Tuesday 27 October 2015

Resensi Buku: Kearifan Lokal Pancasila: Butir-butir filsafat keindonesiaan



                  Editor         : Armada Riyanto, dkk.
Penerbit      : Kanisius, Yogyakarta, Cetakan Pertama, Agustus 2015
Jumlah hlm : 652
 
 


Kearifan Lokal Pancasila: Butir-butir Filsafat Keindonesiaan
("Soekarno pun merindukan lahirnya buku ini")

Hanja Pantjasila-lah yang dapat tetap mengutuhkan Negara kita”, (Bung Karno). Sebuah pertanyaan yang selalu berdengung di telinga kita adalah, dari manakah filosofi dasar pancasila itu ditemukan oleh Soekarno? Pertanyaan ini bukan sebuah pertanyaan sederhana, yang bisa dijawab secara sederhana. Jawaban umum yang sering kita dengar adalah, Pancasila merupakan sebuah pencampuran dari berbagai ideologi, baik itu dari aliran filosofi marxisme-Leninisme (Sosialis), liberalisme, San Min Chui, pun dari doktrin agama. Jawaban sederhana ini ingin mengungkapkan bahwa Pancasila lahir bukan dari sebuah pergulatan konteks, tetapi dari sebuah kompromi ideologi tertentu.
Buku ini menghadirkan sebuah narasi baru, bagaimana kita melihat pancasila dalam perpektif yang berbeda. Sebuah narasi filosofis yang ditampilkan oleh para penulis dalam melihat pancasila dalam konteks kearifan lokal. Buku ini menunjukkan kepada kita, bagaimana filosofi pancasila telah ada dalam masyarakat nusantara sebelum ada yang bernama Indonesia. Butir-butir Filsafat Keindonesiaan tersebut, yang lahir dari kearifan lokal dimetaforakan bagaikan, “garuda-garuda kecil nan elok yang terbang indah menyatuh menjadi Garuda Pancasila”.  
Buku ini merupakan buku pertama di Indonesia, yang secara serius melihat Pancasila dalam konteks kearifan lokal. Narasi pancasila yang dinarasikan dari kearifan lokal, melukiskan jiwa bangsa Indonesia.  Seperti diungkapkan dengan sangat baik oleh Armada Riyanto, bahwa:  “Menurut bung Karno, suatu bangsa memiliki “jiwa”. Dan “jiwa” inilah yang dia gali dari dalam diri bangsa Indonesia itu sendiri.  Kristalisasi “jiwa” ini ialah sila-sila dalam Pancasila. Jadi, Pancasila adalah “jiwa” bangsa atau kepribadian bangsa Indonesia. Tanpa Pancasila, Indonesia pasti menjadi bangsa yang tak punya “jiwa”.” Hlm 18. Pancasila adalah sebuah fondasi filosofis (philosophische grondslag) yang menjadi jiwa bangsa Indonesia.
Fondasi filosofis ini, bukan datang dari langit, dan bukan datang dari ideologi-ideologi tertentu. Tetapi dia adalah “fondasi pikiran yang sedalam-dalamnya, jiwa, dan hasrat yang sedalam-dalamnya”. Hlm 14.  Fondasi pikiran-pikiran inilah yang secara menarik terurai dalam buku ini, yang lahir dari kearifan lokal. Yudi Latif menyebut; bahkan Soekarno sekalipun merindukan lahirnya buku ini. Buku ini telah memberi sumbangsi luar biasa dalam mengali butir-butir filsafat keindonesiaan. Soekarno pernah menyatakan, bahwa: “Penggalian saya tentang Pancasila, sampai jaman sebelum agama Islam. Saya gali sampai jaman Hindu dan pra-Hindu”, ( bnd hlm 19).
Para penulis yang berasal dari berbagai daerah, mengurai dengan sangat baik Pancasila dari konteks kearifan lokal. Narasi-narasi filosofis tersebut memperlihatkan kepada kita, bagaimana fondasi filosofis yang bernama Pancasila ini, telah hidup dan dihidupi oleh masyarakatnya. Mungkin negara ini telah lama bubar, sekiranya filosofi Pancasila ini tidak dilahirkan dari fondasi filosofis kearifan lokal yang telah dihidupi oleh masyarakatnya. Butir-butir filsafat keindonesiaan yang diangkat dalam buku ini, akan membawa kita pada pengembaraan filosofis masyarakat nusantara. Kita akan menemukan harta karun, yang satu persatu mulai dimunculkan dalam narasi-narasi filosofis. Buku kearifan lokal Pancasila ini mengukuhkan ungkapan Soekarano, bahwa dia menggali Pancasila dari kedalaman “jiwa” dan hasrat yang sedalam-dalamnya. Ungkapan itu bukan ungkapan tanpa makna, tetapi benar-benar sebuah refleksi filosofis yang mendalam dari Soekarno. Di mana salah satu modelnya telah di uraikan dengan baik dalam buku ini.
Buku ini melihat Pancasila, bukan sebagai sebuah doktrin yang akan dipakai untuk penataran para pejabat, atau disampaikan di ruang-ruang kelas. Pancasila dalam perspektif kearifan lokal, melukiskan kepada kita sebuah filosofi yang sungguh-sungguh dihidupi oleh masyarakatnya. Karena itu kearifan lokal Pancasila yang diangkat dari kedalaman refleksi para penulisnya, bukan doktrin yang kaku, tetapi adalah filosofi yang hidup. Hidup, karena lahir dari rahim kearifan lokal nusantara, dan bukan dari sebuah doktrin tertentu. Sebagai jiwa dan fondasi hidup bangsa Indonesia, maka apa yang dikatakan Franz Magnis Suseno menjadi sangat tepat: “Pancasila adalah syarat dan dasar persatuan bangsa Indonesia yang majemuk.”hlm 587.
Pancasila dapat diterima oleh semua golongan, karena dia menjamin keunikan yang ada pada diri setiap individu/kelompok. Menjamin, dan menghargai perbedaan yang begitu beragam. Artinya nilai-nilai kemanusiaan itu telah hidup jauh sebelum Indonesia ada. Dia hidup dalam kearifan lokal masyarakat nusantara. Alangkah menyedihkan dan tidak rasional, ketika hari ini masih ada kelompok yang anti sosial dan tidak menghargai perbedaan. Tindakan seperti itu justru mengundang sebuah pertanyaan. Fondasi filosofis mana yang sedang mereka hidupi? Bukankah kearifan lokal yang kita hidupi, yang adalah butir-butir filsafat Pancasila sangat memberi tempat untuk kemanusiaan. Memberi ruang penghargaan bagi yang lain. Buku ini akan memberi ruang diskusi menarik terhadap pergulatan tersebut.         
Buku ini terdiri dari 35 Esai filosofis, yang menggali kearifan lokal Indonesia yang terbagi atas. Esai kedua sampai ke delapan mengurai mengenai isu-isu KeTuhanan. Esai kesembilan hingga keempat belas mengurai mengenai isu-isu kemanusiaan. Esai ke lima belas hingga duapuluh satu berbicara tentang isu-isu Persatuan. Esai kedua puluh dua hingga ke duapuluh enam berbicara tentang isu Musyawarah dan Demokrasi, dan Esai kedua puluh tujuh hingga ketiga puluh dua, berbicara mengenai isu Keadilan. Buku ini merupakan persembahan untuk 70 tahun Indonesia merdeka, yang lahir dari pergulatan mendalam Asosiasi Filosof Katolik Indonesia (AFKI).

Ivan Sampe Buntu

Saturday 19 September 2015

Paideia Platon: Menggali Konsep Pendidikan Platon



Menggali Konsep Filsafat Pendidikan Platon Dalam Buku:
Mendidik Pemimpin dan Negarawan
Dialektika Filsafat Pendidikan Platon dari Yunani Antik Hingga Indonesia
Penerbit : Lamalera (Yogyakarta) 2014
Penulis : A. Setyo Wibowo dan Haryanto Cahyadi
Tebal Buku : xvi+392 halaman

Paideia Platon



Introduction
Mendidik Pemimpin dan Negarawan–Dialektika Filsafat Pendidikan Platon dari Yunani Antik Hingga Indonesia. Demikian judul dari buku ini, yang menguraikan secara panjang lebar bagaimana pendidikan dari zaman Yunani antik dan bagaimana Platon menguji kembali model paideia (pendidikan, pembudayaan) zamannya dan mengajukan model baru pendidikan.
Platon merumuskan kembali paideai zamannya yang dapat kita lihat dalam konsep alegori Matahari, Alegori garis terbagi dan alegori gua dengan tidak melupakan konsep merawat jiwa khas Platon. Dalam kedua alegori ini terlihat Platon membongkar model ideal (paradeigma) paideia zamannya khusunya konsep Homeros dan kaum Sofis. Platon menunjukkan kelemahan dari paideia Homeros dan sofistik tetapi sekaligus membuat rumusan baru tentang paideia. Apakah Platon membuang semua konsep paideia Homeros-Sofistik? ini menjadi salah satu pertanyaan menarik dalam buku ini.
Kritik Platon terhadap paideia Homeros-Sofistik dibangun dengan argumentasi yang kokoh. Kritik Platon ini juga menjadi relevan dalam konteks sekarang. Setyo Wibowo dalam bab III dengan begitu tajam menggunakan konsepsi Paideia Platon baik dalam melihat carut marut pendidikan, pun dalam meihat pemimpin-pemimpin bangsa yang dikendalikan oleh epithumia (hasrat akan uang).
            Konsep ideal negarawan kalokagathos dari Homerik-Sofistik sampai Platon juga dipaparkan dengan sangat menarik. Bagaimana arete seorang negarawan pada era Homerik-sofistik dan bagaimana Platon menguji kembali konsep tersebut dan menawarkan konsep baru keutamaan negarawan kalokagathos.

Kata Kunci
Paideia (pendidikan/pembudayaan, Mimesis (peniruan/peneladanan), Kaloskagatos (kebaikan/keelokan),   Alegori Ranjang Tidur, alegori matahari, alegori garis terbagi dan alegori gua.
                       
Memahami Paideia Homeros
“…Pernyataan Platon bahwa Homeros  adalah sosok pendidik bagi bangsa Yunani (hellada Pepaideuken), terlepas dari kritiknya yang demikian tajam dan pedas itu, rupanya mencerminkan penilaian historis yang objektif pada zamannya dalam menimbang sosok penyair pertama arkhais…”[1] 

Warisan Homeros dalam paideia berupa epos (kidung kepahlawanan) Iliados dan Odysseia sebagai paideia Yunani (sarana pedagogis paling handal dalam mengekspresikan kebudayaan). Sama seperti Ramayana dan Mahabharata bagi India atau Shu –ching (kitab sejarah) dan tao te ching (kitab jalan keutamaan) bagi China. Homeros dalam zaman pra-arkhais (era gelap) dan Arkhais menjadi penyair yang mahir menghibur masyarakat, meramal teka teki ilahi, dan diakui sebagai sosok berpengalaman dan berpengetahuan luas serta mampu memberi nasihat dalam segala macam perkara.
Homeros senantiasa melempar percikan pesan bijak dibalik narasi eposnya, terutama yang berkenan dengan keutamaan polis. Para negarawan dituntut untuk berhikmat atas kerapuhannya sebagai mahluk mortal. Paideia bagi Homeros adalah keteladanan atau meniru (mimesis) nilai yang pantas sebagai model ideal. Artinya paideia merupakan keteladanan dan peniruan sosok personal yang dapat dilihat dalam kidung kepahlawanan yang dikisahkan.
Homeros memahami keutamaan (arete) manusia sebagai mahluk yang digdaya dan unggul. Ciri manusia utama ini bersifat “estesis kalos (indah-elok) dan etis agathos (baik)”[2] dari mana muncul konsep kaloskagathos. Kaloskagathos tidak hanya menjadi milik kaum elitis aristokrat tetapi hendak bicara tentang nilai kemanusiaan ideal. Sehingga keutamaan seorang negarawan dalam konteks Arkhais masa Homeros tidak hanya soal keberanian di medan perang dan kehebatan di forum majelis, tempat para lelaki meraih kemasyuran. Homeros juga sama sekali tidak melihat keutamaan seorang negarawan kaloskagathos dalam sudut pandang eu –geneia (bibit) dan ploutos (bebet) dan bobot. 
Keutamaan dalam paideia Homeros ini memperlihatan bahwa sosok ideal negarawan kalokagathos bisa dilihat dalam kemampuannya sebagai seorang penyair “Sosok negarawan ideal diukur statusnya berdasarkan kapasitas kepenyairannya; atau sebaliknya, sosok penyair memiliki otoritas sebagai negarawan. Yang menyatukan kedua kapasitas ideal itu adalah perannya sebagai pendidik.”[3] Dalam konteks Homeros ini maka dapat dikatakan bahwa figur seorang negarawan kalokagathos itu terlihat pada diri seorang penyair, yang mampu untuk memberi solusi terhadap persoalan-persoalan polis. Kemampuan seorang penyair dalam konteks ini juga terlihat dari kemampuan mereka mendidik dengan menggunakan kidung-kidung kepahlawanan sebagai mimesis dan paradeigma. Konsep Homeros ini tentu sangat bersifat essentialis.
Setelah era Homerik, maka dua polis Yunani pada abad VI SM yakni; Sparta dan Athena menerjemahkan ulang kaloskagathos sebagai keberanian dan kedigdayaan di medan pertempuran. Keutamaan dipandang sebagai keberanian seorang prajurit yang tanpa takut mati membela polis. Sehingga sikap pengecut di medan tempur bukan sikap seorang kaloskagathos.      

Apa itu Paideia Sofistik?
            Kaum Sofis, merupakan kelompok intelektual Yunani yang melihat keutamaan (arete) kaloskagathos dalam sudut pandang yang baru terhadap konteksnya. Ketika keutamaan dipahami sebagai kedigdayaan dalam bertempur pra Homeros, maka kaum Sofis melihat keutamaan sebagai olah nalar. Dalam konteks ini seorang yang disebut berkeutamaan dilihat dari kemampuan dia untuk memberi argumentasi. Karena itulah paideia dalam metode sofistik dapat dibagi dalam tiga bagian yakni:
            Pertama, dengan melihat ilustrasi pemahat yang membentuk sebuah patung dari sebongkah batu marmer yang keras. Atau ilustrasi petani yang menanam bibit unggul di tanah yang subur.  Kedua, syair dan musik menjadi salah satu pilihan untuk menggugah seorang anak untuk berkembang dalam irama yang harmonis. Sofistik secara radikal menafsir musik dan syair sebagai sarana pembentukan karakter. Sarana pembentukan karakter juga dilihat dalam pembentukan keterampilan bernalar (the principle of shaping the inttelect), dan pengembangan keterampilan bernalar (the cultivation of the inttelct). Ini berfokus pada bahasa (grammar), dan ucapan (rhetoric) dan kejernihan pikiran menyelidiki masalah dan menarik kesimpulan (dialectic). Untuk pengembangan bernalar, kaum sofis mengembangkan ilmu berhitung (mathemata) sebagai “fondasi dasar paideia[4]. Ketiga dengan menggunakan kiat pengajaran ilustrasi yang mensejajarkan antara olah raga dengan olah nalar. Ketangkasan berpidato (oratory) dipahami serupa dengan senam otak (inttelectual gymnastic) yang sejajar dengan kelenturan seorang atlet. Kekuatan kata (logos) identik dengan figur pegulat yang unggul dalam bertarung di arena pertandingan, atau “pertarungan hukum antara dua orang dalam ruang pengadilan dengan mengandalkan kekuatan kata (logos)”[5].
            Konsep paideia kaum sofis ini menjadi konsep yang selalu bertumpu pada dua hal dasar yakni kemampuan personal seorang murid dan kemampuan pendidik dalam mendidik. Bahwa konsep paideia yang baik selalu diukur dalam polis. Ukuran ini bisa dilihat dalam kemampuan seseorang dalam memberi argumentasi (misalnya memberi pembelaan dalam ruang-ruang pengadilan). Sehingga seorang yang disebut berkeutamaan akan selalu diukur pada kemampuan rhetoric-nya. Sehingga untuk seorang negarawan kaloskagathos ukurannya adalah; apakah dia mempunyai ketangkasan dalam rhetoric atau tidak. Karena olah tubuh di dalam gimnastik, telah berubah menjadi olah nalar dalam ruang-ruang publik. Keutamaan tidak lagi bertumpu pada keberanian dimedan tempur, tetapi telah digantikan dengan kemampuan seseorang dalam memberi argumentasi. Konsep kaum sofis ini sangat perennialis.                            

Kritik dan konsepsi Paideia Platon
Kritik Homerik-Sofistik
Dalam konsep Paideia Homerik-Sofistik, maka mimesis (meniru, meneladani), dan ten rhetoriken tekhne (keterampilan berpidato), menjadi hal yang sangat penting. Tetapi Platon, mengkritik dengan menampilkan alegori ranjang tidur. Di mana dalam alegori ranjang tidur Platon mengambarkan tiga buah ranjang tidur yang mempunyai jenjang hierarki tersendiri. Tiga buah ranjang tidur ini masing-masing dibuat oleh Tukang Ilahi, tukang kayu dan pelukis/penyair. Ranjang tidur ketiga yang dibuat oleh pelukis dianggap sebagai paling rendah karena merupakan tiruan dari yang kedua, di mana ranjang tidur kedua pun merupakan tiruan dari yang pertama. Platon menyebut bahwa status penyair identik dengan pelukis yang membuat realitas ranjang tidur pada jenjang ketiga. Karena realitas jenjang ketiga hanyalah bayang-bayang dan peniruan dari ranjang tidur kedua yang dibuat oleh Tukang kayu. Pembuat Ranjang tidur ketiga yakni pelukis membuat ranjang tidur dengan cara mimesis hanya untuk kepuasan dan kesenangan. Sama halnya dengan penyair yang membuat syair hanya untuk kesenangan dan kenikmatan para pendengar tetapi belum tentu kita menemukan kebenaran.  
Dalam konteks Yunani kuno syair merupakan sarana paling unggul untuk mengespresikan ideal hidup suatu polis. Karena itulah mengisahkan syair-syair menjadi penting karena dianggap sebagai paideia bagi polis. Platon secara keras mengkritik bahwa tidak semua syair dapat dijadikan sebagai paideia. Mimesis lewat syair-syair penting bagi anak-anak, tetapi tidak semua syair bisa ditiru oleh anak. Platon juga melihat bahwa syair yang disampaikan hanya sebatas kenikmatan bagi polis, tetapi tidak membuka ruang untuk mempertanyakan kebenaran didalamnya. Semua syair yang disampaikan seolah menjadi kebenaran yang harus dijadikan pendidikan karakter bagi polis. Sama halnya dengan ranjang tidur ketiga yang dibuat oleh pelukis, demikianlah para penyair hanya memberi kenikmatan bagi jiwa epithumia dan thumos, tetapi tidak memberi tempat bagi logistikon (akal budi) untuk melihat kebenaran.  
Platon juga mengkritik keutamaan kaum sofis yang hanya dilihat dalam kemampuan rhetoric, khusunya kemampuan sebagai seorang orator. Seolah-olah, mereka yang trampil dalam berpidato selalu identik dengan nilai-nilai kebenaran, keadilan, keelokan dan kebaikan. Sokrates juga menyebut mereka ini seperti orang yang hanya gemar merawat kesehatan, dan menjaga kebugaran demi pesona penampilan. Di sana tidak ada kebenaran, tetapi hanya sebuah kepura-puraan (kolakeutkike) dan tipu muslihat (kolakeia).
Konsep Paideia Platon
Memahami konsep Paideia Platon, maka kita akan melihatnya dalam tiga konsep alegori: yakni alegori matahari, alegori garis terbagi dan alegori gua. Ketiga alegori ini dipakai oleh Platon untuk menjelaskan; pengetahuan (episteme) dan opini (doxa), yang sensibel dan inttelegibel atau logistikon (akal budi) dan Thumos (rasa bangga diri, harga diri) serta ephitumia (hasrat akan harta,seks singkatnya hasat akan  uang).
Pertama, alegori matahari, Platon menjelaskan bahwa cahaya tidak otonom pada dirinya sendiri, tetapi dia bersumber dari yang baik dari mahluk ilahi yakni matahari. Matahari tentu tidak sama dengan mata sebagai indera untuk melihat karena mata tidak memancarkan cahaya seperti matahari. Tetapi mata dapat melihat sebuah gambaran tertentu berkat bantuan cahaya matahari. Karena itulah mata inderawi tidak akan bisa melihat yang baik, karena yang baik hanya bisa dipahami dalam kawasan pengertian (logistikon) dan itu bisa dimengerti dengan bantuan idea. Dengan bantuan idea jiwa logistikon akan dapat memahami segala sesuatunya sebagai pengetahuan (episteme).
Kedua, alegori garis terbagi yang ditandai dengan garis pemisah horisontal yang tegas yang berada pada sebuah garis vertikal. Garis ini menjadi penanda antara yang sensibel dan intellegibel. Di mana jiwa yang hanya mampu menjangkau sesuatu dalam keadaan terlihat, maka jiwa tersebut akan berada dalam jenjang opini (doxa). Sedangkan jiwa yang hanya diterangi secara samar-samar hanya akan berada pada wilayah bayang-bayang (eikasia). Jiwa yang diterangi cahaya (matahari) secara terang benderang, akan dipahami berada dalam status keyakinan atau kepercayaan (pistis). Dalam jenjang pistis opini memuat kebenaran, namun status dan kualitasnya hanya sementara, karena bersifat sementara kebenaran yang dilihatnya pun tidak selalu tepat, pasti dan kekal. Jiwa juga bisa sampai pada kawasan pengertian dan dengan demikian terbuka untuk memahami pengetahuan. Kawasan pengertian ini lebih tinggi tingkatannya dari kawasan terlihat. Kawasan pengertian ini tidak tergantung pada kawasan terlihat. Dalam kawasan ini jiwa memahami sesuatu dengan prinsip dasar tentang keutamaan tertinggi, pasti, tetap, kekal dan umum. Kawasan pengertian ini terdiri dari dua garis horisontal yakni: penalaran matematik (dianoia) dan intuisi ilahi (noun/noesis).  Dalam hal ini pengetahuan tidak lagi bersifat penalaran, tetapi mewujud dalam pengertian utuh.
Ketiga, alegori Gua. Alegori gua merupakan alegori yang dapat mengambarkan epistemologi dari pandangan Platon tentang jenjang pengetahuan. Ketika para tahanan masih berada dalam gua, maka mereka hanya melihat bayang-bayang di dinding gua yang dipandang sebagai kebenaran, tetapi ketika dia mampu melepaskan diri, maka dia akan melihat realitas sekitarnya, yakni benda-benda material yang terlihat oleh pancaran api yang menyalah. Di mana api identik dengan matahari karena terangnya tetapi, api juga tetap akan padam. Tetapi ketika dia telah keluar dari gua, maka dia akan melihat realitas yang diterangi oleh cahaya matahari, seperti pohon-pobon. Perjalanan keluar gua adalah upaya jiwa mengapai kawasan pengertian. Sehingga ketika tawanan telah terbebaskan diluar gua, maka pertama-tama ia akan melihat bayang-bayang, kemudian keserupaan benda-benda di dalam permukaan air, selanjutnya benda itu sendiri. Setelahnya dia akan melihat cahaya dan cahaya yang muncul dari matahari. Matahari adalah gambaran idea, atau yang baik, yang memberi terang.
Dari tiga konsep alegori di atas, Platon telah mengambarkan dengan sangat baik, bagaimana konsep Paidea yang hanya dapat dilihat dalam konsep jiwa yang diterangi oleh logistikon,  tetapi tidak berhenti sampai pada jiwa logistikon, karena di sana ada idea yang menjadi sumber segala yang baik yang di identikkan dengan matahari. Dapat dipahami mengapa Platon kemudian mengkritik dengan keras konsep Homeros-sofistik, karena konsep ini hanya berada pada wilayah sensibel atau wilayah bayang-bayang dan opini wilayah inderawi. Sedangkan konsep paideia Platon tidak berhenti pada konsep inderawi tetapi melampaui yang inderawi dengan masuk pada level yang lebih tinggi yakni pada wilayah jiwa logistikon yang diterangi, bahkan sampai pada tahap idea. Secara sederhana konsep paideia Platon dapat ditafsirkan sebagai tawanan yang telah terbebas dari dalam gua dan mengalami pencerahan budi, yang mampu melihat matahari sebagai (yang baik). Konsep Paton ini yang sangat menekankan rasionalitas, bisa dikategorikan dalam filsafat pendidikan sebagai perenialis.
Konsep jiwa logistikon, thumos dan ephitumia tidak dapat dilepaskan dalam konsep paideia platon. Karena jiwa merupakan sasaran paideia platon. Jiwa ephitumia dan thumos hanya mungkin dikendalikan oleh logistikon. Tetapi hasrat bernalar pada logistikon pun harus dikendalikan oleh pengetahuan (phronesis) dan kebijaksanaan (sophia) agar penalaran tidak menjadi destruktif seperti gemar bergargumentasi atau tangkas memelintir kata seperti kaum sofis. Karena itulah pendidikan sebagai perawatan jiwa, tidak cukup hanya sampai pada tahapan inderawi, atau akal budi tetapi harus sampai pada tahap yang lebih tinggi yakni idea.   
    



                                      


[1] Hlm 86
[2] Hlm 49
[3] Hlm 140
[4] Fondasi dasar bernalar sebagaimana tafsir Jaeger sebagaimana dikuti HC pada halaman 144-145, bahwa ini merupakan sumbangsi terbesar Paideia kaum sofis bagi kebudayaan Yunani Antik. Model formasi ini adalah menyeluruh  yang kemudian dikenal dengan sistem pendidikan ketermpilan  (artes liberales). Sistem pendidikan ini dibagi dalam dua bagain besar yakni studi formal mencakup tiga bidang sudi yakni tata bahasa (grammar) tata berpidato (rhetoric) dan tata berpikir (dialectic) atau dikenal sebagai trivium. Kedua adalah studi dasar, yang terdiri dari empat bidang studi yakni; aritmatika, geometri, musik, dan astronomi. Studi Ini dikenal dengan quadrivium.  
[5] Dengan adanya perdebatan hukum diruang pengadilan, maka metode lama yang digunakan dalam pembuktian hukum dengan cara penyiksaan, sumpah dan kesaksian, telah diganti dengan argumentasi yang bertumpu pada ketangkasan berkata-kata.

Teodise (Pembenaran Tuhan): Dialog dengan Leibniz di Masa Pandemi Covid-1

Pertanyaan tentang realitas kejahatan di dunia bukanlah pertanyaan yang baru muncul di dunia post modern. Pertanyaan ini pertama kali ditany...