Sunday 12 March 2017

Resensi Buku: Manusia Terpencil Menuju Jalan Pencerahan

 Manusia Terpencil Menuju Jalan Pencerahan

Resensi Buku       : Sejarah Sosial Tana Toraja
Penerbit                : Ombak
Jumlah Halaman  : 437
Judul Asli             : Tana Toraja: A Social History of an Indonesian People
Penulis                  : Terance W. Bigalke
Tahun Terbit         : 2016




“Kata pembuka saya bahwa saya berencana untuk menulis sejarah Toraja. Oh, apakah mereka memilikinya? Terkejut saya menggumam tentang sesuatu yang sedikit lebih berkaitan, tentang tradisi-tradisi lisan, dan menarik diri untuk merenungkan implikasi-implikasi historis dari komentar tersebut.”
(Bigalke)

Dataran tinggi Sulawesi Selatan di sebelah Utara dihuni oleh sebuah suku yang dikenal dengan nama Suku Toraja. Mendengar kata Toraja, yang terbersit adalah kopi Toraja, kerbau belang yang milliran rupiah, kuburan bayi dalam pohon (baby grave) atau kuburan batu. Keunikan Toraja tidak lepas dari budaya yang melekat dalam keseharian mereka, khususnya dalam upacara pemakaman (rambu solo).   
Toraja adalah nama pemberian orang-orang di dataran rendah (pesisir) kepada orang-orang yang ada di dataran tinggi. Toraja dari kata, to ri aja, to=orang, riaja=dataran tinggi. Penamaan ini tidak hanya menunjuk wilayah yang lebih tinggi, tetapi distingsi untuk membedakan orang-orang yang hidup dalam tradisi tulis dan mereka yang hidup dalam tradisi lisan. Konstruksi penamaan kata Toraja, sekaligus mempertegas mereka yang beradab dengan budaya tulis dan mereka yang dianggap tidak beradab (tradisi lisan) (Bdk hlm 5).  
            “Meskipun nama “Toraja” sudah dipopulerkan oleh orang Bugis dan Makassar sebagai sebuah istilah dengan konotasi etnis, sebelum abad ke-20 tetapi penduduk dataran tinggi Sa’dan tidak menyebut diri mereka sebagai Toraja. Penduduk dataran tinggi Sa’dan umumnya menyebut diri mereka dengan menggunakan nama desa mereka, misalnya to Pao, ‘orang dari Pao’ atau to Randanan ‘orang dari desa randanan’,”(hlm.5).
Kata Toraja kemudian dipinjam oleh misionaris Belanda yakni Kruyt dan Adriani. “Kruyt kemudian membagi orang Toraja secara linguistik dan kultural dalam tiga group: Toraja Selatan yang mendiami Sulawesi Selatan dan mencakup penduduk di dataran tinggi Sa’dan, dan Toraja Barat dan Timur, yang menghuni Sulawesi tengah” (hlm.6). Toraja sebagai satu kesatuan etnis praktis adalah konstruksi yang disematkan oleh orang-orang di luar Toraja untuk membedakan mereka dengan orang-orang yang ada di dataran rendah.
Sebelum ekspansi Belanda ke Toraja, sistem politik dikuasai oleh pemimpin-pemimpin lokal pada wilayah masing-masing. Monopoli perdagangan kopi oleh penguasa lokal yang membangun kerjasama dengan penguasa dataran rendah menjadi menarik karena dibarengi dengan pernikahan politik. Kerajaan Luwu membangun sekutu dengan dengan dua kekuatan besar di bagian utara Toraja Sa’dan. Di bagian selatan Toraja Sa’dan, para penguasa lokal membangun sekutu dengan Kerajaan Sidenreng, yang pada akhirnya berhasil mengalihkan perdagangan kopi ke Pare-pare (bdk. hlm. 27-28). Hegemoni Kerajaan Luwu mulai melemah dan Sidenreng semakin kuat. Kerajaan Luwu kemudian membangun sekutu dengan kerajaan Bone untuk merebut kembali monopoli perdagangan kopi yang selama ini dibawah kekuasaannya. Patta Punggawa anak dari raja Bone memimpin langsung pertempuran di dataran tinggi dan memenangkan pertempuran. Patta Punggawa mengeksekusi pasukan yang merampok/merampas harta penduduk dataran tinggi. “Ia menyatakan bahwa perjuangannya bukanlah untuk melawan para penduduk dataran tinggi (kecuali untuk kasus Pong Tiku) tapi guna menghadapi pengacau-pengacau Sidenreng.” (hlm. 52-53).
Pasca perang kopi, menjelang 1905 dataran tinggi melakukan konsolodasi untuk menghadapi Belanda. Konsolidasi pemimpin dataran tinggi menghasilkan konsensus bahwa pertikaian di antara mereka akan dihentikan dan mulai menyusun strategi untuk menghadapi Belanda. Nampaknya konsolidasi ini terjadi atas pesan kerajaan Gowa untuk mendorong perlawanan dan menawarkan bantuan senjata (hlm. 67). Saling curiga penguasa lokal, menghalangi mereka untuk bersatu dan abai terhadap konsensus bersama (bdk.hlm.69). Pertempuran yang paling sengit terjadi antara Belanda dan Pong Tiku yang dibantu oleh aliansi dari Barat yakni Ua Saruran dan Bombing. Perlawanan pada akhirnya dapat dipatahkan oleh Belanda dengan bantuan dari para pemimpin lokal yang menjadi sekutu Belanda.
            Kehadiran Belanda di dataran tinggi telah melemahkan hegemoni kerajaan dataran rendah, praktis monopoli kopi pun beralih ketangan Belanda. Belanda mulai melakukan misi agama dengan pertimbangan politis untuk menguasai penduduk lokal. Pengalaman akan perang mahal selama 40 tahun melawan orang Aceh yang dipimpin oleh para ulama dengan memakai simbol-simbol Islam nampaknya menjadi kewaspadaan tersendiri. (hlm.101). Pada sisi yang lain orang Bugis yang dikonotasikan oleh orang Toraja Sa’dan sebagai to sallang (orang islam) nampakanya tidak mau mengislamkan penduduk setempat karena alasan politis, lebih mudah untuk mengeksploitasi jika mereka tidak diislamkan (hlm 103). Belanda dengan bantuan para misionaris mempersiapkan pemimpin-pemimpin politik lokal yang membuat dominasi kerajaan pesisir semakin lemah dan perlahan hilang (hlm.103). Bahasa Bugis yang merupakan bahasa keaksaraan bagi elite Toraja perlahan mulai hilang dan digantikan oleh bahasa Melayu oleh Belanda (hlm. 207).
            Pembangunan sekolah-sekolah berbahasa Melayu di dataran tinggi Sa’dan sejak 1913 bisa disebut sebagai sapere aude (zaman pencerahan), (lih. Tabel 1, hlm.211). Sekolah-sekolah ini telah membuka kesadaran baru akan identitas etnis. Perhimpunan Boenga Lalan (PBL) yang merupakan perhimpunan pertama mendorong kesadaran dan kemajuan orang di dataran tinggi Sa’dan (hlm.239). Perhimpunan Boenga Lalan nampaknya mendorong berdirinya organisasi yang lain seperti, Perserikatan Toraja Kristen (PTC) yang lebih progresif. Perserikatan ini bahkan dicurigai sebagai organisasi yang anti kolonial dan pro nasionalis. Pemimpin muda PTC lainnya muncul sebagai pemimpin politik dalam masyarakat (hlm.240). Perserikatan yang dianggap berbahaya ini bahkan dilarang untuk membaca pers nasional.
            Pada bagian akhir buku ini mengurai bagaimana situasi politik pada zaman Jepang, dan bagaimana simbol nasionalis bergejolak oleh organisasi pemuda. Puncak dari gerakan nasionalis ini terlihat ketika terjadi demonstrasi oleh para pemuda di Rantepao sebagai bentuk dukungan untuk proklamasi (bdk. Hlm 281). Pada bagian ini juga mengurai peristiwa sepanjang tahun 1952-1953 atas pergolakan aksi tanah yang melibatkan Barisan Tani Indonesia (BTI) yang merupakan organisasi sayap Partai Komunis Indonesia (PKI), sampai munculnya kekuatan baru (ORBA).   Bigalke mengurai dengan begitu menarik perubahan sosial yang begitu cepat terjadi, dari masyarakat tidak beradab menjadi masyarakat beradab yang mengecap pendidikan modern sejak 1913, tetapi melupakan dampak dari perubahan tersebut yang berakibat pada kaburnya nilai-nilai kearifan dalam budaya Toraja. Buku ini mungkin bisa mendorong penulis yang lain untuk melihat kembali perubahan yang terjadi bukan hanya sebagai lahirnya pencerahan, tetapi secara jernih melihat adanya konstruksi nilai terhadap budaya Toraja yang berakibat pada kepincangan nilai budaya dalam ritual-ritual yang dilakukan sampai hari ini. Semoga ada yang menerima tantangan ini?

Ivan Sampe Buntu
Peneliti dan Rohaniawan
Konsentrasi S2 pada bidang filsafat
Salah satu penulis pada buku bunga Rampai: “Kearifan Lokal Pancasila; butir butir filsafat keindonesiaan, yang diterbitkan kanisius, dan Buku “Jalan Damai Kita” yang diterbitkan oleh Gusdurian.      





Teodise (Pembenaran Tuhan): Dialog dengan Leibniz di Masa Pandemi Covid-1

Pertanyaan tentang realitas kejahatan di dunia bukanlah pertanyaan yang baru muncul di dunia post modern. Pertanyaan ini pertama kali ditany...