, FIlsafat Pancasila: Sebuah
Pendekatan Sosio-Budaya, Jakarta: Gramedia, 1989, hlm. 5.
[4]Ibid., hlm. 108-109.
[5] Saafroedin Bahar dkk (peny), Risalah Sidang Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan
Indonesia (BPUPKI), Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI),
Jakarta: Sekretariat Negara Republik Indonesia, 1995, hlm. 82.
[6] Yudi Latif, Negara
Paripurna: Historisitas, rasionalitas, dan aktualitas Pancasila. Jakarta:
Gramedia, 2011, hlm. 41.
[7]Saafroedin Bahar, Op.Cit.,
hlm. 80.
[8] Yudi Latif, Mata Air
Keteladanan: Pancasila Dalam Perbuatan, Jakarta: Mizan, 2014, hlm. 4.
[9]Armada Riyanto, Berfilsafat
Politik, Yogyakarta: Kanisius, 2011, hlm. 135.
[10]Ibid., hlm. 137.
[11] Armada Riyanto, Kearifan
Lokal Pancasila Butir-Butir Filsafat “Keindonesiaan”, dalam Kearifan Lokal
Pancasila: Butir-butir filsafat keindonesiaan. (Armada Riyanto dkk. Ed),
Yogyakarta: Kanisius, 2015, hlm. 18.
[12] Yudi Latif, Air Mata
Keteladanan, Op.Cit., hlm. 68-69.
[13]Ibid., hlm. 69-70.
[14]Soekarno, Di bawah
bendera revolusi, vol.1. Jakarta: Panitia di bawah bendera revolusi, 1964,
hlm. 4.
[15]Ibid., hlm. 5-6.
[16]Ibid., hlm.4.
[17] Reni Susanti, Unpad
Tawarkan Beasiswa Salah Satu Syaratnya Tuai Kontroversi, diakses dari: http://regional.kompas.com/read/2016/10/05/14451171/unpad.tawarkan.beasiswa.salah.satu.syaratnya.tuai.kontroversi
dan Heyder Affan,
Syaratkan hafal Alquran untuk
beasiswa, Jabar'diskriminatif,diakses
dari:http://www.bbc.com/indonesia/berita_indonesia/2016/10/161002_indonesia_beasiswa_alquran
[18] Franz Magnis Suseno, Kebangsaan,
Demokrasi, Pluralisme, Jakarta: Kompas, 2015, hlm. 46.
[19]Ibid., hlm. 103.
[20]Ibid., hlm. 106.
[21] Armada Riyanto, Op.Cit.,
hlm. 135-136.
[22] Franz Magnis Suseno, Op.Cit.,
hlm. 82-93.
Teodise (Pembenaran Tuhan): Dialog dengan Leibniz di Masa Pandemi Covid-1
Pertanyaan tentang realitas kejahatan di dunia bukanlah pertanyaan yang baru muncul di dunia post modern. Pertanyaan ini pertama kali ditany...
-
Editor : Armada Riyanto, dkk. Penerbit : Kanisius, Yogyakarta, Cetakan Pertama, Agustus 2015 Juml...
-
Menggali Konsep Filsafat Pendidikan Platon Dalam Buku: Mendidik Pemimpin dan Negarawan Dialektika Filsafat Pendidikan Platon dari Y...
-
Manusia Terpencil Menuju Jalan Pencerahan Resensi Buku : Sejarah Sosial Tana Toraja Penerbit : Ombak Jumlah ...