Tuhan Telah Mati
Tafsir atas The Gay Science 125
Oleh Ivan
Sampe Buntu
“Allah sudah mati dan kitalah pembunuhnya,
aku dan kam
u adalah pembunuhnya”
Ini adalah pernyataan Nietzsche yang sangat terkenal. Sebuah
deklarasi akan posisinya sebagai seorang ateis. Nietzsche adalah seorang ateis,
tetapi dia pun seorang yang selalu mengolok-olok kaum ateis sebagai orang-orang
yang masih saja mempunyai kebutuhan untuk percaya. Apakah percaya pada Science, percaya pada ideology, atau
percaya pada ketidak percayaan. Nietzsche menyebut orang-orang tersebut sebagai
manusia yang belum dapat melepaskan sebuah kebutuhan untuk percaya. Pertanyaannya
adalah, apakah Nietzsche sendiri telah melapaskan diri dari semua kebutuhan
untuk percaya? Apakah Nietzsche benar-benar seorang bebas yang tidak lagi
terikat pada apapun? Sebagai seorang nihilistik, maka Nietzsche berusaha membebaskan
dirinya dari semua paham. Bahkan dalam Sabda Zarathustra Nietzsche menyebut
dirinya sebagai orang yang dapat menentukan hidup dan matinya. Tidak heran jika
suatu ketika Nietzsche perna mencoba untuk bunuh diri sebagai ekspresi
kebebasan untuk menentukan kematiannya, tetapi tindakan itu dicegah oleh
saudaranya.
Dalam Sabda
Zarathustra, Nietzsche menyebut bahwa “Kematianku, aku memuji engkau,
kematian yang bebas, yang datang kepadaku karena aku menginginkannya”.[1] Menentukan
hidup dan kematian disebut oleh Romo Valentinus sebagai puncak dari ateisme. Puncak
kebebasan! Karena di sana manusia benar-benar mengespresikan kebebasan dirinya, bahkan dapat menentukan kapan dia harus mati. Itulah
puncak dari kebebasan manusia, yang tidak lagi terikat pada apapun, termasuk
Tuhan. Ketidak percayaan pada Tuhan, telah membuat manusia menjadi orang-orang
bebas. Sartre lebih radikal dengan menyebut bahwa, “Jika Tuhan ada maka manusia
tidak bebas, karena itu Tuhan harus tidak ada, supaya manusia bebas”. Konsep
ini jelas memperlihatkan bagaimana kaum ateis menginginkan kebebasan absolut
sebagai seorang manusia. Apakah manusia benar-benar dapat bebas? Nietzsche akan
menyebut bahwa hanya ubermensch yang
dapat menjadi manusia bebas. Manusia yang bermental budak tidak akan mungkin
menjadi manusia bebas.
Siapakah Nietzsche
Sebelum
kita melihat pemikiran Nietzsche tentang kematian Tuhan, ada baiknya kita
mengenal siapa Nietzsche. Friedrich Nietzsche adalah seorang keturunan pendeta
dari Jerman. Ayahnya adalah pendeta protestan yang sangat saleh dan ibunya
adalah keturunan keluarga pendeta. Nietzsche dididik dalam pendidikan protestan
yang taat dan saleh. Lahir di Rocke, Jerman Timur pada 15 oktober 1844 sama
dengan kelahiran Raja Prusia Friedrich Wilhelm. Karena ayahnya adalah pengagum
raja tersebut, maka dia pun memberi nama baptis kepada anaknya Friedrich. Ayah
Nietzsche sakit keras dan pada tahun 1849 ayahnya meninggal. Praktis Nietzsche
hanya bersama dengan ayahnya selama lima tahun. Setahun kemudian Joseph adik
Nietzsche meninggal dunia. Ibu Nietzsche memutuskan untuk meninggalkan Rochen dan
kemudian menetap di Naumber bersama nenek dari Nietzsche. Di sana Nietzsche
dididik dalam pengaruh protestan yang sangat kuat dari orang-orang sekitarnya.
Di mana gereja protestan memahami manusia sebagai yang telah rusak secara
kodrati, karena itu membutuhkan pertolongan dari Tuhan. Doktrin yang tentu saja
akan dibantah oleh Nietzsche.
Pada usia enam tahun
Nietzsche masuk ke sekolah gymnasium. Sebelum masuk sekolah Nietzsce telah
pandai membaca berkat didikan ibunya. Nietzsche dikenal sebagai anak yang cukup
pandai bergaul. Di sekolah ini Nietzsche mengenal karya-karya sastra dan musik
Goethe dan Wagner dari sahabat-sahabatnya. Nietzsche menyukai musik, tetapi
tidak pernah menjadi seorang musikus besar. Pada usia empat belas tahun dia
dimasukkan ke asrama Pforta. Asrama ini sekaligus menjadi tempat sekolah
Nietzsche yang dikenal sangat ketat. Di sana Nietzsche belajar bahasa Yunani
dan Latin secara ketat. Dari sanalah
bermulah ketertarikan Nietzsche pada filologi (studi bahasa-bahasa kuno dan
kesusastraan). Di sana ia mengagumi karya klasik Yunani bersama sahabatnya
Wilhelm Pinder dan Gustaf Krug. Nietzsche bersama kedua sahabatnya tersebut
membentuk kelompok diskusi yang mereka namai Germania. Dari diskusi ini Nietzsche
belajar mengungkapkan ide dan emosinya.
Di Pforta Nietzsce telah
menunjukkan tanda-tanda pemberontakan hatinya dengan menulis Ohne Heimat (tanpa kampung halaman). Bahkan secara perlahan mulai
mempertanyakan iman kristennya dan meragukan semua kebenaran agama. Pada
oktober 1864 Nietzsche melanjutkan studi di universitas Bonn untuk memperdalam
filologi dan teologi. Pada 1865 ia memutuskan untuk tidak belajar teologi.
Keputusan yang sangat ditentang oleh ibunya. Di Bonn ia hanya bertahan selama
dua semester dan kemudian tahun 1865 ia pindah ke Leipzig untuk belajar
filologi selama empat semester. Di Leipzig ia dianggap oleh Fiedrich Ritschl sebagai
mahasiswa berbakat dalam bidang filologi. Pada tahun 1869 ia menjadi guru besar
di Basel-Swis, waktu itu usianya 25 tahun. Tetapi masa itu, ia tidak lagi mempunyai kewarga negaraan, karena telah memutuskan keluar sebagai
warga negara Jerman, tetapi justru kesulitan menjadi warga Negara Swis. Tahun 1879 ia dipensiunkan oleh karena alasan
kesehatan. Lengkaplah petualangan Nietzsche sebagai orang yang tidak punya
apa-apa. Tidak bertuhan, tidak mempunyai rumah, tidak berkewarganegaraan dan
tidak beristri. Gangguan kesehatan tidak membuat Nietzsche berhenti berkarya.
Dia bahkan menghasilkan beberapa buku yang membuatnya terkenal. Pada akhirnya ia menjadi gila dan meninggal pada 25 agustus 1900.
Siapa Yang Berpengaruh dalam Pemikiran Nietzsche
Ada beberapa tokoh yang
dapat kita sebut sebagai yang digemari Nietzsche. Tetapi Nietzsche pada
akhirnya akan membangun filsafatnya sendiri, yang tidak lagi terikat pada
pandangan pemikir-pemikir tersebut, tetapi justru lebih masuk dalam pendalaman
filsafat klasik Yunani. Ini tentu menjadi sangat rasional, karena Nietzsche
sendiri adalah seorang doktor filologi klasik Yunani, bahkan sebelum dia
menjadi doctor dia telah diangkat menjadi seorang professor di Basel.
Beberapa pemikir dan sastrawan yang dikagumi oleh Nietzsche
adalah Wagner dan Schopenhauer. Schopenhauer adalah salah satu tokoh yang cukup
berpengaruh dalam hidup Nietzsche. Nietzsche mulai berkenalan dengan teks
Scophenhauer ketika secara iseng membeli sebuah buku Schopenhauer di tempat loakan.
Schopenhauer berpandangan bahwa:
kehendak pada hakikatnya bersifat jahat dan satu-satunya
cara mengatasi penderitaan dan kejahatan adalah mengingkari kehendak, menolak
untuk ambil bagian dalam persaingan egoistis untuk mendominasi orang lain.
Hasilnya adalah pengingkaran kehendak … berarti penyirnaan diri. Kini filsafat
memasuki dunia kesucian asketis dan Schopenhauer mengungkapkan pengaruh
Buddhisme pada dirinya.[2]
Nietzsche menggunakan
terminologi kehendak, tetapi melihatnya sebagai daya dorong bukan justru
mengingkarinya seperti Schopenhauer. Nietzsche menyebut kehendak untuk berkuasa
sebagai daya dorong untuk membuat kita memperjuangkan sesuatu. Dengan demikian
Nietzsche tidak lagi melihat kehendak seperti dalam pandangan Schopenhauer,
tetapi lebih memahaminya sebagai daya dorong yang justru akan membantu manusia
dalam mengingini sesuatu. Dalam “the will
to power”, Nietzsche mengambarkan bahwa hakikat being adalah kehendak untuk berkuasa. The will to power kemudian dijadikan oleh Nazi sebagai landasan
filosofisnya untuk membenarkan pembantaian yang mereka lakukan. Meskipun
Nietzsche sendiri tidak pernah memaksudkan the
will to power sebagai bentuk provokasi, seperti disampaikan oleh St.
Sunardi.
Perjumpaan dengan Wagner
seorang seniman adalah perjumpaan yang banyak mempengaruhi pemikiran Nietzsche.
Sebagai pencinta musik dan puisi, Nietzsche menyukai musik dan pertunjukan-pertunjukan
Wagner. Beberapa karya Wagner yang disukai oleh Nietzsche adalah:
Art and
revolution (juli 1849). … Wagner
berpendapat bahwa awalnya seni-seni secara individual (music, drama, teater,
dan sebagainya) merupakan satu kesatuan yang lengkap dan sempurnah. Bentuk seni
semacam ini hanya ada pada drama tragedy Yunani dan pudar sekitar abad kelima
Sebelum Masehi (SM) ketika terbagi menjadi bermacam-macam komponen. Sesudah
itu, dan sampai sekarang, orang lebih banyak menengok ke filsafat daripada seni
untuk memahami dunia. oleh karena itu, seni dalam bentuknya yang paling tinggi
dan sempurnah adalah pra-Kristiani. The
artwork the future (September 1849). Di sini Wagner mengemukakan pendapat
bahwa segala macam temuan terbesar umat manusia, dari bahasa sampai masyarakat,
merupakan produk dari volk (folk dalam bahasa Ingris; rakyat). Opera
dan drama (Januari 1851). …. A
Communication to my Friends (Agustus 1851).[3]
Karya-karya ini disukai
oleh Nietzsche sebagai seorang yang memang mencintai seni. Tetapi pada akhirnya
Nietzsche tersadar ketika menghadiri festival trilogi ring Wagner. Nietzsche sadar bahwa Wagner bukanlah
seperti yang dia bayangkan. Nietzsche melihat trilogi ring sebagai anti semit, hal yang tidak disukai oleh Nietzsche. Meskipun demikian ketika buku the birth of tragedy diterbitkan, para
komentator Nietzsche menyebut buku itu masih ada dalam bayang-bayang Wagner
Menafsir Nietzsche
dalam The Gay Science 125
Dalam
buku the gay science (ilmu yang
mengasyikkan) bagian 125 Nietzsche bercerita tentang seorang gila yang membawa
lampu lentera di pagi hari yang cerah ke pasar mencari Tuhan:
The madman. - Haven't you heard of that madman who in the bright morning
lit a lantern and ran around the marketplace crying incessantly, 'I'm looking
for God! l'm looking for God!' Since many of those who did not believe in God
were standing around together just then, he caused great laughter. Has he been
lost, then? asked one. Did he lose his way like a child? asked another. Or is
he hiding? Is he afraid of us? Has he gone to sea? Emigrated? - Thus they
shouted and laughed, one interrupting the other. The madman jumped into their
midst and pierced them with his eyes. 'Where is God?' he cried; 'I'll tel1 you!
We have kil/ed him - you and I!
Wc are all his murderers. But how did wc do this? How were wc able to drink up
the sea? Who gave us the spange to wipe away the entire horizon? What were wc
doing when wc unchained this earth from its sun? Where is it moving to now?
Where are wc moving to? Away from all suns? Are wc not continually falling? And
backwards, sidewards, forwards, in all directions? Is there still an up and a
down? Aren't wc straying as though through an infinite nothing? Isn't empty
space breathing at us? Hasn't it got colder? Isn't night and more night coming
again and again? Don't lanterns have to be lit in the morning? Do wc still hear
nothing of the noise of the grave-diggers who are burying God? Do wc still
smell nothing of the divine decomposition? - Gods, too, decompose! God is dead!
God remains dead! And wc have killed him! How can wc console ourselves, the
murderers of all murderersl The holiest and the mightiest thing the world has
ever possessed has bled to death under our knives: who will wipe this blood from
us? With what water could wc clean ourselves? What festivals of atonement, what
holy games will wc have to invent for ourselves? Is the magnitude of this deed
not too great for us? Do wc not ourselves have to become gods merely to appear
worthy of it? There was never a greater deed - and whoever is horn af ter us
will on account of this deed belong to a higher history than all history up to
now!' Here the madman fell silent and looked again at his listeners; they too
were silent and looked at him disconcertedly. Finally he threw his lantern on
the ground so that it broke into pieces and went out. 'I come too early', he
then said; 'my time is not yet. This tremendous event is still on its way,
wandering; it has not yet reached the ears of men. Lightning and thunder need time;
the light of the stars needs time; deeds need time, even after they are done,
in arder to be seen and heard. This deed is still more remote to them than the
remotest stars - and yet they have
done it themselves!' It is still recounted how on the same day the
madman forced his way into several churches and there started singing his requiem aeternam deo.10 Led out and
called to account, he is said always to have replied nothing but, 'What then
are these churches now if not the tombs and sepulchers of God?'[4]
Allah telah mati dan
kitalah pembunuhnya. Demikian kata Nietzsche kepada orang-orang yang ada di
pasar. Dalam tafsiran Setyo Wibowo menjebut bahwa,
orang-orang yang didatangi orang gila di pasar adalah orang-orang yang memang
tidak mengenal Allah. Sehingga kelompok ateis tersebut justru menertawakan dan mengolok-olok orang gila tersebut karena mencari
Allah yang mereka tidak percayai. Kata orang gila itu di mana Allah? Di mana
Allah? Para ateis yang ada di situ
mengolok-olok si gila dengan perkataan: “Apakah dia hilang? Apakah dia tersesat
seperti anak kecil? tanya yang lain. Atau mungkin dia bersembunyi? Apakah dia
takut pada kami? Apakah dia pergi ke laut? Beremigrasi? Si gila tiba-tiba melompat
dan dengan tatapan mata yang tajam menyebut Allah telah mati, dan kita adalah pembunuhnya (aku dan kamu adalah
pembunuhnya).
Tuduhan si gila bahwa kita adalah pembunuh
Allah, membuat orang-orang diam tidak mengerti. Para eteis yang ada di situ
tidak menemukan makna, apa konsekuensi dari kematian
Tuhan. Si gila kemudian membuang lampunya dan pergi meninggalkan orang-orang
tersebut, sambil berkata: aku datang terlalu cepat, waktunya belum tiba.
Pertanyaannya adalah mengapa para ateis ini seperti tidak mengerti dengan apa
yang dikatakan si gila. Apakah mereka memang tidak paham? Atau pura-pura tidak
tahu? Nampaknya para ateis ini ingin mengatakan pada si gila, jika Tuhan sudah
mati, mau apalagi! Toh kami masih mempunyai tuhan-tuhan lain seperti science, atau
rasionalitas. Tuhan mati tidak ada dampaknya bagi kami. Kami punya
tuhan yang lain. Tuhan sebagai kepercayaan telah mati, dan kitalah pembunuhnya,
kata Nietzsche. Nietzsche ingin menyampaikan zaman baru, zaman nihilistik.
Zaman di mana tidak ada lagi pegangan
apapun.
Ya, tidak ada pegangan,
nihil! Bahkan zaman matinya Tuhan bagi Nietzsche adalah zaman kekosongan.
Nietzsche dalam hal ini, tidak hanya mendeklarasikan sikap ateismenya, tetapi
juga mengkritik secara habis ateisme yang masih mempunyai pegangan, atau
fondasi. Bagi Nietzsche itu pun adalah sebuah keyakinan. Tuhan sudah mati, dengan
demikian benar-benar bicara tentang nihilisme. Sebuah kekosongan yang tanpa
pegangan. Tetapi
Nietzsche kemudian balik
bertanya, “Bagaimana mungkin kita mengosongkan lautan? Siapa yang
telah memberikan kepada kita spon (spange) untuk
menghapus seluruh horison? Apa yang telah kita buat dengan melepas
bumi ini dari matahari? Ke mana bumi ini sekarang berputar? Ke mana gerak bumi
ini membawa kita sekarang? Jauh dari segala matahari-matahari? Tidakka kita
terperosok dalam kejatuhan tanpa henti? Terperosok ke belakang, ke samping ke depan, ke segala arah? Apakah masih ada atas dan
bawah? Tidakkkah kita sekarang menyassar-nyasar melalui kekosongan tanpa
batas? Tidakkah kita rasakan hembusan kekosongan? Bukankah rasnya lebih
dingin? Tidakkah rasanya menjadi malam dan semakin lama semakin malam?”.
Pertanyaan-pertanyaan
Nietzsche tersebut, menjadi sebuah refleksi mendalam bagi kaum ateis. Apa
mungkin kita benar-benar kehilangan pegangan, seperti melepaskan bumi dari
matahari, dan membiarkan bumi berputar tanpa arah? Apa mungkin mereka yang
menyebut diri tidak bertuhan yang ada di pasar benar-benar tidak lagi mempunyai
pegangan? Atau mereka justru mempunyai matahari-matahari yang lain? Semua ini menjadi pertanyaan
Nietzsche sekaligus sebuah kritikan yang pedas untuk mereka yang menyebut
dirinya ateis, tetapi sesungguhnya masih mempunyai pegangan yang lain. Mereka
melepaskan matahari, tetapi menggenggam matahari yang lain. Melepaskan Tuhan sebagai sebuah
kepercayaan, tetapi menggenggam kepercayaan yang lain. Nietzsche menyebut dalam ecce homo bahwa: “Aku tidak menginginkan
‘orang-orang yang percaya’, aku pikir aku terlalu dendam untuk mempercayai
diriku sendiri,…”[5]
Nietzsche
tidak hanya mendeklarasikan Tuhan telah mati, tetapi Nietzsche menuduh
kita sebagai
pembunuh Tuhan. Pertanyaannya adalah, Tuhan seperti apa yang dimaksudkan oleh
Nietzsche? Apakah Tuhan seperti dalam pandangan kaum monoteistik? Nampaknya
kita dapat mengatakan bahwa Tuhan yang dimaksud oleh Nietzsche adalah Tuhan
seperti itu. Setyo Wibowo menyebutnya sebagai: “Subjek transendental telah mati, karena subjek transendental dianggap
menindas lalu muncul subjek-subjek kecil yang tak kalah anarkisnya yang juga menindas, sewenang-wenang,
seenaknya sendiri”.[6] Subjek transendental adalah nama yang menjadi analog
untuk Tuhan dalam agama-agama. Tuhan itu dianggap mati, dan telah digantikan
oleh tuhan-tuhan yang lain yang sama anarkisnya dengan Tuhan kaum monoteis. Dengan
demikian manusia tetap berada dalam sebuah kebergantungan pada yang lain,
sekalipun telah melepaskan Tuhan yang dianggapnya sebagai Tuhan yang mengekang
kebebasannya.
Nietzsche dengan demikian tidak hanya mengkritik Tuhan
monoteis, tetapi juga mengkritik secara keras penganti Tuhan yakni science, atau pun rasionalitas manusia. Sehingga
dapat dikatakan kritik Nietzsche tidak hanya tertuju pada kaum monoteis, tetapi
juga pada kaum scientific dan kaum
rasionalis. Nietzsche ketika menyebut dirinya sebagai seorang nihilis, maka dia
benar-benar tidak mempunyai pegangan. Seperti seorang yang berlayar di samudera
dan tidak akan kembali karena dermaga telah diluluhlantakkan. The Gay Science 124: “We have forsaken the land and gone to sea!
We have destroyed the bridge behind us - more so, we have demolished the land
behind us!”[7] Kapal
akan terus berlayar di samudera, karena dermaga telah dihancurkan. Tidak ada
lagi tempat untuk bersandar, tidak ada lagi pegangan.
Nietzsche
mengkrtik sekaligus bertanya, apa mungkin kita hidup tanpa pegangan apapun? Apa
mungkin kita tidak akan merindukan kembali dermaga yang telah kita hancurkan?
Apa mungkin matahari dan bumi dapat berpisah? Semua pertanyaan ini membutuhkan
jawaban. Apa mungkin, kita hidup tanpa kepastian? Atau mungkin Nietzsche ingin
mengatakan bahwa kepastian itu hanya ada pada ubermensch dan bukan pada manusia yang bermental budak. Pertanyaan
lain adalah, apakah Nietzsche benar-benar tidak percaya akan Tuhan? Atau apakah
Nietzsche mempunyai Tuhan lain seperti yang diyakini oleh para scientific. Tidak mudah untuk menjawab pertanyaan ini. Kita mungkin
bisa menjawabnya dengan mengaitkannya dengan mitos Dionisyus. Mitos
Dionysius yang di agung-agungkan oleh Nietzsche. Apakah Nietzsche ingin mengatakan sesuatu tentang yang transendental
yang dipahami seperti dionysius?
Pertanyaan
ini menjadi pertanyaan penting untuk melihat apa yang mau dikatakan Nietzsche
ketika bicara tentang dewa Dionysius. Dewa Dionysius selalu dipertentangkan
dengan moralitas kristiani. Seolah dewa Dionysius adalah dewa yang diimpikan
oleh Nietzsche. Dalam buku lahirnya tragedi dikisahkan bahwa:
Dionysius
yang nyata tampak dalam pelbagai figur, di dalam topeng seorang pahlawan
kesatria dan, kita dapat mengatakan, terperangkap di dalam jarring kehendak
individu. …penderitaan Dionysian yang sejati, yang menghasilkan perubahan wujud
menjadi udara, air, tanah dan api, dan karena
itulah kita harus melihat kondisi individuasi itu sebagai simbol dan asal mula
segala penderitaan dan dengan demikian patut dicela. Dari senyuman Dionysius
ini lahirlah dewa-dewi Olimpian, dari cabikan-cabikannya lahirlah umat manusia.
dalam eksistensinya sebagai dewa yang tercabik-cabik Dionysius mempunyai sifat
dwirangkap sebagai daemon yang kejam dan biadab dan sebagai penguasa yang halus
dan lemah lembut.[8]
Artinya Nietzsche pun melakukan pencarian akan yang
kudus. Mengagumi Dionysius sebagai dewa yang bertopeng, dewa yang mempunyai
sifat rangkap kejam dan baik. Nietzsche dalam hal ini seperti melakukan
pencarian akan yang transenden yang akan dipahaminya dalam dewa Dionysius. Pilihan
Dionysius, adalah gambaran bagaimana Nietzsche tidak dapat menggambarkan yang ilahi sebagai sebuah konsep yang jelas.
Tidak jelas karena dewa Dionysius adalah dewa bertopeng yang abstrak. “Dionysian
adalah mentalitas kebudayaan Yunani yang cenderung melampaui segala aturan atau
norma, mentalitas yang bebas mengikuti dorongan-dorongan hidup tanpa kenal batas”[9]. Pertanyaannya
adalah, apakah dengan kekaguman pada Dionysius maka Nietzsche dapat dikatakan
kembali menjadi teis? Tidak mudah untuk menjawab itu, tetapi yang pasti bahwa
ada kerinduan dari Nietzsche untuk
melakukan pencarian. Sekalipun dia secara terang-terangan mendeklarasikan
kematian Tuhan, tetapi dalam diri Nietzsche nampaknya kita masih dapat melihat jejak-jejak
pencarian akan sesuatu. Nietzsche tidak berani untuk mengkonsepkan Tuhan, seperti
Tuhan yang sering dikonsepkan oleh agama-agama.
Nietzsche
tidak hanya mengagumi Dionysius, tetapi juga mengagumi kebudayaan Yunani abad
ke 6 SM. Mengapa? Nietzsche menyebut bahwa zaman ini adalah zaman
manusia-manusia genius Yunani. Nietzsche menyebut filsuf zaman itu sebagai
filsuf sejati. “Filsuf sejati, bukan hanya karena mereka adalah pencari-pencari
sejati, melainkan juga karena mereka tidak terperangkap dalam kepercayaan
transendental akan dewa-dewa, maka berpikir merdeka dan kreatif.”[10]
Nietzsche mengagumi para filsuf ini sebagai manusia yang tidak terikat pada
kepercayaan-kepercayaan yang ada di sekitarnya. Mereka adalah filsuf yang bebas, yang mencari
kebenaran pada keluasan alam, bukan pada kedangkalan berpikir manusia yang
sering jatuh pada kebenaran yang di absolutkan. Nietzsche tidak senang pada
pengobjektifan nilai kebenaran. Seperti halnya yang dilakukan oleh kaum
rasionalis dan para agamawan. Karena itulah Nietzsche dikenal sebagai seorang
nihilis.
Nihilisme Nietzsche dapat dipahami sebagai sebuah
penolakan terhadap nilai-nilai objektif. Nietzsche menolak segala bentuk
kebenaran yang di objektifkan, sehingga seolah menjadi kebenaran universal. Tidak
ada kebenaran objektif, sehingga Science
pun tidak dapat menganggap kebenarannya sebagai sesuatu yang paling objektif. Nietzsche
menolak pengobjektifan kebenaran. Tidak ada kebenaran tunggal yang dapat
menjadi raja, semua kebenaran dapat diuji di laboratorium Science.
Nihilisme Nietzsche
menemukan titik puncaknya dalam doktrin perulangan abadi. Orang tidak boleh
menerima nasibnya begitu saja dan, bahkan sungguh-sungguh mencintai nasibnya,
tetapi juga mengakui bahwa eksistensi tanpa tujuan ini akan berulang terus
menerus untuk selamanya. Orang yang mampu melakukan hal ini layak diberi gelar
“adimanusia”. Adimanusia adalah seorang nihilis. Dia menolak adanya nilai-nilai
objektif atau nilai apapun.[11]
Seorang
nihilis sejati bagi Nietzsche adalah mereka yang tidak percaya pada kebenaran
objektif. Tidak ada nilai yang objektif, karena itu setiap manusia menjadi unik
pada dirinya sendiri. Unik karena mereka memiliki nilai kebenaran pada dirinya
sendiri. Nietzsche meyakini bahwa ada ubermensch
yang akan menjadi manusia yang benar-benar mengakui sebuah eksistensi tanpa
tujuan. Tujuannya adalah ketika dia tidak mempunyai tujuan. Karena itulah
nihilisme dalam konsep Nietzsche adalah nihilisme yang percaya bahwa tidak ada
nilai objektif. Nilai objektif hanya membuat manusia menjadi budak dan tidak
membebaskannya sebagai manusia bebas. Nilai objektif menjadikan kebenaran
sebagai universal, sehingga mengabaikan kebenaran yang lain. Nilai objektif
membuat manusia sering kali tunduk pada nasibnya, menerima begitu saja apa yang
terjadi. Penerimaan begitu saja justru telah membuat manusia tidak dapat
berpikir kritis. Mereka telah menjadi budak nilai-nilai objektif. Itulah yang
menyebabkan Nietzsche selalu mempertentangkan antara moralitas kristiani dengan
moralitas Dionysian.
Mentalitas
Dionysian inilah yang dimiliki oleh para genius dalam kebudayaan Yunani
pra-Sokratik. Mentalitas inilah yang kemudian dimusuhi dan dibasmi oleh para
filsuf sesudah Sokrates atas nama rasionalitas dan diperhebat oleh agama
Kristen. Agama kristen menurutnya adalah vampirisme moral. Agama ini menghisap
darah kebudayaan atas nama moralitas yakni daya-daya vital yang memungkinkan
kebudayaan menghasilkan genius-genius dan inovasi-inovasi.[12]
Mentalitas
Dionysian dipakai oleh Nietzsche untuk mengambarkan moralitas yang baik. Moralitas
Dionysian adalah moralitas yang dicari oleh manusia. sebaliknya moralitas
kristiani harus ditinggalkan karena menjadi beban, dan tidak memberi ruang ekspresi bagi manusia. Kebencian Nietzsche
pada moralitas kristianitas tentu sangat terkait dengan pandangan Luther yang
memahami manusia sebagai makhluk yang secara kodrati telah rusak. Kerusakan
manusia ini hanya mungkin diperbaiki oleh anugerah Allah (sola gratia). Manusia yang hanya mengandalkan belas kasihan Allah,
adalah manusia yang lemah. Manusia yang hanya bergantung pada sesuatu yang
eksternal diluar dirinya. Artinya manusia seperti itu tidak dapat membuat
dirinya menjadi makhluk yang hebat, atau dalam bahasa Nietzsche ubermensch. Atau dengan kata lain, apa
yang diimpikan Nietzsche tentang ubermensch
tidak akan pernah dapat kita temui dalam keyakinan seperti itu. Itulah sebabnya
konsep Dionysian menjadi penting untuk dipahami sebagai antitesa dari moralitas
kristiani.
Tuhan Seperti Apa
yang Dibunuh Manusia?
Ada
beberapa tafsiran tentang Tuhan yang dibunuh oleh manusia. Franz Magnis
sebagaimana ia mengutip Weischedel mengatakan bahwa:
Tetapi
mengapa Allah harus dibunuh, dan bagaimana pembunuhan Allah dilakukan?
Sebetulnya Allah tidak dibunuh. Nietzsche tidak pernah mau mengatakan bahwa
Allah pernah ada. Allah tak pernah ada. “manusia menciptakan Allah” [dikutip
dari Weischedel 435]. Allah yang dibunuh adalah Allah yang diciptakan manusia.
Tetapi Allah itu, itulah yang ditegaskan Nietzsche, harus, dan akhirnya jadi,
dibunuh. Karena sesudah Allah diciptkan oleh manusia, ia menguasai manusia,
mengasingkannya dari dirinya sendiri dan dari dunianya Allah membuat manusia
menjadi kerdil, mengkorupsikan moralitasnya.[13]
Allah
seperti inilah yang telah dibunuh oleh manusia. Artinya manusia sesungguhnya
sedang menolak proyeksi tentang Allah dalam pikirannya. “Konsep “Allah”, kata
Nietzsche, merupakan musuh terpenting untuk konsep “eksistensi”. Ide “Allah”
berperang dengan hidup. Lalu kematian ide “Allah” membuka jalan untuk hidup
manusia.”[14] Tafsir lain tentang Allah yang dibunuh
adalah, Allah kaum monoteis, mungkin lebih tepatnya Allah orang-orang Kristen. Allah
yang membuat manusia bermoral rendah, bermental budak. Allah yang telah membuat
manusia tidak berdaya tanpa Dia. Manusia menjadi makhluk yang bergantung
sepenuhnya pada Tuhan, sehingga mereka tidak mungkin menjadi ubermensch. Karena itu, Tuhan harus
dibunuh agar ubermensch bisa muncul.
Jika Tuhan belum dibunuh, maka peradaban baru belum dimulai, tetapi jika Tuhan
telah dibunuh maka kita telah memulai zaman baru. Zaman di mana akan muncul ubermensch. Pertanyaannya adalah yang
mana dari kedua tafsir ini yang paling mendekati apa yang mau dikatakan
Nietzsche bahwa, Tuhan telah mati dan kitalah pembunuhnya.
Jika
kembali melihat kisah orang gila yang membawa lentera ke pasar, maka kita dapat
mengatakan bahwa semua pegangan manusia kepada “sesuatu” telah dibunuh oleh manusia. Atau dengan kata lain baik Allah yang diproyeksikan oleh manusia, Allah monoteis
yang dipercayai oleh agama-agama, pun
pengganti Allah yakni Science atau
sejenisnya, semuanya telah dibunuh oleh manusia. Jika di pasar kita melihat kaum ateis yang memang sudah
tidak percaya kepada Tuhan, maka pertanyaannya adalah, untuk apa memberitakan
Tuhan sudah mati kepada yang sudah tidak percaya adanya Tuhan. Tetapi karena
kaum ateis ini masih mempunyai pegangan akan Tuhan yang lain, karena itulah
orang gila itu harus memberitakan kepada mereka tentang Tuhan telah mati dan
kitalah pembunuhnya. Tuhan yang mati bukan hanya Tuhan kristianitas, tetapi
juga Tuhan yang ada dalam proyeksi pikiran kita. Mengapa Tuhan dalam proyeksi
pikiran harus mati?
Apa masalahnya kalau Tuhan yang kita proyeksikan hidup
dalam pikiran kita? Jika dia hidup maka dia berkuasa atas pikiran kita. Artinya
eksistensi kita sedang dikuasai oleh sebuah bayang-bayang yang kita ciptakan,
entah kita sadar atau tidak. Bukankah ketika kita mengatakan, Tuhan adalah
proyeksi pikiran, berarti kita sesungguhnya sedang dalam ketakutan. Untuk apa manusia membuat konsep Tuhan dalam pikirannya
kalau dia tidak diselimuti rasa takut. Bukankah kita tidak perlu repot membuat
konsep seperti yang dikatakan Feuerbach bahwa, “Tuhan hanyalah proyeksi pikiran”, jika kita
tidak percaya akan Tuhan. Karena itulah jika Nietzsche menyebut Tuhan telah
mati dan kitalah pembunuhnya. Ungkapan ini menunjuk konsep nihilisme. Tidak
perlu ada pegangan manusia, karena manusia tidak membutuhkan pegangan. Seperti kapal yang
meninggalkan dermaga, dan tidak pernah rindu untuk pulang ke dermaga, karena
dermaga telah dihancurkan.
Kita semua adalah manusia-manusia yang telah ada dalam
samudera. Kita tidak pernah berpikir untuk kembali, karena dermaga telah
dihancurkan, tetapi kita sedang berpikir bagaimana menjadi ubermensch. Nietzsche adalah filsuf yang sedang memimpikan lahirnya
ubermensch dari konsep nihilismenya. Ubermensch adalah konsep yang sangat
penting dalam pandangan Nietzsche. Ubermensch
adalah gambaran yang diinginkan Nietzsche, yang dinantikan oleh Nietzsche. Ubermensch bukan manusia super, tetapi
manusia yang yang mempunyai tanggungjawab atas dirinya sendiri. Manusia yang
tidak lagi membebani Allah, atau lari pada agama ketika mereka tidak berdaya.
Manusia yang mampu menyelesaikan persoalannya sendiri tanpa bergantung pada
yang lain. Manusia yang berjuang di tengah samudera, dan tidak pernah berpikir
untuk memutar balik kapalnya, kembali ke dermaga, karena dermaga telah hancur. Itulah
ubermensch dalam pandangan Nietzche,
manusia yang melampaui.
Hanya
manusia seperti itu yang sanggup membunuh Tuhan, bukan manusia-manusia seperti yang ada di pasar. Menganggap diri sebagai kaum
ateis, tetapi masih terikat pada sesuatu yang lain. Karena itulah si orang gila
mengatakan pada dirinya:
Finally he threw his lantern on the ground so that it
broke into pieces and went out. 'I come too early', he then said; 'my time is
not yet. This tremendous event is still on its way, wandering; it has not yet
reached the ears of men. Lightning and thunder need time; the light of the
stars needs time; deeds need time, even after they are done, in arder to be
seen and heard. This deed is still more remote to them than the remotest stars
- and yet they have done it themselves!'[15]
Aku datang terlalu cepat, waktunya belum tiba!
Orang-orang yang ada di pasar, yang menertawakan si orang gila, ternyata sedang
menertawakan dirinya yang disindir secara keras oleh Nietzsche. Mereka tidak
paham bahwa kematian Tuhan, berdampak pada lahirnya ubermensch. Kematian Tuhan yang dimaksudkan adalah keyakinan pada
Tuhan monoteis, science,
rasionalitas dan yang sejenisnya. Para kaum ateis yang ada di pasar tidak
mungkin menjadi ubermensch, karena
mereka masih mengikatkan dirinya pada sebuah kepercayaan yang lain. Yang
kemudian mengikat mereka, pada keyakinan tersebut. Inilah yang disebut oleh
Nietzsche sebagai orang yang masih bergantung pada yang lain. Orang yang tidak
berani bertarung dalam samudera. Ketika ombak ganas menerpa, maka mereka akan
merindukan dermaga tempat mereka harus kembali. Berbeda dengan mereka yang
telah berlayar dan menghancurkan dermaganya. Mereka berlayar mengandalkan
dirinya, karena tidak ada lagi tempat untuk kembali. Inilah gambaran manusia
yang diimpikan oleh Nietzsche.
Tuhan telah
mati. berarti kita menuju nihilisme, kekosongan. Tidak ada nilai yang objektif.
Kita menjadi orang yang skeptis. Seperti ungkapan Nietzsche dalam the gay science 51: The sense of truth. - I approve of any form of scepticism to which I can
reply, 'Let's try it!' But I want to hear nothing more about all the things and
questions that don't admit of experiment. This is the limit of my 'sense of
truth'; for there, courage has lost its right.[16]
Nietzsche dalam hal ini menjadi filsuf yang menyetujui segala bentuk
skeptisisme. Semua bentuk kesangsian bagi Nietzsche adalah baik. Karena tanpa
kesangsian, maka keberanian akan kehilangan haknya. Sikap skeptisisme membantu
kita untuk melihat kebenaran. Sikap itu membantu kita untuk tidak mudah
mempercayai sebuah doktrin kebenaran. Termasuk mereka yang menyebut diri
sebagai ateis, atau mereka yang menyebut diri sebagai scientific. Justru seringkali kebenaran dipaksakan atas nama scientific atau agama, tetapi kebenaran
itu sering kali lolos dari prosedur keilmiahan. Mereka yang mengusung kebenaran
objektif dalam hal ini, dianggap oleh Nietzsche sebagai orang-orang yang perlu
dicurigai. Mengapa? Karena justru kebenaran objektif itu luput dari verivikasi
ilmiah. Inilah bentuk skeptisisme Nietzsche.
Ubermensch dan
Penolakan Akan Tuhan
Apakah
mungkin ada ubermensch jika masih ada
Tuhan? Ini pertanyaan yang cukup menarik untuk dilihat dalam cara berpikir
Nietzsche. Nietzsche memahami bahwa manusia harus melepaskan diri dari semua
kebergantungan. Entah kebergantungan pada Tuhan, science atau pada yang lain. Dalam Sabda Zarathustra, sang nabi
keluar dari pertapaannya untuk memberitakan ubermensch.
“Menurut Nietzsche, adimanusia adalah penegasan kehidupan, bukan seperti
Scophenhauer yang menjadi penyangkalan kehidupan dan hasrat untuk disirnakan.”[17] Jika
ubermensch adalah penyangkalan
kehidupan, maka itu berarti dia mau menunjukkan eksistensi manusia secara
total. Adik
Nietzsche yakni Elisabeth menafsirkan bahwa yang dimaksud
Nietzsche sebagai ubermensch adalah Hitler. Tetapi tafsiran ini pasti meleset,
karena Nietzsche sendiri membenci ideology Jerman, seperti yang dia perlihatkan
ketika Wagner dalam pertunjukannya menampilkan anti zemit. Pertunjukan yang
membuat Nietzsche tidak lagi kagum pada Wagner, karena dianggap anti Semit dan mengangkat-angkat ideology Jerman. Hal lain yang
menunjukkan kebencian Nietzsche adalah keluarnya dia sebagai warga Jerman. Konsep yang
lain untuk menyatakan bahwa konsep itu keliru adalah ketika Nietzsche
menjelaskan ubermensch dalam tiga perubahan roh:
Tiga perubahan roh aku nyatakan
kepadamu: dari roh menjadi unta, dari unta menjadi singa dan dari singa
akhirnya menjadi seorang anak. … Semua hal-hal yang terberat ini ditanggung
oleh roh penanggung beban dan bagaikan
unta yang setelah dipenuhi beban kemudian bergegas menuju padang pasir,
demikian juga roh ini bergegas menuju ke padang pasir. Tapi, ditengah padang
pasir yang paling sunyi terjadilah perubahan kedua: di sana roh itu menjadi
singa dan kebebasanlah yang akan ia terkam dan kekuasaan untuk meraja di padang
pasirnya sendiri. …tapi katakana kepadaku wahai saudaraku, apa yang dapat
dilakukan seorang anak, yang tidak dapat dilakukan seekor singa sekalipun?
Mengapa singa pemangsa itu masih harus berubah lagi menjadi seorang anak? Lugu
anak itu, dan muda lupa, sebuah permulaan baru, sebuah permainan, sebuah roda
yang berputar sendiri, sebuah gerak pertama, sebuah ya yang suci.[18]
Nietzsche
menjelaskan ubermensch sebagai seperti anak kecil. Anak kecil yang lugu, suci,
tulus dan tidak terikat oleh berbagai aturan untuk bertindak. Anak kecil
bertindak berdasarkan keinginan dari hatinya. Sehingga semua yang dilakukannya
adalah ketulusan. Di sana ada nilai, yakni nilai kebebasan untuk bertindak,
berdasarkan ketulusan yang tidak dipengaruhi oleh yang lain. Nietzsche
menghadirkan ubermensch dengan menjungkirbalikan nilai-nilai moral kristianitas. Mengapa?
Karena nilai moral seperti ini, sama sekali bertentangan dengan konsep ubermensch. Ubermensch
akan menciptakan nilainya sendiri. Pada sisi lain Nietzsche
mengambarkan ubermensch seperti Dionysius. Dan
pada sisi ini gambaran ubermensch telah mengkonstruksi sebagai sebuah nilai
baru yang dianggap nilai paling tinggi yang di analogkan seperti Dionysius.
Ubermensch juga mengisyaratkan kematian Tuhan. Karena ubermensch
akan menciptakan nilai kebenarannya sendiri, tanpa terikat pada apapun yang ada
diluar dirinya termasuk Tuhan. Tidak mungkin ada ubermensch jika masih ada nilai tertentu yang mengatur. Ubermensch hanya akan lahir dari
kebebasan manusia, dan bukan dari ketertindasan. Karena itulah menjadi logis
ketika Nietzsche menolak moralitas kristiani. Penolakan itu sebagai konsekuensi
dari konsep ubermensch dalam pikiran
Nietzsche.
Refleksi Filosofis
“Tuhan
telah mati dan kitalah pembunuhnya”, adalah sebuah pernyataan yang mau
mengungkapkan kritikan pedas bagi kaum teis dan ateis. Kritikan bagi kaum teis,
karena masih tunduk pada moralitas yang lemah, moralitas budak. Moralitas yang
tidak dapat membuat mereka mengespresikan kebebasan mereka, tetapi justru
mengekang dengan nilai-nilai yang lemah. Sedangkan kritik untuk kaum ateis,
ditujukan bagi mereka yang masih mempunyai pegangan dalam hidupnya, sehingga
mereka tidak layak disebut sebagai kaum ateis. Pegangan itu bisa science, bisa rasionalitas, dan
lain-lain. Inilah kritikan keras dalam the
gay science 125, ketika seorang gila membawa lampu lentera ketengah pasar
pada pagi hari yang terang. Membawa lentera di pagi yang terang, tentu sesuatu
yang berlebihan. Berlebihan karena lampu lentera tidak ada artinya dihadapan
matahari yang terang. Tetapi lentera juga bisa menunjuk kepada ketidak pahaman
manusia akan terang.
Manusia
dalam hal ini membutuhkan terang yang lain yang bisa membuka pikiran mereka
tentang siapa dirinya. Bahwa mereka adalah makluk yang dapat menjadi istimewah,
ketika mereka melepaskan segala pegangan keyakinan dalam dirinya. Bukan pada Science, bukan pada agama, tetapi pada
dirinya sendiri. mereka bisa menjadi ubermensch
ketika mereka melepaskan ikatan yang mengikat dalam keyakinan mereka. Mereka
menjadi ubermensch dan Tuhan pun akan
dibunuh oleh mereka. Tuhan telah mati, menunjukkan bahwa Nietzsche menginginkan
seorang ubermensch. Ubermensch yang tidak terikat pada
apapun. Nietzsche mengandaikannya seperti sebuah kapal yang berlayar, berlayar dan
kemudian menghancurkan dermaganya. Sehingga kapal itu tidak lagi mempunyai
kerinduan untuk kembali ke dermaga. Karena dermaga telah hancur. Kapal itu
hanya akan berlayar mengarungi samudera dengan tanpa pegangan. Seperti halnya
manusia tanpa Tuhan.
Pertanyaannya
adalah, apakah mungkin manusia tanpa pegangan apa-apa dalam hidupnya? Bukankah
Nietzsche sendiri berharap sesuatu seperti Dionysius. Tidakkah ini pertanda
bahwa Nietzsche sendiri masih membutuhkan pegangan dalam hidupnya. Pegangan
nilai moral itu diandaikan oleh Nietzsche seperti Dionysius. Meskipun Nietzsche
menolak moralitas kristianitas, tetapi dia memunculkan nilai lain sebagai
penganti moral kristianitas. Nietzsche telah membangun nilainya sendiri dalam
konsep ubermensch. Matahari yang satu
hilang, tetapi nampaknya Nietzsche membuat matahari-matahari yang lain. Tuhan
telah mati dan kitalah pembunuhnya. Tetapi apakah kematian Tuhan tidak akan
digantikan dengan tuhan-tuhan yang lain? Semua pertanyaan ini menarik untuk
melihat nilai moral seperti apa yang diinginkan oleh Nietzsche.
Jika melihat uraian di atas, maka
kita bisa menyatakan bahwa nilai yang mau dibangun oleh Nietzsche adalah nilai kebebasan
dan ketulusan. Seperti halnya ubermensch yang dicita-citakan oleh Nietzsche
bukanlah seperti unta atau singa tetapi seperti seorang anak kecil. Ubermensch
adalah seperti anak kecil yang melakukan sesuatu secara tulus, tidak terikat
oleh aturan apapun diluar dirinya. Karena itulah Nietzsche lebih memilih
menghadapi realitas seperti halnya kapal yang mengarungi samudera. Bagaimanapun
manusia hidup dalam dunia yang memilah realitas baik dan buruk, jahat dan tidak
jahat, berdosa dan tidak berdosa. Bagi Nietzsche salah satu dari realitas itu
tidak perlu dibuang, tetapi harus dihadapi. Karena hidup ini bagaikan berada
dalam samudera yang kejam yg tidak bisa dihindari.
Humanitas Nietzsche dengan demikian,
bukan humanitas yang melarikan diri dari realitas atau ketakutan terhadap
realitas. Tetapi humanitas Nietzsche adalah kemanusiaan yang mau menunjukkan
sikap yang sangat menghargai realitas. Sikap Nietzsche seperti halnya filsuf
ateis yang lain, mencoba untuk membuat manusia menjadi dirinya sendiri agar
tidak dipinggirkan dari berbagai kebergantungan pada sesuatu. Kebergantungan
manusia pada agama, science, rasionalitas, justru telah meminggirkan manusia
dari dunianya. Karena itulah Nietzsche sangat tidak menerima jika manusia lari
dari realitas. Tugas manusia adalah berhadapan dengan realitas, karena di sana
manusia akan menemukan nilai tersendiri. Sebaliknya melarikan diri dari
realitas, berarti manusia sedang memingirkan dirinya dari dunianya, sehingga
dia justru menjadi terasing dari dunianya. Seperti halnya seorang anak kecil
yang tulus dan tidak terikat oleh berbagai hal, demikianlah manusia akan
menjadi seorang manusia sejati.
DAFTAR PUSTAKA
1.
Budi Hardiman, F., Pemikiran-pemikiran
yang Membentuk Dunia Modern, dari Machiavelli sampai Nietzsche. Jakarta:
Erlangga, 2011.
2.
Hamersma,
Harry., Tokoh-Tokoh Filsafat Barat Modern.
Jakarta: Gramedia , 1986.
3.
Jackson, Roy., Friedrich
Nietzsche (Nietzsche: A Beginner’s
Guide). Jakarta: Narasi Pustaka Promethea 2015.
4.
Nietzsche, Friedrich., The Gay Science, New York: CAMBRIDGE University Press,
2001.
_________________.,Sabda Zarathustra, (Thus Spoke Zarathustra). Yogya: Pustaka
Pelajar.
_________________., Ecce
Homo-lihatlah dia, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1998.
_________________., Lahirnya Tragedi.
Yogyakarta: Bentang Budaya, 2002.
5. Suseno, Franz
Magnis menalar tuhan., Yogyakarta:
Kanisius, 2006.
6. Wibowo, Setyo., Seri Kuliah umum: Kelas Filsafat Tentang
Nietzsche, Kematian Tuhan dan Genealogi. Jakarta: Salihara, 2013.
[1] Nietzsche. Sabda Zarathustra, (Thus
Spoke Zarathustra). Yogya: Pustaka Pelajar, 2010. Hlm. 136
[2] Roy Jackson. Friedrich Nietzsche (Nietzsche: A Beginner’s Guide). Jakarta:
Narasi Pustaka Promethea 2015. Hlm.43
[3] Ibid. Hlm 19-20
[5] Friedrich Nietzsche, Ecce Homo-lihatlah dia, Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 1998. Hlm. 147
[6] Setyo Wibowo, Seri Kuliah umum: Kelas Filsafat Tentang
Nietzsche, Kematian Tuhan dan Genealogi. Jakarta: Salihara, 2013.
[7] Nietzsche, The Gay Science, Op.cit.
Hlm. 119
[8] Friedrich Nietzsche, Lahirnya Tragedi. Yogyakarta: Bentang
Budaya, 2002. Hlm. 84-85
[9] F. Budi Hardiman, Pemikiran-pemikiran yang Membentuk Dunia
Modern, dari Machiavelli sampai Nietzsche. Jakarta: Erlangga, 2011. Hlm.
228
[10] ibid
[11] Roy Jackson. Op.cit. Hlm. 82
[12] F. Budi Hardiman. Op.cit. Hlm. 229
[13] Franz Magnis Suseno, menalar tuhan., Yogyakarta: Kanisius,
2006. Hlm. 77
[14] Harry Hamersma, Tokoh-Tokoh
Filsafat Barat Modern. Jakarta: Gramedia , 1986. Hlm 81
[15] Nietzsche, The Gay Science 125. Op.cit.
Hlm. 119-120
[16] Ibid. Hlm. 62
[18]
Nietzsche, Sabda Zarathustra. Op.cit.
Hlm. 69,70,72